Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, mengatakan, kemarau basah yang terjadi di sebagian besar Pulau Jawa diikuti dengan musim hujan. Di wilayah barat Indonesia seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, hujan mengalami intensifikasi atau peningkatan secara signifikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga puncak musim hujan untuk kawasan barat terjadi pada Oktober-November 2022,” katanya lewat keterangan tertulis, Jumat, 7 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak intensifikasi hujan selama Oktober, menurut Erma, mengakibatkan banjir di Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek sudah mulai terjadi. Banjir, kata dia, akan semakin luas seiring dengan maraknya kejadian cuaca ekstrem baik di Jakarta maupun di area penyangga bagian selatan yaitu Depok dan Bogor.
"Tidak perlu menunggu Januari bagi Jakarta mengalami banjir meluas, sebab puncak hujan terjadi pada Oktober dan November," kata dia.
Erma menjelaskan pemicu berupa beberapa faktor. Pertama, La Nina dan Pacific Decadal Oscillation negatif yang masih berlanjut. Kedua, fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif yang mencapai intensitas terkuat pada Oktober 2022. Kedua faktor disebutnya telah berperan menyediakan dukungan kelembapan dan uap air yang berlimpah sebagai sumber energi bagi aktivitas pembentukan awan dan hujan,” ujarnya.
Selain itu faktor pembentukan pusaran angin skala meso dengan radius ratusan kilometer atau disebut vorteks yang terjadi di Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Pembentukan badai vorteks di Samudra Hindia telah terjadi sejak awal Oktober dan semakin kuat sehingga menjadi siklon tropis 03S pada 6 Oktober 2022.
Selama proses pembentukan dan penguatan badai vorteks tersebut, cuaca ekstrem berupa hujan ekstrem dan angin kencang telah melanda sejumlah wilayah di Jawa bagian barat termasuk Banten dan Jabodetabek. “Hujan setiap hari turun secara persisten sejak siang hari dan bertahan hingga malam,” kata Erma.
Kondisi cuaca itu tidak semata terjadi karena hujan diurnal yang dibangkitkan oleh angin darat laut. Tapi juga karena maraknya pembentukan klaster awan-awan raksasa atau disebut dengan istilah sistem awan konvektif skala meso di atas darat wilayah Jawa bagian barat.
Akibatnya, kata Erma, "Kondisi atmosfer semakin lembap dan jenuh karena pengaruh sisa-sisa awan meso yang telah terbentuk pada hari-hari sebelumnya."
Menurut Erma, kondisi itu juga dapat memicu hujan ekstrem pada skala lokal. Penyebabnya karena efek dari penumpukan energi yang mengalami pelepasan dalam bentuk cuaca ekstrem terjadi hampir setiap hari sejak awal Oktober dan diperkirakan bertahan hingga hingga akhir bulan.
Sementara pada Desember dan Januari, kata dia, justru sektor barat Indonesia cenderung kering. Sebaliknya di bagian tenggara Indonesia, wilayahnya berpotensi mengalami hujan ekstrem sehingga berisiko mengalami banjir pada periode itu nanti.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.