Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Potensi Besar Karbon Biru

Indonesia memiliki potensi penyerapan karbon biru yang lebih tinggi daripada hutan tropis. Ekosistem padang lamun dan mangrove belum dikelola dengan maksimal. 

6 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah berencana mengoptimalkan potensi penyerapan karbon dari ekosistem pesisir.

  • Padang lamun, mangrove, dan terumbu karang yang kerap disebut sebagai karbon biru mampu menyerap karbon lebih besar daripada hutan hujan tropis atau karbon hijau.

  • Sokongan terhadap potensi karbon biru masih minim.

SEJAK 2010, Pramaditya Wicaksono menaruh perhatian pada ekosistem padang lamun sebagai ekosistem karbon biru. Saat ini pengajar di Departemen Sains Informasi Geografi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada itu berfokus mengembangkan metode pengolahan data dan pengindraan jarak jauh untuk memetakan padang lamun. Penelitiannya dengan Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial, serta Pusat Riset Antariksa BRIN bertujuan mewujudkan satu peta ekosistem padang lamun di Indonesia.

Menurut Pramaditya, meskipun padang lamun disebut-sebut sebagai ekosistem yang lebih efektif menyimpan karbon dioksida (CO2) dibanding hutan (karbon hijau), penelitian mengenai ekosistem ini masih tertinggal. Bahkan, jika dibandingkan dengan mangrove dan terumbu karang, yang sama-sama ekosistem kawasan pesisir dan disebut sebagai karbon biru, riset tentang padang lamun jauh tertinggal. "Ada charisma gap. Bukan hanya di Indonesia, juga di dunia," katanya.

Miskonsepsi mengenai padang lamun terlihat ketika Pramaditya melakukan penelitian lapangan dan mengambil beberapa sampel lamun. "Nelayan sering mengatakan habisin saja semua supaya bersih karena mengganggu jalur kapal," tutur Pramaditya menirukan ucapan nelayan yang ia tumpangi. Selain itu, ada anggapan ekosistem lamun berbahaya karena kerap didiami ular laut berbisa. "Memang ada bahayanya, tapi edukasinya kurang utuh," ucap Pramaditya via konferensi virtual, Rabu, 2 November lalu.

Padahal padang lamun memberikan banyak manfaat jasa ekosistem. Menurut Pramaditya, padang lamun adalah koridor bagi perkembangbiakan ikan. Sebelum beranjak ke fase dewasa, ikan-ikan kecil hidup di kawasan padang lamun. Selain itu, padang lamun berperan sebagai penjernih air, pakan bagi beberapa satwa, dan penekan populasi bakteri di perairan serta melindungi garis pantai dari tekanan sedimen.

Pramaditya menambahkan, padang lamun juga berperan besar menahan laju perubahan iklim karena mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Meskipun luasnya kurang dari 1 persen luas lautan di bumi, padang lamun menyimpan sekitar 18 persen total CO2 di laut. Kemampuan padang lamun dalam menyerap karbon dan menguburnya dalam sedimen diperkirakan lebih dari 30 kali lipat kemampuan hutan hujan tropis.

Pramaditya menjelaskan, padang lamun sangat efektif menyerap karbon karena kecepatan fotosintesisnya. "Kecepatannya menyerap karbon bisa 35 kali lebih tinggi,” tuturnya. “Padang lamun pun memiliki valuasi ekonomi per hektare per tahun yang lebih tinggi dari mangrove dan terumbu karang.” Ketika selesai berfotosintesis, lamun akan mengubur CO2 dalam akar yang tertanam di sedimen. Karena itu, jumlah serapan karbon padang lamun yang tertinggi berada di sedimen.

Nelayan beraktivitas di dekat kawasan konservasi mangrove Pantai Dupa, Palu, Sulawesi Tengah, 12 Oktober 2022/ANTARA/Basri Marzuki

Siklus hidup lamun pun tak beranjak dari laut. Ketika lamun mati, karbonnya akan membusuk dan terurai di dalam laut. Sedangkan “tabungan karbon” tetap akan tersimpan di sedimen. Demikian pula ketika ia menjadi pakan dugong, karbon yang berada di daunnya tak terlepas ke atmosfer. Ceritanya berbeda jika akarnya tercerabut dan sedimen terbawa ke atas. "Jika terbongkar, ia menjadi senjata makan tuan karena menghasilkan emisi yang besar," ujar Pramaditya.

Peneliti padang lamun dari Pusat Riset Oseanografi, Susi Rahmawati, mengatakan ancaman utama bagi padang lamun berasal dari aktivitas manusia. "Pola tangkap ikan yang tidak berkelanjutan, penggunaan pelet yang berlebihan untuk tambak, hingga sedimentasi dan pencemaran dari badan air yang merembes ke laut menjadi ancaman," ucapnya. Kompetisi hidup dengan alga pun menjadi tekanan yang menyebabkan kerusakan padang lamun. Meledaknya populasi alga juga disebabkan oleh aktivitas manusia.

Menurut Susi, rehabilitasi padang lamun tak semudah mangrove. "Sangat tricky dan berbiaya tinggi serta memakan waktu cukup lama untuk menuai hasilnya," tuturnya. Ia mengatakan, jika rehabilitasi dilakukan dengan metode stek, risikonya adalah padang lamun di daerah asal akan rusak, sementara lamun tersebut belum tentu dapat hidup di habitat baru. Menurut dia, cara yang efektif adalah menyemai biji lamun. Namun pengambilan biji lamun hingga pengembaliannya ke perairan punya tantangan sendiri.

Susi berharap pemerintah lebih memperhatikan ekosistem padang lamun dan mendorong pembiayaan baik untuk penelitian maupun konservasi. "Hendaknya pemerintah memulai dengan mendorong lebih banyak penelitian guna memperkaya data mengenai padang lamun,” ujarnya. Ia juga mengatakan penting untuk melibatkan masyarakat dalam penelitian, rehabilitasi, dan konservasi.

DUA dekade terakhir dihabiskan Yusran Nurdin Massa untuk mengkonservasi mangrove. Dari Sumatera hingga Papua, luas kawasan mangrove yang sudah ia rehabilitasi jika ditotal mencapai 2.100 hektare. Apabila dirata-rata, Yusran bersama Blue Forests atau Yayasan Hutan Biru berhasil merehabilitasi sekitar 100 hektare kawasan mangrove saban tahun. Di yayasan itu, Yusran berperan sebagai penasihat teknis lingkungan.

Menurut Yusran, langkah konservasi membutuhkan strategi. Ia menjabarkan empat strategi yang digunakan. Pertama, mendorong upaya rehabilitasi di kawasan yang terdegradasi. Kedua, menggiatkan konservasi dan alih fungsi lahan di kawasan yang masih baik. Ketiga, mendorong mata pencarian berkelanjutan di ekosistem mangrove. Keempat, menggalakkan tata kelola perbaikan mangrove dengan pelibatan multipihak. "Menjalankan empat hal ini, kita dapat memperbaiki ekosistem mangrove yang berkelanjutan," katanya.

Yusran mengungkapkan, tantangan konservasi ekosistem mangrove di Indonesia makin beragam. Dulu, dia menjelaskan, ancaman utama ekosistem mangrove adalah alih fungsi lahan menjadi tambak. "Sekitar 52 ribu hektare (mangrove) hilang dalam tiga dekade terakhir," tuturnya. Laju alih fungsi menjadi tambak sudah menurun 0,20 persen per tahun, tapi ancaman lebih besar justru datang berupa penggusuran mangrove menjadi pelabuhan, permukiman, dan kebun sawit.

Karena itu, ia mendorong pemerintah pusat dan daerah merumuskan kebijakan yang berpihak pada upaya konservasi mangrove yang memiliki fungsi lindung. Terlebih, kata dia, ekosistem mangrove memiliki potensi besar dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Yusran merujuk data Pusat Riset Oseanografi (dulu Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2018 yang menyebutkan luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 22,4 persen luas mangrove dunia atau sekitar 3,22 juta hektare.

Hasil analisis yang disajikan dalam laporan berjudul “Potensi Cadangan dan Serapan Karbon Ekosistem Mangrove dan Padang Lamun Indonesia” itu menunjukkan hutan mangrove Indonesia rata-rata menyerap 52,85 ton CO2 per hektare per tahun. Nilainya lebih tinggi dua kali lipat dibanding estimasi global yang sebesar 26,42 ton CO2 per hektare per tahun. Secara keseluruhan disebutkan hutan mangrove Indonesia memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 170,18 juta ton CO2 per tahun.

Adapun potensi serapan tertinggi terdapat di Pulau Kalimantan sebesar 94,32 ton CO2 per hektare per tahun. Papua mengikuti dengan potensi serapan 57,99 ton CO2 per hektare per tahun dan Sulawesi dengan potensi serapan 53,95 ton CO2 per hektare per tahun. Sementara itu, kondisi ekosistem mangrove di Sumatera dan Jawa telah banyak mengalami degradasi sehingga memiliki potensi penyerapan yang rendah, masing-masing 37,07 dan 39,27 ton CO2 per hektare per tahun.

Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Didy Wurjanto mengatakan hingga saat ini institusinya berfokus menyelesaikan target rehabilitasi mangrove. "Harus mampu sekuat tenaga kami, dan bekerja sama dengan berbagai pihak, untuk merampungkan rehabilitasi mangrove seluas 600 ribu hektare pada 2024," ucapnya.

Salah satu yang dikerjakan, Didy menjelaskan, adalah menggalang partisipasi multipihak untuk merehabilitasi mangrove sebagai karbon biru sesuai dengan Peta Mangrove Nasional.

YAZIS (MAGANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus