Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Almi Desak Presiden dan Nadiem Tegas Atasi Kejanggalan Pemberian Gelar Guru Besar

Pemberian jabatan guru besar beberapa pesohor dianggap janggal. Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) minta Presiden dan Menteri Pendikan tindak tegas dengan mencabut jabatan dan menindak univesitas yang terlibat.

9 Juli 2024 | 08.16 WIB

Para politikus dan dosen berlomba mendapatkan guru besar dan profesor. Mereka melakukannya dengan cara culas: memakai jurnal predator dan bersekongkol dengan para asesor di Kementerian Pendidikan.
Perbesar
Para politikus dan dosen berlomba mendapatkan guru besar dan profesor. Mereka melakukannya dengan cara culas: memakai jurnal predator dan bersekongkol dengan para asesor di Kementerian Pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (Almi) turut merespons maraknya kejanggalan pengusulan jabatan fungsional profesor atau guru besar di beberapa universitas. Ketua Almi, Gunadi, mengaku prihatin atas praktik pelanggaran etika akademik tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Menurut Gunadi, guru besar bukan sekedar jabatan fungsional, tapi pengakuan komunitas akademik atas kepakaran dan kompetensi seseorang yang berprofesi dosen. “Pelanggaran dalam mendapatkan jabatan tanpa memandang jenjang yang ditentukan, kualifikasi atau persyaratannya, telah mencoreng kredibilitas pendidikan tinggi di Indonesia,” ujarnya dalam pernyataan resmi, dikutip Senin, 8 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sistem yang membiarkan praktik curang terus terjadi akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di dalamnya. Gunadi mengatakan praktik ini menjadi contoh buruk, jika tidak ditindak segera akan terus berlanjut dan menurunkan integritas akademik ilmuwan di Indonesia kedepannya.

Adapun persyaratan menjadi guru besar telah ditentukan dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Dosen dan Guru. Di dalam aturan sangat jelas beberapa syarat seseorang dapat diangkat menjadi guru besar. Undang-undang tersebut juga mensyaratkan bahwa jabatan profesor membutuhkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Gunadi mengatakan guru besar menduduki tingkatan paling tinggi dalam jenjang karir dosen di negara. Dan akademikus di luar negeri tentu menyoroti masalah ini. “Kejadian dan praktik yang ada, berpotensi menurunkan kepercayaan komunitas akademik internasional dan dapat berpengaruh terhadap kolaborasi akademik,” ujarnya.

Karena itu, ALMI membuat pernyataan sikap yang memuat beberapa poin tuntutan. Di antaranya mendesak Presiden dan Menteri Pendidikan untuk menindak tegas segala bentuk pelanggaran integritas akademik dalam pengusulan jabatan fungsional di pendidikan tinggi di Indonesia.

Selanjutnya, ALMI meminta pemerintah mencabut jabatan guru besar dari oknum-oknum yang mendapatkannya dengan cara curang. Lalu menindak oknum yang menawarkan kemudahan-kemudahan dalam pengusulan guru  besar melalui proses transaksi yang melanggar aturan dan hukum. 

Tuntutan berikutnya adalah perlu pemberian sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang secara sengaja atau karena  kelalaiannya membuat praktik ini dapat terjadi di dalam universitas. Yang terakhir, meminta pemerintah mencegah normalisasi praktik publikasi jurnal predator yang memberikan jalan pintas dengan membayar tanpa melihat pada kualitas publikasi hanya demi mencapai target untuk penilaian angka kredit dan memenuhi syarat pengusulan Guru Besar.

Sebelumnya, hasil investigasi Majalah Tempo yang terbit 8 Juli 2024 memaparkan jabatan guru besar sejumlah pejabat publik dan pesohor bermasalah. Mereka adalah politikus partai, bekas ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU, hingga jaksa agung muda. Dugaan kecurangan terjadi di beberapa universitas lewat penerbitan jurnal hingga masalah pada tim penilai.

Hasil penyelidikan yang dilakukan Kementerian Pendidikan juga menemukan permasalahan di antaranya publikasi melalui jurnal predator atau penerbit pemangsa yang tidak memeriksa mutu, hingga dominasi komplotan asesor yang mengatur proses penilaian. Tempo menemukan adanya hasil kajian Kementerian yang mencoret beberapa nama penilai yang diduga kerap meloloskan kandidat bermasalah.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus