Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Demi Menjuarai Piala Dunia

Para pemain kelas dunia yang masih di puncak kariernya hijrah ke Cina dengan bayaran fantastis. Untuk mendongkrak kualitas sepak bola negara itu.

13 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Liga Super Cina mendadak jadi buah bibir selama bursa transfer musim dingin dibuka. Beberapa klub peserta liga jorjoran membelanjakan uangnya untuk membeli pemain kelas dunia. Guangzhou Evergrande, misalnya, meminang pemain Atletico Madrid, Jackson Martinez, seharga Rp 540 miliar. Sedangkan Jiangsu Suning menggaet Ramires dari Chelsea senilai Rp 337,5 miliar.

Namun harga kedua pemain tersebut tak seberapa bila dibandingkan dengan Carlos Tevez. Shanghai Shenhua rela merogoh kocek hingga Rp 1,2 triliun untuk memboyong pemain 32 tahun itu dari Boca Juniors. Rival sekotanya, Shanghai SIPG, tak mau kalah. Klub ini membayar Chelsea Rp 877 miliar untuk mendapatkan gelandang asal Brasil, Oscar dos Santos.

Pembelian pemain secara jorjoran seperti ini, menurut Manajer Chelsea Antonio Conte, sangat berbahaya bagi klub mana pun. "Apa yang dilakukan Cina berbahaya. Tidak hanya untuk Chelsea, tapi juga buat semua klub di seluruh dunia," katanya. Pelatih 47 tahun itu mengatakan pemain harus berfokus pada kompetisi masing-masing dan jangan berpikir ada banyak uang di Cina.

Chelsea hampir kehilangan penyerang Diego Costa. Pemain Spanyol itu sudah dilirik Tianjin Quanjian, tapi Costa memilih tetap bermain untuk The Blues setidaknya hingga akhir musim.

Sejumlah pengamat menilai klub Liga Super Cina berani membeli pemain dengan harga mahal antara lain karena pasar persaingan tak sempurna akibat pembatasan jumlah pemain impor. Mulai tahun ini, pemerintah Cina hanya membolehkan klub menurunkan maksimal tiga pemain asing dalam setiap pertandingan. Itu sudah termasuk pemain dari negara-negara Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC).

Penyebab lain adalah kualitas sepak bola Cina masih kalah dibanding liga-liga Eropa atau Amerika Latin. "Tapi, ketika Anda ditawari gaji Rp 7 miliar per pekan, apakah Anda akan menolaknya?" ujar Jon Smith, agen beberapa pemain Liga Primer Inggris, kepada Express Sport, awal Januari lalu.

Ambisi pemerintah Cina menjadikan Liga Super Cina sebagai salah satu liga terbaik di dunia adalah alasan lain mengapa klub begitu mudah membelanjakan uangnya. Sebelumnya, Presiden Xi Jinping menginginkan Cina menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2050 dan menjadi juara. "Mendatangkan pemain asing yang masih bersinar dan berada di puncak karier adalah bagian dari rencana besar itu," ucap Smith.

Keinginan Xi Jinping itu diterjemahkan para pemilik 16 klub Liga Super Cina sebagai jalan merapat ke pemerintah. Mereka rela mengeluarkan begitu banyak uang sebagai investasi masa depan. Meski sulit mencetak pemain sekelas Lionel Messi seperti yang diinginkan pemerintah, mereka berharap investasi ini setidaknya meningkatkan mutu sepak bola Cina sekaligus mendapat perhatian publik.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang, terutama di Inggris yang pemainnya banyak diincar klub Cina, mengapa para pemain produktif mau hijrah ke Cina. Biasanya liga di luar Eropa dan Amerika Latin dianggap sebagai "liga para pensiunan". Mereka yang pindah ke Cina pun dicap sebagai pemain serakah dan tak punya motivasi. "Ini tak masuk akal," kata Michael Ballack, pemain Jerman yang pernah bergaji Rp 2 miliar per pekan di Chelsea.

Ballack mengakui jumlah uang yang ditawarkan klub Cina jauh dari yang pernah dibayangkan para pemain Liga Inggris. Hanya, menurut dia, kualitas kompetisi di sana jauh di bawah mutu Liga Inggris. "Ingat, Liga Inggris adalah yang terbaik di dunia," ujarnya. Tapi ia menghargai keputusan setiap pemain.

Banyak alasan selain uang mengapa pemain yang masih produktif hijrah ke Cina. Oscar dos Santos, misalnya, memilih ke Cina ketimbang terus-menerus duduk di bangku cadangan Chelsea. Di Shanghai SIPG, ia bisa tampil penuh 90 menit. "Saya senang bergabung dengan SIPG. Ini menjadi keputusan yang penting. Ini keluarga baru saya di Cina," ucap Oscar, yang memperkuat Chelsea sejak 2012.

Nada miring juga dilontarkan kepada para pemain yang bermain di luar Eropa. Mereka dianggap merusak karier. Tapi tudingan itu tak selalu benar. Jermain Defoe pernah disebutkan bakal tamat kariernya ketika bergabung dengan Toronto FC-klub Liga Sepak Bola Utama Amerika Serikat (MLS)-pada 2014. Tapi, sekembali ke Liga Primer Inggris tahun lalu, ia justru menjadi pemain kunci Sunderland, yang tetap bertahan di Liga Primer. Bahkan Defoe berpeluang kembali masuk tim nasional Inggris.

Nicolas Anelka dan Didier Drogba, yang pernah bermain semusim di Shanghai Shenhua, juga berhasil kembali ke Liga Inggris dan tampil gemilang. Drogba kembali memperkuat Chelsea pada 2014/2015, sedangkan Anelka memperkuat West Bromwich Albion pada 2013/2014.

Bermain di luar Eropa bukan berarti lepas dari radar para pemandu bakat. Hulk, yang bermain untuk Tokyo Verdy di Liga Jepang pada 2007-2008, tetap terpantau oleh klub besar Eropa. Pemain bernama asli Givanildo Vieira de Souza, yang mencetak 70 gol dalam 104 penampilan di Liga Jepang, itu direkrut FC Porto hingga 2012. Setelah memperkuat Zenit Saint Petersburg selama empat tahun, sejak pertengahan tahun lalu Hulk berlabuh di Shanghai SIPG.

Ada anggapan di antara pemain Inggris bahwa berlaga di luar Eropa akan menutup peluang memperkuat tim nasional. Anggapan itu tak selalu benar. Buktinya, David Beckham tetap dipercaya menjadi kapten The Three Lions meski bermain di klub MLS, LA Galaxy. Brasil juga tak mengabaikan pemain yang memperkuat klub Cina. Paulinho, yang pindah dari Tottenham Hotspur ke Guangzhou Evergrande pada 2015, dan Renato Augusto, yang membela Beijing Guoan tahun lalu, tetap dipercaya memperkuat Brasil saat menggilas Peru 2-0 dalam kualifikasi Piala Dunia, November tahun lalu. Bahkan gol kedua Brasil dicetak Renato.

Kualitas liga sepak bola Asia bisa jadi masih jauh dibandingkan dengan liga Eropa. Tapi standar permainannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Para sponsor juga mulai melirik liga Asia dan jumlah penontonnya terus meningkat. Pencari bakat pun mulai berkeliaran di liga Asia. "Cina saat ini belum menjadi kekuatan sepak bola dunia, tapi liganya bukanlah kuburan bagi pemain bintang," demikian tulis The Guardian.

Firman Atmakusuma (The Guardian, Express, Sky Sports)


Para Miliarder Lapangan Hijau

Kepindahan Carlos Tevez ke Shanghai Shenhua menjadikannya pemain bergaji paling besar di dunia. Pendapatan per pekan pemain asal Argentina ini bahkan melebihi rekan senegaranya, Lionel Messi, dan bintang Portugal, Cristiano Ronaldo. Tevez, mantan striker Manchester United dan Manchester City, mendapat bayaran Rp 496 miliar semusim di Cina. Di klub sebelumnya, Boca Juniors, ia dibayar Rp 28 miliar per tahun.

NoNamaKlubGaji per Pekan
1.Carlos TevezShanghai ShenhuaRp 10,34 miliar
2.OscarShanghai SIPGRp 6,72 miliar
3.Cristiano RonaldoReal MadridRp 6,14 miliar
4.Gareth BaleReal MadridRp 5,89 miliar
5.Lionel MessiBarcelonaRp 5,65 miliar
6.Hulk Shanghai SIPGRp 5,38 miliar
7.Paul PogbaManchester UnitedRp 4,88 miliar
8.Graziano PelleShandong LunengRp 4,88 miliar
9.NeymarFC BarcelonaRp 4,62 miliar
10.Wayne RooneyManchester UnitedRp 4,37 miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus