Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Tendangan Angin Puyuh dari Medan

Padepokan Kusuma Wushu membina anak-anak Medan menjadi juara dunia.

14 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wilbert Sanjaya berlari dua langkah, lalu melompat. Saat tubuhnya berputar 360 derajat di udara, atlet wushu 17 tahun itu menendangkan kakinya ke atas—lurus, hingga lututnya hampir menyentuh wajah. Itulah xuan feng jiao, tendangan angin puyuh.

Caranya mendarat lebih memukau. Wilbert langsung berada di matras dalam posisi split, yang dalam bahasa Mandarin disebut picha. Tangan kanannya menjulur ke depan. Dia menodongkan sebilah pedang.

Wilbert melakukan gerakan itu tanpa cacat. Tidak ada koreksi dari pelatihnya, Sandry Liong, yang mendampinginya berlatih di padepokan Yayasan Kusuma Wushu Indonesia, Medan, Selasa malam tiga pekan lalu. Gerakan xuan feng jiao picha tersebut menutup babak pertama latihan jurus pedang yang disebut jianshu.

Dalam olahraga wushu, yang juga dikenal dengan nama kungfu, jurus jianshu masuk disiplin seni atau taolu. Dari disiplin inilah tim Indonesia mendulang enam dari tujuh medali emas—serta tiga perak dan enam perunggu—dalam Kejuaraan Dunia Wushu 2015 pada pertengahan November lalu di Jakarta. Berkat medali-medali itu, Indonesia menduduki posisi kedua, setelah Cina—yang menjadi juara umum dengan 17 emas dan satu perak. Indonesia melejit dari posisi kesebelas pada kejuaraan serupa dua tahun lalu di Malaysia dengan hanya meraih satu medali emas, satu perak, dan tiga perunggu.

Tiga atlet yang menyumbangkan enam medali emas itu—Lindswell Kwok, Juwita Niza Wasni, dan Charles Sutanto—adalah murid-murid yang sejak kecil dididik di padepokan Yayasan Kusuma Wushu Indonesia.

Berdiri di lahan seluas 1.600 meter persegi, padepokan yang selesai dibangun pada 1999 ini memiliki aula latihan utama seluas 14 x 28 meter. Lambang yin dan yang terlukis di tembok dengan langit-langit yang menjulang hingga 12 meter. Di tempat inilah atlet-atlet padepokan Yayasan Kusuma Wushu Indonesia dipersiapkan untuk menjadi pewushu kelas dunia. Wilbert salah satunya. Dia sedang menjalani proses yang sebelumnya juga dilalui Lindswell, Juwita, dan Charles.

Wilbert, yang masih bersekolah di SMA Methodist 2 Medan, berlatih mulai Senin hingga Jumat. Dia menjalani dua sesi latihan—sore pukul 15.00-17.00 dan malam pukul 21.00-22.30. Pada pukul 19.00-21.00, dia mengajar murid-murid yang ada di kelas reguler, yaitu kelas untuk anak-anak yang bukan atlet. Hanya pada Jumat dia tidak mengajar. Pada hari itu, Wilbert memulai latihan sesi kedua pada pukul 19.30.

Menurut manajer padepokan, Iwan Kwok, pola latihan ini sudah diterapkan sejak padepokan aktif pada 2000. "Kami mengadopsi pola latihan di Cina: konsisten dan disiplin," ujarnya.

Menurut Iwan, kewajiban mengajar pewushu kelas reguler yang dibebankan kepada Wilbert dan kawan-kawan punya pengaruh bagus buat latihan mereka. "Ketika seorang atlet menerapkan ilmunya untuk mengajari orang lain, dia seperti becermin," Iwan menjelaskan. "Dia menjadi lebih menguasai apa yang pernah diterimanya."

Soal kedisiplinan, padepokan ini tidak main-main. Atlet-atlet tim inti—mereka yang sedang dipersiapkan untuk mencetak prestasi—dilarang berpacaran. "Kalau mau pacaran, dia harus keluar," tutur Iwan. "Sebab, sedikit-banyak, relasi itu berpengaruh. Kalau mau berkeluarga dan kembali lagi ke sini, boleh. Tapi dia akan kembali sebagai pelatih."

Menurut Sandry, pelatih yang mendampingi Wilbert, butuh bertahun-tahun agar Wilbert bisa melakukan gerakan xuan feng jiao picha. Prosesnya dimulai dari nol, sejak Wilbert berumur tujuh tahun.

Untuk menguasai gerakan sulit seperti tendangan angin puyuh, kata Sandry, seorang atlet harus memiliki dasar-dasar gerakan wushu yang kokoh. Dasar-dasar itu mencakup teknik kelenturan, kuda-kuda, tendangan, pukulan, dan lompatan. "Orang belajar wushu satu sampai tiga tahun belum ada apa-apanya," ujarnya. "Empat sampai lima tahun baru kulitnya doang."

Sulitnya belajar wushu ini terlihat lebih nyata jika kita membandingkan penampilan Wilbert dengan atlet-atlet yang masih berumur 13-15 tahun. Gerakan atlet-atlet yang lebih muda belum selincah dan seringan Wilbert. Dari wajah mereka, terlihat bagaimana dibutuhkan energi yang sangat banyak untuk melakukan sebuah gerakan. Sandry pun lebih banyak memberikan instruksi saat melatih pewushu muda. Dia menyelipkan teriakan aba-aba di setiap gerakan.

Tak jarang, Sandry menghentikan gerakan mereka lantaran tak puas. Dia mengomel, kemudian memberi contoh. Sebuah gerakan harus diulang. Apes, ada seorang atlet yang tak kunjung melakukan gerakan dengan benar. Akhir latihannya berujung pada hukuman push-up.

Pengamatan Sandry atas sebuah gerakan didapatkan dari hasil pergulatannya dengan wushu selama bertahun-tahun. Sandry juga hasil binaan padepokan ini. Selama menjadi atlet, sekali setahun dia menimba ilmu di Cina. Setiap kali ke sana, Sandry menghabiskan waktu tiga bulan. Seperti pelatih-pelatih lain—Dwi Arimbi Lubis, David Brahim, dan Howandy Santoso—Sandry mengaku belajar banyak di sana.

Selain rutin mengirim atlet ke Cina, Yayasan Kusuma Wushu Indonesia mendatangkan pelatih dari negara itu. "Sejak 2000, program mendatangkan pelatih asing itu tidak pernah putus," kata Iwan. "Minimal ada satu pelatih asing. Tapi biasanya kami mendatangkan dua atau tiga pelatih."

Sandry pun membenarkan. Soal ilmu, tidak ada yang ditutup-tutupi Cina, negeri asal wushu. "Mereka tidak takut karena, walaupun orang sudah tahu ilmunya, tetap dibutuhkan latihan yang serius dan kerja keras untuk menghasilkan gerakan yang bagus," ujarnya. "Pembinaan juga harus dilakukan sejak dini."

Pembinaan sejak dini itu juga yang dilakukan padepokan ini. Mereka mengadakan kelas reguler dengan kurikulum yang sudah diatur, yaitu dasar, pemula 1-3, junior, dan advanced. Total jumlah muridnya mencapai 500 orang.

Ketika jam menunjukkan pukul tujuh malam, padepokan sudah dipenuhi anak-anak kecil dan remaja Medan yang mengikuti kelas reguler. Mereka menggunakan kaus dengan kerah yang berbeda warna: biru untuk anak yang masih dalam kategori pemula 1, hijau untuk pemula 2 dan 3, serta merah untuk junior dan advanced.

Saat latihan, anak-anak itu memenuhi aula utama. Tiga perempat ruangan diisi murid-murid berkaus putih berkerah itu. Sisanya ditempati anak-anak yang tak berseragam. Kelompok terakhir inilah yang merupakan tim inti, yang dijaring dari kelas reguler. Menurut Sandry, atlet-atlet di tim inti adalah mereka yang memiliki bakat dan menunjukkan minat serius pada wushu. Dua syarat itu, kata dia, terlihat secara kasatmata.

"Soal minat, misalnya, kan kelihatan. Kalau karena ujian sekolah dia absen latihan, berarti dia enggak serius. Sedangkan yang lain terus konsisten ikut. Itu yang kami masukkan ke tim inti," Sandry menjelaskan. "Seleksi itu tidak tergantung umur. Kalau sudah dianggap layak, dia bisa langsung masuk tim inti."

Ini juga yang terjadi pada Wilbert. Dia bergabung dengan padepokan sejak berusia tujuh tahun. Setahun setelah bergabung, dia dipilih masuk tim inti. Wilbert kemudian menjalani proses hingga akhirnya bisa menguasai tiga jurus, yaitu jianshu, qiangshu (tombak), dan changquan (tangan kosong).

Salah satu bagian dari proses pembentukan atlet adalah kesempatan ikut serta dalam pertandingan-pertandingan, baik nasional maupun internasional. Setahun setelah bergabung dengan tim inti, Wilbert sudah diberi kesempatan mengikuti pertandingan internasional di Hong Kong. Sejak itu, kata Wilbert, dia rutin diberi kesempatan mengikuti pertandingan, termasuk pekan olahraga tingkat kota, kejuaraan nasional junior, kejuaraan Asia junior, dan kejuaraan dunia junior.

Selasa malam itu, Wilbert dua kali menyelesaikan jurus jianshu-nya, yang terdiri atas empat babak. Teman-temannya bertepuk tangan melihat penampilan tanpa cacat juara dunia junior itu. Tapi Sandry belum puas. "Kalau di pertandingan, penampilan Wilbert seperti tadi memang tidak akan kena pemotongan nilai," ujarnya. "Tapi keindahannya masih bisa ditingkatkan. Lompatannya harus terlihat lebih ringan dan gerakannya masih bisa lebih bertenaga. Ini nomor seni, tidak ada batas maksimalnya."

Gadi Makitan (Medan)


AGAR GERAKAN HEBAT

Menurut Herman, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seorang atlet bisa melakukan gerakan-gerakan itu dengan baik:

1. Tumit, betis, dan paha harus kuat dan punya daya ledak yang cukup.
Seorang atlet wushu setidaknya harus dapat melakukan vertical jump setinggi 70 sentimeter. Jika dia bisa mencapai 75 atau 80 sentimeter, lebih baik.

2. Otot hamstring harus lentur.
Kelenturan otot hamstring ini didapatkan dengan latihan split bertahun-tahun.

3. Menguasai qi ben gong atau dasar-dasar tendangan.
Ada tendangan lurus, tendangan memutar ke luar, tendangan memutar ke dalam, dan tendangan tepuk. Dasar-dasar tendangan ini tidak pernah berhenti dilatihkan, sejak kecil hingga seorang pewushu sudah menjadi atlet elite.

4. Otot inti harus kuat.
Otot inti yang kuat akan membuat tubuh stabil. Kalau tubuh stabil, perputaran di udara lebih mudah dilakukan.


GERAKAN-GERAKAN SULIT

Ada lima lompatan sulit dalam wushu. Lompatan-lompatan ini digunakan untuk mendapatkan nilai dari segi tingkat kesulitan dalam pertandingan wushu taolu. Pelatih wushu DKI Jakarta, Herman Wijaya, memberikan penjelasan tentang gerakan-gerakan sulit itu.

1. TORNADO KICK
Tendangan di udara yang dilakukan sambil tubuh berputar. Kaki menendang dengan lurus ke atas, hampir menyentuh wajah. Sambil menendang, kaki pewushu juga membentuk putaran ke arah dalam. Putaran tubuh dalam tendangan ini bisa 360 derajat, 540 derajat, atau 720 derajat. Makin besar derajat, makin tinggi nilai yang diberikan.

2. LOTUS KICK
Tendangan di udara yang juga dilakukan sambil tubuh berputar. Berbeda dengan tornado kick, putaran kaki saat menendang diarahkan ke luar. Seperti tornado kick, putaran tubuh dalam tendangan ini juga bervariasi. Semakin besar derajat, semakin tinggi nilainya.

3. FLYING FRONT KICK
Tendangan di udara yang dilakukan dengan menggunakan kaki kanan untuk bertolak. Sementara kaki kiri melipat di udara, kaki kanan menendang ke depan dan menepuk telapak tangan. Tubuh tidak berputar.

4. BUTTERFLY KICK
Tendangan ini dilakukan di udara. Badan bagian atas melayang hampir sejajar dengan lantai, sementara kedua kaki mengayun bergantian.

5. CARTWHEEL KICK
Seperti namanya, tendangan ini membuat kaki pewushu terlihat sebagai poros roda. Ini semacam salto samping, tapi tangan tidak menyentuh lantai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus