Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA menit kesebelasan Belanda menjebol gawang Siprus, penonton pun bersorak gegap-gempita. Disusul bungkus rokok, kertas-kertas, kaleng minuman beterbangan, masuk ke lapangan. Tak cuma itu, ada pula bom asap. Dan celaka, beberapa lama kemudian bom asap menimpa daerah gawang. Asap menyembur dekat kiper Siprus, Andreas Charitou. Ia langsung terhuyung, menutup mukanya dengan kedua tangan. Charitou terjungkal. Ia digotong keluar. Kesebelasan Siprus mogok main. Peristiwa 28 Oktober di Stadion Rotterdam, Belanda, itu diputar kembali lewat rekaman di Zurich, Swiss, pekan lalu. Itulah salah satu soal besar yang disidangkan oleh Komisi Disiplin dan Pengawasan UEFA (Persatuan Sepak Bola Eropa), yang pekan lalu selama dua hari terus-menerus mendiskusikan sejumlah protes dari anggotanya. Dan dari sidang inilah kartu merah beterbangan. "Ini demi disiplin permainan sepak bola," kata seorang pejabat UEFA. Maka, salah satu keputusan sidang: membatalkan kemenangan Belanda 8-0 atas Siprus -- setelah terhenti 40-an menit, dua kesebelasan melanjutkan permainan. Bahkan kesebelasan yang dipimpin oleh Kapten Ruud Gullit ini dinyatakan kalah 0-3 dalam babak penyisihan kejuaraan antarnegara se-Eropa tahun ini. Sebab, semua itu karena ulah suporter Belanda yang melemparkan bom asap ke arah gawang lawan. Selain itu, kesebelasan Belanda didenda Rp 11 juta. Dan tampaknya tahun ini tahun keterangan UEFA. Stadion Feyenoord di Rotterdam, tempat pertandingan dilangsungkan, yang cuma jadi saksi bisu kebrutalan suporter Belanda, pun tak luput dari vonis: dinyatakan terlarang untuk pertandingan sepak bola yang diselenggarakan UEFA, hingga 31 Juli 1990. Namun, Siprus pun tak luput kena semprot dari Zurich. Yaitu didenda Rp 44 juta, karena ada pula suporternya yang masuk ke lapangan dan membuat onar. Hal serupa dialami oleh kesebelasan Hajduk Splits, klub sepak bola divisi I Yugoslavia. Pada pertarungan melawan Marseille, Prancis, 5 November lalu di Kota Split, Hajduk sudah unggul 2-0. Namun, kekacauan meledak ketika sejumlah suporter klub Yugo ini melemparkan bom-bom asap. Memang tak ada pemain tamu yang cedera, tapi suasana stadion berubah kacau karenanya. Jerit penonton terdengar dari tribun stadion berkapasitas 30.000 tempat duduk itu. Pertandingan tertunda 30 menit. Akhirnya, justru Hajduk Split dinyatakan kalah 2-4. Ditambah klub ini diskors tidak boleh mengikuti pertandingan internasional yang diselenggarakan UEFA maupun FIFA sampai 31 Juli 1990. Tampaknya, musuh berbahaya bagi pemain bola kini bukan kesebelasan lawan, tapi suporter lawan. Ihwal yang dialami Siprus itu, umpamanya, membuat para pemainnya merasa keamanannya tak terjamin. "Suasana tidak menentu, menakutkan, seperti dalam neraka," kata pelatih Siprus, Takis Charalambous. Menurut Takis, yang dilempar-lemparkan suporter tuan rumah bukan cuma bom asap. Tapi juga jeruk yang diikat pisau cukur. Ini memang sebuah teror. UEFA memang tengah prihatin. Sikap penonton Eropa tampaknya semakin keterlaluan. Umpamanya Hugo Sanchez, penyerang andal dari Meksiko yang kini dikontrak Real Madrid, Spanyol, bocor kepalanya terkena lemparan botol dari penonton. Itu terjadi dalam kompetisi liga Spanyol, pekan lalu. Sebelas jahitan kini menghiasi kepala Sanchez. Tampaknya, Persatuan Sepak Bola Eropa berusaha keras mencegah terulangnya tragedi Heyssel, Belgia. Seperti sudah diketahui, keributan yang menelan 38 korban jiwa, di akhir Mei 1985, itu berawal dari tingkah penonton yang tak lagi bisa menguasai diri. Dalam pertandingan final piala Eropa itu, suporter Inggris yang mendukung Liverpool terlibat baku hantam dengan penonton Italia yang menjagoi Juventus. Dalam sidang di Zurich itu, saksi-salsi dimintai keterangan, dan rekaman-rekaman pertandingan diputar. Dari rekaman itulah diketahui bahwa sumber keributan pertandingan sepak bola zaman sekarang ternyata penonton. Tapi bagaimana menghukum penonton? Kesimpulan sidang akhirnya, "Sebuah kesebelasan mesti bertanggung jawab terhadap ulah suporternya," kata seorang pejabat UEFA. Tentu, tak semua sanksi diterima begitu saja. Kesebelasan Belanda, umpamanya, naik banding karena merasa sanksi UEFA terlalu berat. Lebih repot lagi, klub Hajduk Split. Sebagai profesional, klub dari Yugoslavia ini hidup dari bermain bola. Skorsing selama lebih dari 30 bulan bisa menghancurkan keuangannya. Padahal, kini pun kesebelasan papan atas di Yugo itu dibelit utang US$ 100.000. Beberapa bulan terakhir bisnis bola Hajduk memang tekor akibat inflasi yang dalam beberapa bulan ini mencapai 135%. Maka, pukulan UEFA menyebabkan ketua klub, Ante Ganza, langsung mengundurkan diri. Tindakan Ganza itu diikuti oleh beberapa pengurus senior lain. Vonis itu memang dianggap bencana. Selain itu, yang sudah sering dilakukan, sanksi terhadap perseorangan juga dijatuhkan. Pemain tengah kesebelasan nasional Irlandia, Liam Brady, diskors tidak diizinkan meramaikan babak final kejuaraan antarnegara se-Eropa tahun depan. Padahal, Irlandia termasuk salah satu tim yang memastikan diri bisa memasuki babak grand final. Sanksi keras itu dijatuhkan karena Brady dianggap bermain kasar ketika berhadapan dengan Bulgaria bulan lalu. Denda dan larangan bermain di kandang sendiri dijatuhkan pula terhadap beberapa kesebelasan Eropa. Klub PSV Eindhoven (Belanda), Sportul Bucharest (Rumania), dan kesebelasan nasional Spanyol, terkena sanksi karena ulah suporter mereka yang dianggap meneror lawan. Sedangkan klub Linfield dari Irlandia Utara dilarang bermain dua kali pada pertandingan yang diselenggarakan UEFA, juga karena suporter mereka. Sepak bola tampaknya memang memberi peluang untuk segala hal: suap, judi, politik, dan kini teror. Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo