Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BENDERA Asian Games diterjunkan dari udara. Di stadion nasional,
Bangkok, 50.000 pengunjung bertepuk mengelukannya -- tanda pesta
olahraga Asia ke-8 itu dibuka. Di panggung kebormatan, hadir
Raja Bhumibol Adulyadej bersama putera mahkota, Vajiralongkorn,
tanpa Ratu Sirikit menyaksikan barisan 25 kontingen peserta
dengan seragam warna-warni.
Kontingen Indonesia tak lupa menonjolkan pakaian adat Timor
Timur yang dikenakan oleb seorang dara. Korp musik nemainkan
lagu Burung Kakak Tua untuk iringan orang kita yang keren,
apalagi dibandingkan pemunculan tim Kambodia yang mengenakan
seragam ala Mao atau atlit Yordania yang cuma memakai kaos
oblong dan celana latihan. Tapi langkah kontingen Indonesia di
Bangkok, kali ini, tampak agak berat. Wartawan TEMPO Lukman
Setiawan yang menyaksikan pembukaan AG VIII ini akhir pekan lalu
melaporkan :
MEREKA tak lepas dihantui soal atletik. Hampir semua peserta
mencemoohkan keputusan Indonesia yang tidak mengirimkan atlit
terbaiknya. Setelah Federasi Atletik Amatir Internasional
(IAIF) mengancam akan menskors, Persatuan Atletik Seluruh
Indonesia (PASI) membatalkan pengiriman Jeffry Mathelehamual dkk
yang sudah dipersiapkan di pelatnas. Alasannya: untuk
mengamankan SEA Games X di Jakarta tahun depan. PASI akhirnya
diwakili oleh Ready Dono Basuki dkk -- olahragawan yang semula
tak terpanggil.
IAAF memang keras. Tapi sebagai manifestasi solidaritas Asia,
hampir semua kontingen menampilkan atlit terbaiknya. Malaysia,
misalnya, menuliskan nama Mubarak dan Marina Chin, keduanya
atlit nasional. Kontingen Muangthai pada saat terakhir memasang
nama Anat Ratanapol dan Suchart, keduanya pelari terkenal di
Asia.
Jepang sengaja membawa 2 tim atletik -- terdiri dari kelas 1 dan
2. Entah regu mana yang akan diturunkannya.
Ketika Ganefo
Rolf von der Large, seorang ahli yang pernah menyusun program
atletik Asia dan melatih Carolina Riewpassa, teringat pada
Ganefo di Jakarta, 1963. Waktu Ganefo, kecuali Indonesia, semua
peserta mengirimkan atlit kelas duanya. "Saya tidak percaya
bahwa para atlit terbaik dari Indonesia secara pribadi menolak
untuk turut," kata Large. "Sekiranya peserta lainnya diskors
IAAF, dalam SEA Games X nanti belum tentu semua medali emas
cabang atletik akan dimenangkan Indonesia.
Pelatih atletik Muangthai, Surapong juga menyayangkan
ketidak-hadiran atlit terbaik Indonesia. "Saya yakin, IAAF akan
berfikir dua kali untuk menjatuhkan skorsing," katanya. "IAAF
tak berani kehilangan Jepang."
Bukan cuma sesama peserta, juga publik kecewa. Lihatlah, ketika
barisan kontingen Indonesia lewat di depan panggung kehormatan,
tak terdengar sambutan gemuruh seperti yang diberikan pada
negara peserta lain.
Juga semula berniat mengikuti jejak IAAF adalah Federasi Panahan
Internasional (FITA) dan Federasi Renang Internasional (FINA).
Keduanya, mempersoalkan keanggotaan RRC. Tapi sehari sebelum
pembukaan AG VIII, kedua induk organisasi itu memberikan
dispensasi. "Kami merasa bahagia atas keputusan tersebut," kata
Sekjen Dewan Nasional Olympiade Singapura, S.S. Dhilon.
Soal atletik ini menimbulkan friksi antara Malaysia dan
Indonesia. Datok Hamzah Abu Samah dari Komite Olympiade Malaysia
ikut mengecam. Maka Menteri Muda Urusan Pemuda, dr. Abdul Gafur,
yang hadir di Bangkok, merencanakan untuk berbicara dengan Abu
Samah. "Saya sangat prihatin," kata Gafur mengenai tim atletik
Indonesia.
Dari cabang atletik, harapan Indonesia untuk meraih medali,
sekalipun perunggu, tipis sekali. Tapi dari cabang bulutangkis,
Indonesia diharapkan bisa meraih 3 medali emas, yaitu untuk
tunggal putera, ganda campuran, dan tunggal puteri, dari semua 7
yang diperebutkan. "Sulit untuk meramalkan siapa yang akan
menjadi juara," kata pelatih bulutangkis RRC, Wang Wen-chiao.
"Indonesia, misalnya, memiliki Juara dunia, Liem Swie King.
Sementara Jepang adalah pemegang Piala Uber, lambang supremasi
bulutangkis beregu puteri." RRC menurunkan antara lain Tang
Hsien Hu di bagian putera, dan Liang Chiu-hsia di nomor puteri.
Kedua nama ini adalah jago yang sulit dikalahkan.
Di cabang tinju, meski Korea Selatan bertekad untuk meraih 5
medali emas dari 11 kelas yang dipertandingkan, peluang
Indonesia bukan tak ada. Harapan itu terletak pada Wiem Gommies
(kelas menengah) dan Syamsul Anwar (kelas welter ringan) --
masing-masing adalah pemegang medali perak dan medali emas
Kejuaraan Tinju Asia 1977. "Undian ikut menentukan peluang,"
kata pelatih Zul Karyono Arifin.
Peluang medali emas lainnya, di kertas tentunya, adalah di nomor
tenis perorangan puteri. Dalam AG VII di Teheran, kontingen
Indonesia mendapatkannya dari Lita Sugiarto. Diperkirakan lawan
yang bakal dihadapi tak lebih dari musuh yang dulu.
Di cabang lain, harapan Indonesia yang mengikuti 11 dari 19
nomor yang dipertandingkan, akan tak lebih besar. Di nomor
renang, misalnya, Jepang telah menyatakan akan menyapu semua
medali emas. Di balap sepeda, sama seperti panahan, peluangnya
fifty-fifty. Sisanya -- berupa anggar, tenis meja, angkat besi,
dan menembak -- payah untuk dipertaruhkan.
Pengamanan terhadap atlit Indoncsia tampak ketat sekali. Di
Hotel Impala, tempat mereka menginap, wartawan tak gampang
melakukan kontak. Deputi Chep de Mission, Mohamad Anwar
mengatakan itu dilakukan agar konsentrasi atlit jangan sampai
terganggu.
Polisi Repot
Bangkok, berpenduduk 2 juta jiwa, tampak biasa-biasa saja
menyongsong pesta olahraga Asia ini. "Sudah rutin," komentar
seorang supir taksi. Muangthai menjadi tuan rumah AG untuk
ketiga kalinya sesudah 1966 dan 1970. Yang agak repot di
Bangkok, cuma polisi. Sejak awal Nopember mereka melancarkan
kampanye anti copet dan pelacur. Sudah lebih dari 3.000 orang
pelanggar hukum yang ditindak. Pekan lalu, ketika kontingen
mulai berdatangan, kaum pelacur diinstruksikan polisi untuk
menghentikan kegiatan mereka di tempat atlit dan ofisial
menginap.
Agaknya, lantaran sudah rutin, dalam AG VIII tak ada segi-segi
baru yang muncul. Malah, dalam beberapa hal, masih tampak
dipertahankannya cara-cara 'kuno'. Misalnya, test kelamin.
Biasanya dokter menempuh kromatin test -- ludah dari dinding
pipi mulut dicolek untuk diuji. Atau bisa juga melalui darah dan
akar rambut. "Sex test di sini masih sederhana," komentar dr.
Haryo Tilarso dari kontingen Indonesia. "Atlit puteri yang
diuji hanya mereka yang masih nona, sedang yang nyonya bebas."
Cara mengujinya, menurut Tilarso tak berbelit-belit. Atlit yang
masih nona cuma diminta untuk telanjang, lalu dilihat
kelaminnya. Tak lebih dari itu.
Menyangkut kelangsungan AG, di Bangkok diterima usul membentuk
Dewan Tertinggi Olahraga Asia (SCSA), pengganti Federasi Asian
Games (AGF). Kelahiran SCSA dilatarbelakangi oleh masalah
bagaimana mengucilkan Israel. Dalam SCSA, Israel hampir
dipastikan tidak akan mendapat tempat. Anggota AGF tidak
otomatis menjadi anggota SCSA.
India telah ditunjuk menjadi tuan rumah AG IX, 1982. Tapi orang
agak pesimis Selain soal politik mengganggu, biayanya pun besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo