Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bantul - Penanganan kasus hukum yang berkaitan dengan difabel membutuhkan waktu lama. Staf Center for Improving Qualified Activity in Live of People with Disabilities atau CIQAL, Bonnie Kertaredja mengatakan ada berbagai tantangan yang dihadapi oleh korban, keluarga, maupun pendamping.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Umumnya korban dan keluarganya enggan melaporkan kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak difabel kepada polisi karena malu dan menganggap aib. "Butuh waktu lama untuk merampungkan kasus hukum yang berkaitan dengan difabel. Bisa 1 sampai 2 tahun," kata Bonnie Kertaredja dalam acara peluncuran Catatan Tahunan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan Difabel Tahun 2019 di DI Yogyakarta di Hotel Grand Dafam, Bantul, Kamis, 9 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tak heran, sebanyak 29 kasus yang didampingi oleh CIQAL sepanjang 2019 tidak ada yang diselesaikan lewat jalur hukum yang berujung dengan pidana bagi pelaku. Dari jumlah itu, ada enam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang masuk ke Pengadilan Agama karena korban menggugat cerai.
Staf CIQAL, Tutik Purwaningsih menambahkan, selain korban dan keluarga, para tetangga juga enggan membantu melaporkan. Mereka beralasan kasus kekerasan terhadap difabel, terutama yang terjadi di ranah rumah tangga adalah urusan internal. "Lantas, buat apa susah-susah jadi saksi," kata Tutik menirukan alasan tetangga korban.
Ketika kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak difabel dilaporkan ke polisi, tantangan selanjutnya adalah bagaimana supaya komunikasi antara korban dengan penyidik berjalan lancar. Musababnya, setiap difabel memiliki pola interaksi yang berbeda sesuai dengan ragam disabilitasnya.
Tutik mencontohkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tunagrahita atau difabel mental intelektual membutuhkan penerjemah bahasa isyarat yang dimengerti korban. Mengajak korban berkomunikasi juga harus memperhatikan waktu yang tepat. "Kami menyesuaikan suasana hati korban," kata Tutik.
Berbagai cara dilakukan untuk membuat difabel tunagrahita merasa nyaman. Semisal diajak jalan-jalan dulu, makan makanan kesukaannya, ataupun mengutak-atik ponsel pendamping. "Semua itu butuh waktu yang tak sebentar karena mood korban tak bisa dipastikan bertumbuh pada waktu yang ditentukan," ucap Tutik.
Ketua Yayasan CIQAL, Nuning Suryaningsih menambahkan tantangan lain ketika menghadapi kasus yang berkaitan dengan teman tuli atau tunarungu. Menurut dia, tak semua penerjemah bahasa isyarat memiliki pemahaman yang sama atas bahasa isyarat yang disampaikan seorang tuli.
Biasanya yang mempunyai pemahaman sama adalah teman dari sesama tuli karena sering berkomunikasi. "Jadi, untuk tahu bahasa dan makna yang disampaikan korban tuli harus lewat temannya sesama tuli. Kemudian diterjemahkan penerjemah bahasa isyarat, baru disampaikan kepada kami," kata Nuning.
Di sisi lain, Tutik menjelaskan, salah satu syarat proses hukum bisa berjalan adalah dokumen identitas korban, semisal Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kartu identitas itu digunakan untuk mendapatkan surat dari desa untuk memproses visum et repertum korban, mendapatkan layanan jaminan kesehatan, hingga pelaporan ke polisi. "Tak banyak difabel yang punya KTP," kata Tutik.
Ihwal KTP, Nuning Suryaningsih menyampaikan di tiga sekolah luar biasa dari total 29 SLB di Kabupaten Sleman, baru 23 siswa yang sudah mempunyai KTP. CIQAL bersama Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Sleman kemudian memproses pendataan identitas siswa. Proses pembuatan KTP untuk 23 siswa di 3 SLB tadi membutuhkan waktu dua pekan. "Sayangnya, proses itu belum berlanjut ke sekolah-sekolah luar biasa lainnya," kata Nuning.