Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#FF9900>KASUS PAJAK</font><br />Menarik Layang-layang Putus

Legislator Senayan mengulik kasus Paulus Tumewu yang lama terpendam. Gada terakhir untuk Sri Mulyani.

10 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAULUS Tumewu, bos PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk., mengemuka. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi masalah hukum, membuka file lama dugaan pengemplangan pajak. ”Semua kasus pajak ditelisik ulang, tanpa tendensi kepada siapa pun,” kata Ketua Komisi III Benny K. Harman, Jumat malam pekan lalu.

Kasus Paulus dinilai belum tuntas. Ada indikasi, kasus yang membelit adik ipar buron pembobol uang Bapindo Rp 1,3 triliun Eddy Tansil itu sengaja dipudarkan. ”Semua kasus yang sudah seperti layang-layang putus kita tarik lagi,” kata Benny.

Bermula dari pertemuan Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia dalam forum Panitia Kerja Perpajakan di Komisi III, bulan lalu, terbitnya surat ketetapan penghentian penuntutan Kejaksaan Agung dalam kasus Paulus dipertanyakan lagi. Surat ketetapan itu terbit atas disposisi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. ”Padahal berkas sudah P21 alias lengkap, proses hukum harus lanjut,” kata Bambang Susatyo, anggota Komisi III.

Menurut dia, Paulus wajib membayar pajak Rp 399 miliar plus denda 400 persen. Total yang harus dibayar Rp 1,6 triliun. ”Ternyata yang dibayar hanya Rp 7,9 miliar. Plus denda, total yang dibayar Rp 31,9 miliar,” kata Bambang. ”Aneh, kok bisa mengecil.”

Komisi III memanggil Hadi Poernomo. Saat kasus Paulus merebak, dia menjabat Direktur Jenderal Pajak. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan itu menjabat Dirjen Pajak sejak 12 Februari 2001 sampai 27 April 2006. Dia mengaku tak mengetahui kasus ini karena digantikan Darmin Nasution.

Hadi menjelaskan, pada 23 November 2005, Paulus mengirim surat ke Menteri Keuangan, dengan tembusan ke Dirjen Pajak, soal permintaan penghentian penyidikan dan penuntutan. Disposisi diperoleh Hadi dari Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan pada 5 Desember 2005. Delapan hari kemudian, Hadi menjawab disposisi itu dalam dua poin. Pertama, karena penyidik pegawai negeri sipil telah menyerahkan tersangka dan barang bukti ke penuntut, kewenangan di tangan jaksa. ”Kedua, perlu pertimbangan hukum Biro Hukum Departemen Keuangan,” kata Hadi di hadapan Komisi III.

Anehnya, meskipun Hadi mengakui ketika surat P21 terbit dia masih menjabat Dirjen Pajak, dia tak ingat mengecilnya nilai pajak dan penghentian kasus. ”Mungkin saya dilaporin, tapi lupa,” katanya. Jawaban Hadi tak memuaskan anggota Dewan.

Dewan rencananya akan memanggil semua orang yang mengetahui kasus ini. Di antaranya Darmin Nasution; mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh; penasihat Menteri Keuangan, Marsillam Simandjuntak; mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan J.B. Kristiadi; Teguh Boentoro, konsultan pajak Paulus Tumewu; Hendarman Supandji, yang ketika itu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; dan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Darmono. ”Akan kami lacak, kok bisa Jaksa Agung mengeluarkan surat penghentian penyidikan,” kata Bambang. Padahal, jika berkas penyidikan sudah P21, proses hukum harus dilanjutkan.

Sri Mulyani mempersilakan kasus Paulus diperiksa ulang. Katanya, Direktorat Jenderal Pajak bisa ditanyai, dokumen juga bisa dilihat. ”Silakan audit dan periksa ulang.” Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Keuangan menggunakan Pasal 44 (b) Undang-Undang Pajak. ”Wajib pajak (Paulus) setuju konsekuensi pasal itu, yakni membayar denda empat kali lipat atau 400 persen,” kata Sri Mulyani.

Wakil Jaksa Agung Darmono menandaskan tak ada manipulasi. Penghentian penuntutan berdasarkan surat Menteri Keuangan menyatakan Paulus sudah memenuhi kewajiban. Sesuai dengan Pasal 44 (b), jika wajib pajak sudah memenuhi kewajiban, perkaranya bisa dihentikan. Surat Menteri Keuangan kepada Jaksa Agung diterima pada 31 Oktober 2006. Darmono, yang saat itu menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi DKI, diperintahkan Jaksa Agung menghentikan kasus Paulus.

Berdasarkan fakta, data, serta keterangan ahli, kerugian negara Rp 7,994 miliar untuk pajak terutang. Dengan denda 400 persen, nilai yang disetor menjadi 31,978 miliar. ”Negara telah mendapat bayaran lebih. Undang-Undang Korupsi terpenuhi,” kata Darmono.

Penggunaan Undang-Undang Korupsi pada kasus Paulus dimaksudkan untuk menutup kerugian negara. Jika kasusnya diajukan ke pengadilan dalam perkara pajak saja, dikhawatirkan kerugian negara tak terbayar karena hukumannya kurungan dan/atau denda. Dengan Undang-Undang korupsi, ada beban kewajiban uang pengganti.

Legislator Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, membantah kasus Paulus Tumewu dipakai untuk menghantam Menteri Keuangan. ”Ini murni menyelamatkan uang negara,” katanya.

Dwidjo U. Maksum, Kartika Chandra, Renny Fitria Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus