Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Lingkungan

WALHI Apresiasi dan Beri Catatan Fatwa MUI soal Perubahan Iklim

WALHI menyambut baik fatwa MUI nomor 86 tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global. Ada juga catatan atas fatwa itu.

28 Februari 2024 | 19.44 WIB

Aktivis lingkungan WALHI Jakarta saat melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Rabu 3 Agustus 2022. Dalam aksinya, aktivis mengkritisi Japan Energy Summit 2022  yang sedang berlangsung di Tokyo. Dalam pertemuan tersebut transisi energi masih memberi ruang terhadap solusi palsu untuk mengatasi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Aktivis lingkungan WALHI Jakarta saat melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Rabu 3 Agustus 2022. Dalam aksinya, aktivis mengkritisi Japan Energy Summit 2022 yang sedang berlangsung di Tokyo. Dalam pertemuan tersebut transisi energi masih memberi ruang terhadap solusi palsu untuk mengatasi perubahan iklim. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup atau WALHI menyambut baik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 86 tahun 2023 tentang Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global, yang diluncurkan pada 23 Februari 2024. Fatwa ini telah ditetapkan pada 16 November 2023 lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Fatwa ini merupakan yang kelima yang telah ditetapkan oleh MUI Pusat sejak satu dekade terakhir terkait dengan permasalahan lingkungan hidup. Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa terkait hukum pembakaran hutan dan lahan serta pengendaliannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eknas Walhi, Parid Ridwanuddin mengatakan, ini adalah fatwa pertama di Indonesia yang mengulas isu-isu krisis iklim. "Setelah ini semoga krisis iklim akan semakin luas dibahas dan dikaji oleh lembaga-lembaga keagamaan yang berwenang di Indonesia," kata dia, Rabu, 28 November 2024.

Namun WALHI juga memberikan catatan atas fatwa itu. Salah satunya adalah penggunaan istilah "pengendalian perubahan iklim global". Istilah itu mengandaikan krisis saat ini suatu kondisi yang harus terjadi, tetapi kita diminta untuk mengendalikannya. Padahal krisis iklim global saat ini akibat sejarah panjang produksi emisi industri negara dan perusahaan multinasional, terutama di bidang minyak, gas dan batu bara.

Di dalam konsideran fatwa itu dikatakan bahwa krisis iklim berakar pada keterkaitan faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan, sikap dan persepsi sosial. Namun, MUI tidak menyebutkan lebih jelas faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, serta sistem kepercayaan apa yang menyebabkan krisis iklim saat ini.

Fatwa MUI juga mengutip ayat-ayat, hadits-hadits, dan perkataan ulama dalam kitab-kitab terdahulu, tetapi kurang ada penjelasan mengenai relevansi dan signifikansi ayat, hadits, serta perkataan ulama dalam situasi krisis saat ini. "Akhirnya ayat, hadits, serta perkataan ulama itu hanya menjadi pajangan dalam fatwa," kata dia.

Di dalam fatwa ini, kata Parid, MUI menyebut dua cara pengendalian krisis iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi. Namun ada hal yang dilupakan dalam fatwa itu yang itu dibicarakan dalam COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, akhir 2022 lalu, yaitu loss and damage fund. 

Menurut Paid, loss and damage fund adalah mekanisme yang didorong oleh gerakan lingkungan hidup global untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang menjadi produsen emisi serta mendapatkan keuntungan dari mengekstraksi sumber daya alam. 

Pada satu sisi, mitigasi masih dapat dijadikan cara melawan krisis iklim. Tetapi, kata Paid, adaptasi semakin tidak relevan. "Sebagai contoh, bagaimana masyarakat pesisir yang desa atau pulau kecilnya tenggelam harus beradaptasi sementara rumah dan ruang hidupnya telah hilang tenggelam?" ucapnya.

Di dalam fatwa MUI juga disebut soal deforestasi yang tidak terkendali hukumnya haram. Apakah jika deforestasi yang terkendali berarti hukumnya tidak haram? "Ini sama dengan proposisi: tambang ilegal tidak boleh, sementara tambang legal boleh karena sudah dikendalikan," tambahnya.

Parid mengatakan, WALHI mengkritik paradigma ekonomi yang selama ini berkembang di dunia, termasuk ekonomi hijau dan ekonomi biru. WALHI menilai keduanya bagian dari kapitalisme global yang mendorong eksploitasi sumber daya alam, baik di darat maupun di laut. WALHI Menyusun konsep antitesis terhadap kedua paradigma tersebut, yaitu ekonomi Nusantara. 

"Di dalam rekomendasi kepada pemerintah pusat, MUI tidak memasukan poin yang mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi Masyarakat," kata Parid. Aturan yang dimaksud antara lain Undang Undang Cipta Kerja, Undang Undang Mineral Energi dan Batubara, dan Undang Undang Ibukota Nusantara. 

Dalam rekomendasi kepada legislatif, menurut dia, MUI tidak memasukan poin yang mendesak parlemen untuk mengevaluasi seluruh peraturan perundangan yang memperburuk dan memperparah dampak krisis iklim bagi Masyarakat. Di antara peraturan perundangan yang dapat disebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba dan UU IKN. 

"MUI hanya mendorong parlemen untuk melakukan percepatan pembentukan regulasi yang berhubungan langsung dengan perubahan iklim dengan memuat prinsip-prinsip dan asas keadilan iklim," ucap dia sembari menambahkan bahwa fatwa itu tidak menjelaskan secara detail apa itu prinsip dan asas-asas keadilan iklim.

IRSYAN HASYIM

Irsyan Hasyim

Menulis isu olahraga, lingkungan, perkotaan, dan hukum. Kini pengurus di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, organisasi jurnalis Indonesia yang fokus memperjuangkan kebebasan pers.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus