Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Prihatin Dengan Burung Kakak Tua

Hampir semua peserta menyesalkan Indonesia yang tak mengirimkan atlit terbaik pada cabang atletik. Sementara jepang, malaysia dan muangthai tetap datang dengan atlit utamanya. (or)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENDERA Asian Games diterjunkan dari udara. Di stadion nasional, Bangkok, 50.000 pengunjung bertepuk mengelukannya -- tanda pesta olahraga Asia ke-8 itu dibuka. Di panggung kebormatan, hadir Raja Bhumibol Adulyadej bersama putera mahkota, Vajiralongkorn, tanpa Ratu Sirikit menyaksikan barisan 25 kontingen peserta dengan seragam warna-warni. Kontingen Indonesia tak lupa menonjolkan pakaian adat Timor Timur yang dikenakan oleb seorang dara. Korp musik nemainkan lagu Burung Kakak Tua untuk iringan orang kita yang keren, apalagi dibandingkan pemunculan tim Kambodia yang mengenakan seragam ala Mao atau atlit Yordania yang cuma memakai kaos oblong dan celana latihan. Tapi langkah kontingen Indonesia di Bangkok, kali ini, tampak agak berat. Wartawan TEMPO Lukman Setiawan yang menyaksikan pembukaan AG VIII ini akhir pekan lalu melaporkan : MEREKA tak lepas dihantui soal atletik. Hampir semua peserta mencemoohkan keputusan Indonesia yang tidak mengirimkan atlit terbaiknya. Setelah Federasi Atletik Amatir Internasional (IAIF) mengancam akan menskors, Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) membatalkan pengiriman Jeffry Mathelehamual dkk yang sudah dipersiapkan di pelatnas. Alasannya: untuk mengamankan SEA Games X di Jakarta tahun depan. PASI akhirnya diwakili oleh Ready Dono Basuki dkk -- olahragawan yang semula tak terpanggil. IAAF memang keras. Tapi sebagai manifestasi solidaritas Asia, hampir semua kontingen menampilkan atlit terbaiknya. Malaysia, misalnya, menuliskan nama Mubarak dan Marina Chin, keduanya atlit nasional. Kontingen Muangthai pada saat terakhir memasang nama Anat Ratanapol dan Suchart, keduanya pelari terkenal di Asia. Jepang sengaja membawa 2 tim atletik -- terdiri dari kelas 1 dan 2. Entah regu mana yang akan diturunkannya. Ketika Ganefo Rolf von der Large, seorang ahli yang pernah menyusun program atletik Asia dan melatih Carolina Riewpassa, teringat pada Ganefo di Jakarta, 1963. Waktu Ganefo, kecuali Indonesia, semua peserta mengirimkan atlit kelas duanya. "Saya tidak percaya bahwa para atlit terbaik dari Indonesia secara pribadi menolak untuk turut," kata Large. "Sekiranya peserta lainnya diskors IAAF, dalam SEA Games X nanti belum tentu semua medali emas cabang atletik akan dimenangkan Indonesia. Pelatih atletik Muangthai, Surapong juga menyayangkan ketidak-hadiran atlit terbaik Indonesia. "Saya yakin, IAAF akan berfikir dua kali untuk menjatuhkan skorsing," katanya. "IAAF tak berani kehilangan Jepang." Bukan cuma sesama peserta, juga publik kecewa. Lihatlah, ketika barisan kontingen Indonesia lewat di depan panggung kehormatan, tak terdengar sambutan gemuruh seperti yang diberikan pada negara peserta lain. Juga semula berniat mengikuti jejak IAAF adalah Federasi Panahan Internasional (FITA) dan Federasi Renang Internasional (FINA). Keduanya, mempersoalkan keanggotaan RRC. Tapi sehari sebelum pembukaan AG VIII, kedua induk organisasi itu memberikan dispensasi. "Kami merasa bahagia atas keputusan tersebut," kata Sekjen Dewan Nasional Olympiade Singapura, S.S. Dhilon. Soal atletik ini menimbulkan friksi antara Malaysia dan Indonesia. Datok Hamzah Abu Samah dari Komite Olympiade Malaysia ikut mengecam. Maka Menteri Muda Urusan Pemuda, dr. Abdul Gafur, yang hadir di Bangkok, merencanakan untuk berbicara dengan Abu Samah. "Saya sangat prihatin," kata Gafur mengenai tim atletik Indonesia. Dari cabang atletik, harapan Indonesia untuk meraih medali, sekalipun perunggu, tipis sekali. Tapi dari cabang bulutangkis, Indonesia diharapkan bisa meraih 3 medali emas, yaitu untuk tunggal putera, ganda campuran, dan tunggal puteri, dari semua 7 yang diperebutkan. "Sulit untuk meramalkan siapa yang akan menjadi juara," kata pelatih bulutangkis RRC, Wang Wen-chiao. "Indonesia, misalnya, memiliki Juara dunia, Liem Swie King. Sementara Jepang adalah pemegang Piala Uber, lambang supremasi bulutangkis beregu puteri." RRC menurunkan antara lain Tang Hsien Hu di bagian putera, dan Liang Chiu-hsia di nomor puteri. Kedua nama ini adalah jago yang sulit dikalahkan. Di cabang tinju, meski Korea Selatan bertekad untuk meraih 5 medali emas dari 11 kelas yang dipertandingkan, peluang Indonesia bukan tak ada. Harapan itu terletak pada Wiem Gommies (kelas menengah) dan Syamsul Anwar (kelas welter ringan) -- masing-masing adalah pemegang medali perak dan medali emas Kejuaraan Tinju Asia 1977. "Undian ikut menentukan peluang," kata pelatih Zul Karyono Arifin. Peluang medali emas lainnya, di kertas tentunya, adalah di nomor tenis perorangan puteri. Dalam AG VII di Teheran, kontingen Indonesia mendapatkannya dari Lita Sugiarto. Diperkirakan lawan yang bakal dihadapi tak lebih dari musuh yang dulu. Di cabang lain, harapan Indonesia yang mengikuti 11 dari 19 nomor yang dipertandingkan, akan tak lebih besar. Di nomor renang, misalnya, Jepang telah menyatakan akan menyapu semua medali emas. Di balap sepeda, sama seperti panahan, peluangnya fifty-fifty. Sisanya -- berupa anggar, tenis meja, angkat besi, dan menembak -- payah untuk dipertaruhkan. Pengamanan terhadap atlit Indoncsia tampak ketat sekali. Di Hotel Impala, tempat mereka menginap, wartawan tak gampang melakukan kontak. Deputi Chep de Mission, Mohamad Anwar mengatakan itu dilakukan agar konsentrasi atlit jangan sampai terganggu. Polisi Repot Bangkok, berpenduduk 2 juta jiwa, tampak biasa-biasa saja menyongsong pesta olahraga Asia ini. "Sudah rutin," komentar seorang supir taksi. Muangthai menjadi tuan rumah AG untuk ketiga kalinya sesudah 1966 dan 1970. Yang agak repot di Bangkok, cuma polisi. Sejak awal Nopember mereka melancarkan kampanye anti copet dan pelacur. Sudah lebih dari 3.000 orang pelanggar hukum yang ditindak. Pekan lalu, ketika kontingen mulai berdatangan, kaum pelacur diinstruksikan polisi untuk menghentikan kegiatan mereka di tempat atlit dan ofisial menginap. Agaknya, lantaran sudah rutin, dalam AG VIII tak ada segi-segi baru yang muncul. Malah, dalam beberapa hal, masih tampak dipertahankannya cara-cara 'kuno'. Misalnya, test kelamin. Biasanya dokter menempuh kromatin test -- ludah dari dinding pipi mulut dicolek untuk diuji. Atau bisa juga melalui darah dan akar rambut. "Sex test di sini masih sederhana," komentar dr. Haryo Tilarso dari kontingen Indonesia. "Atlit puteri yang diuji hanya mereka yang masih nona, sedang yang nyonya bebas." Cara mengujinya, menurut Tilarso tak berbelit-belit. Atlit yang masih nona cuma diminta untuk telanjang, lalu dilihat kelaminnya. Tak lebih dari itu. Menyangkut kelangsungan AG, di Bangkok diterima usul membentuk Dewan Tertinggi Olahraga Asia (SCSA), pengganti Federasi Asian Games (AGF). Kelahiran SCSA dilatarbelakangi oleh masalah bagaimana mengucilkan Israel. Dalam SCSA, Israel hampir dipastikan tidak akan mendapat tempat. Anggota AGF tidak otomatis menjadi anggota SCSA. India telah ditunjuk menjadi tuan rumah AG IX, 1982. Tapi orang agak pesimis Selain soal politik mengganggu, biayanya pun besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus