Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan dinamika bibit badai vorteks di Samudera Hindia menyebabkan kemarau basah di sejumlah wilayah Indonesia. Kondisi ini digambarkan ketika curah hujan masih intens di musim kemarau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dinamika badai vorteks di Samudra Hindia tersebut telah efektif menunda awal musim kemarau sehingga kondisi sering hujan yang terjadi di Sumatera bagian selatan dan Jawa masih akan terus berlangsung selama dasarian kedua Mei 2025," ujarnya saat dihubungi, Kamis, 15 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erma menjelaskan, bibit badai vorteks telah berperan signifikan dalam meningkatkan aktivitas awan dan hujan kembali di wilayah Indonesia, khususnya di Sumatera dan Jawa. Hujan kembali meningkat di sejumlah wilayah di sebagian besar Jawa selama beberapa hari terakhir.
Pada hari ini, kata Erma, badai vorteks telah menguat dan membesar menjadi badai tropis 96S yang memiliki kecepatan angin 30 kilometer per jam. Lokasi badai tropis ini di Samudra Hindia bagian selatan dengan titik koordinat 95 derajat Bujur Timur dan 8 derajat Lintang Selatan. Keberadaannya yang relatif dekat dengan pesisir barat Sumatera (Bengkulu) ini telah berperan mengakumulasikan klaster awan konvektif di Samudra Hindia pada skala yang luas hingga pesisir selatan Jawa.
Selain itu, kata Erma, pemanasan suhu permukaan di Laut Jawa (0,9 derajat Celsius) juga berakibat pada pembentukan wilayah bertekanan rendah yang dapat mengonsentrasikan kelembapan dan menggagalkan musim kemarau.
"Karakter musim kemarau yang ditandai dengan awan-awan cirrocumulus pun tidak terbentuk karena aktivitas awan cumulus congestus yang masih intensif terbentuk setiap hari di wilayah Sumatera dan Jawa," katanya.
Menurut Erma, kondisi ini tidak hanya menunda musim kemarau di Jawa, sebagian besar daerah di Sumatera bagian selatan bahkan tidak akan mengalami kemarau sepanjang tahun ini. Demikian juga dialami wilayah seperti di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang juga tidak mengalami kemarau karena kriteria musim kemarau berupa minim hujan (kurang dari 50 milimeter) selama tiga dasarian berturut-turut tidak tercapai.
"Meskipun demikian, masih ada beberapa wilayah yang tetap mengalami musim kemarau normal dengan ciri minim hujan sejak Juni hingga September," ucap Erma.
Erma menyatakan dinamika badai vorteks di Samudra Hindia telah efektif menunda awal musim kemarau, sehingga kondisi sering hujan yang terjadi di Sumatera bagian selatan dan Jawa masih akan terus berlangsung selama dasarian kedua Mei 2025.
Di Pulau Jawa, mengawali dasarian ketiga Mei 2025, hujan akan berkurang meskipun pola lonjakan tajam curah hujan masih dapat terjadi setiap bulan pada bulan-bulan berikutnya. "Hal ini menandakan konvergensi meluas masih dapat dibentuk oleh dinamika vorteks Samudra Hindia yang akan menjadi faktor utama dalam mengubah musim kemarau menjadi bersifat basah atau banyak hujan," kata Erma.