Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH berada di wilayah Perkampungan Olimpiade Parc de Mar, berada antara pantai dan bangunan Sagrada Familia, di situlah diharapkan Susi Susanti meraih emas. Sebab di situlah lapangan badminton dalam Olimpiade Barcelona, berdampingan dengan tempat lomba perahu layar dan gelanggang tenis meja. Badminton, cabang olahraga yang sudah lama dibanggakan Indonesia, baru di Barcelona ini diakui menjadi cabang yang patut mengisi acara Olimpiade. Dan ini sebuah harapan. Dan ribuan kilometer di tenggara lapangan di Barcelona itu, di stadion badminton di Jalan Asia Afrika Senayan, Jakarta, dua minggu sebelum Olimpiade dibuka, Susi Susanti dkk. menyiapkan harapan itu. Mereka berlatih keras dengan melakukan shadow badminton. Susi melakukan jurus-jurus smesh, dropshot, atau permainan net menuruti aba-aba Pelatih Liang Chiushia. Dalam latihan-latihan biasa, badminton dengan bayangan ini pun dilakukan, tapi kali ini lama latihan diperpanjang: dari 40 menit menjadi satu jam. Tentu saja bukan hanya badminton yang dikirim Indonesia. Pekan lalu tim Olimpiade kita sudah tersusun, terdiri atas 47 atlet dari 11 cabang, ditambah 29 ofisial. Sebuah tim terbesar sejak Indonesia mengikuti pesta olahraga dunia ini 40 tahun lalu. Dari segi biaya, buat Indonesia kali ini pun terbesar, hampir Rp 3,5 milyar, dari latihan sampai transpor dan akomodasi ke dan di Barcelona. Empat tahun lalu, dalam Olimpiade Seoul, biaya itu hanya lebih dari Rp 1,5 milyar (dan regu panahan membawa pulang medali perak). Ini karena kini Indonesia tak lagi cuma berniat cari pengalaman. Prestasi, itulah yang dikejar. Berikut serba-serbi cabang olahraga, yang oleh panitia diandalkan membuat prestasi itu: BULU TANGKIS "Yang penting, bagaimana mengatasi saat-saat kritis di lapangan. Mampu tidak mengejar ketinggalan," kata Pelatih Rudy Hartono. Juara All England delapan kali itu juga menganjurkan agar para pemain berpikir positif: matikan musuh sehingga angkanya tak bertambah. Dan tentu saja porsi latihan ditingkatkan. Yang biasanya 45 jam per hari sudah dinaikkan menjadi 67 jam pagi-sore. Latihan fisik digenjot dari 40 menit menjadi satu jam. "Pokoknya, di Barcelona anak buah saya harus nomor satu. Kalau hanya nomor dua, ya, tak enak. Saya bisa loyo," kata Pelatih Chiushia. Susi Susanti, 21 tahun, memang mengakui beratnya latihan. Tapi ia sadar semua itu sangat diperlukan, karena ia menduga setiap atlet akan mengotot untuk menang di arena begengsi di Barcelona itu. "Itu memotivasi saya untuk berlatih lebih keras," kata gadis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, yang menjuarai All England tahun 1990 dan 1991 itu. Di kertas, musuh terberat adalah Cina, yaitu Tang Jiuhong dan Huang Hua. Dengan Jiuhong, Susi sudah ketemu 12 kali, skor sama kuat 66. Jiuhong memang memiliki bola-bola tajam. Tapi pada pertemuan terakhir mereka di Piala Uber Kuala Lumpur, Mei lalu, Jiuhong keok di tangan Susi. Lalu, dengan Huang Hua, pemain bertipe bola-bola panjang dan keras. Ini bisa ditandingi Susi, dan sebenarnya saja Susi unggul enam kali dari sembilan kali pertemuan dengan Huang Hua. Yang menarik, Susi menyadari kekurangan-kekurangannya sendiri. Ia mengaku suka bermain monoton dan sering ceroboh. "Saya maunya langsung membunuh, dan tak mau capek dulu," katanya. Biasanya, kalau sudah begitu, ya kalah. Lalu kritik berdatangan. Mulamula ia kaget menerima kritik pedas begitu. "Tapi lama-lama biasa juga," kata Susi yang mengayun raket sejak berusia delapan tahun. Di Barcelona nanti, besar kemungkinan Susi berada di urutan 1 atau 2 bersama juara All England 1992, Tang Jiuhong. Artinya, mereka tidak dalam satu pool. Di bawah Susi masih ada Sarwendah Kusumawardhani yang berhasil mengalahkan Lee Heungsoon (Korea Selatan) di final dalam uji coba di Barcelona bulan lalu. Tes itu secara tak langsung membangkitkan motivasi Sarwendah, 25 tahun, yang belakangan ini agak kedodoran prestasinya. Selain mereka, ganda putri Rosiana Tendean/Erma Sulistyaningsih diharapkan punya peran. Bagi Rosi, 28 tahun, yang sudah menghuni pelatnas 10 tahun, dan juga bagi Erma, 26 tahun, ini merupakan pentas mereka terakhir. Setelah itu keduanya akan mundur. Jadi, adakah sejarah akan tercipta di tangannya? Di kertas, jika mereka satu grup dengan ganda terbaik dunia, Chung Soyoung/Hwang Hyeyoung, harapan itu bisa bubar. "Semoga tak satu grup dengan mereka," kata Rosi. Partai ini juga diperkuat ganda Finarsih/Lili Tampi. Duet yang baru terbentuk dua tahun ini, terus terang, masih labil. Tak diproyeksikan merebut medali. Tapi siapa tahu? Target emas juga ada di pundak pemain tunggal putra Ardy B. Wiranata. Tapi persaingan di sini tampaknya lebih ketat ketimbang di badminton putri. Soalnya, sepuluh besar (Indra Gunawan malah menyebut 20 besar) mempunyai kemampuan merata. Jadi, semua bisa jadi pengganjal. Misalnya, Foo Kok Keong dan Sidek bersaudara (Malaysia), Ahn Jae-Chang dan Park Sung-Woo (Korea Selatan), Darren Hall (Inggris), Jens Olsen (Swedia), dan Steve Butler (Inggris). Lawan yang dianggap punya kemampuan seimbang, bahkan di atas Ardy, adalah Zhao Jianhua (Cina). Dari sembilan kali pertemuan, Ardy kalah enam kali. Lalu, dengan Rasyid Sidek (Malaysia), rekor kemenangan Ardy juga masih di bawah, yaitu 53. Tak berarti mereka tak teratasi. Menghadapi pertandingan, "Nomor satu adalah mental," kata Pelatih Indra Gunawan. "Hanya mereka yang memiliki mental baja yang bisa menang." Selain Ardy, Indonesia masih memiliki andalan Allan Budikusuma dan Hermawan. Ardy mengayun raket sejak berusia sembilan tahun di klub PG 19. Juara dunia junior direbutnya di Jakarta tahun 1987. Gelar internasional pertama disabetnya di Cina Terbuka pada tahun 1989. Tahun 1991 ada enam gelar yang diraihnya. Tapi tahun ini Ardy hanya meraih dua gelar di Jepang Terbuka dan Taiwan Terbuka. Optimisme muncul dari ganda terkuat Indonesia, Eddy Hartono/Gunawan. "Sebab, kemampuan teknik lawan yang kami hadapi sudah kelihatan," kata Eddy. Duet ini kompak. Eddy bertugas mengumpankan bola-bola sulit, sedangkan Gunawan yang bertubuh liat dan tinggi besar menjadi algojo. Tapi ada lawan yang dianggap tak terpantau perkembangannya karena mereka jarang bertemu. Yakni Park Jo Bong/Kim Moon So dari Korea Selatan. Eddy dan Gunawan tak bisa meramalkan seandainya mereka bertemu dengan dua pendekar yang sering "sembunyi" ini di Barcelona nanti. Mereka hanya pernah bertanding empat kali, dan malangnya, pasangan Indonesia itu selalu kalah. Ganda Indonesia yang ke Barcelona lainnya adalah Ricky Subagja/Rexy Mainaky. PANAHAN Ada tiga pemanah putri andalan. Dialah Rusena Gelanteh, Purnama Pandiangan, dan Nurfitriyana. Lalu seorang pemanah putra, Hendra Setiawan. Tim ini melakukan uji coba di Cina dan di Jerman. Di Cina mereka menduduki peringkat ketiga dan di Jerman peringkat keempat di bawah Korea yang para pemanahnya dijuluki mesin pemanah Rusia, dan Jerman. Kini tim ini sedang berlatih di Ancol untuk penyesuaian iklim karena kawasan itu dianggap mirip Barcelona, kota pantai yang cukup panas dan berangin keras. Patut juga diketahui, sistem pertandingan nanti adalah New Olympic Round. Artinya, sejak babak pertama sampai final tiap pemanah sudah mendapat lawan, yang kalah gugur. Sistem ini untuk menyambut Olimpiade Atlanta 1996 agar iklan televisi tersedot. DAYUNG Bentuk badan dan lebar bahu atletnya mudah ditebak. Di bawah ketiak seperti ada sayap. Itu ciri postur pedayung Anisi, Abdul Karim, dan Abdul Rozak. Anisi, 23 tahun, tinggi 169 sentimeter, dan berat 67 kilogram, akan turun di nomor Kayak 1 (500 meter). Pada nomor spesialisnya itu, saat uji coba, ia mencatat satu menit 44,49 detik. Itu rekor waktunya di Waduk Jatilihur yang faktor kesulitannya tinggi karena angin dan ombak. Targetnya di Barcelona: perbaikan prestasi, bukan medali, yakni satu menit 43 detik. Maklum, pedayung Eropa, khususnya Eropa Timur, sulit dilawan. Anisi dan Abdul Rozak, 28 tahun, keduanya nelayan dari Sulawesi Tenggara. Bila tak ada pelatnas, mereka sehari-hari mencari ikan dan telur ikan terbang di laut. Sedangkan Abdul Karim, 23 tahun, berasal dari Kalimantan Tengah, yang sejak anak-anak pergi ke sekolah dengan sampan. Itulah nomor-nomor harapan. Widi Yarmanto, Rudy Novrianto, dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo