Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Safari Dialog Kejar Pengesahan RKUHP

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menggelar safari sosialiasi pembahasan RKUHP ke 11 ibu kota provinsi. RKUHP tidak menyinggung adanya tindak pidana pers.

30 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kementerian Hukum dan HAM gencar menggelar sosialisasi RKUHP ke 11 ibu kota provinsi.

  • Pembahasan materi RKUHP tetap mengacu pada masukan dari koalisi masyarakat sipil, Dewan Pers, serta hasil sosialisasi.

  • Masyarakat sipil mengkritik sosialisasi tersebut lantaran seluruh pembicara yang membahas RKUHP berasal dari pemerintah.

JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menargetkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) bisa diselesaikan pada akhir tahun ini. Kementerian kini gencar menggelar sosialisasi ke 11 ibu kota provinsi dengan skema dialog terbuka tapi terbatas untuk mendapatkan masukan publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator Perencanaan dan Penyiapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Muhammad Waliyadin, mengatakan kick-off atau persiapan awal sosialisasi RKUHP diteken pada 23 Agustus 2022. Pelaksanaannya dimulai di 11 ibu kota provinsi, yakni Kota Medan, Padang, Bandung, Surabaya, Samarinda, Makassar, Pontianak, Manado, Denpasar, Manokwari, dan Ternate.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosialisasi bertajuk dialog publik itu melibatkan penegak hukum, organisasi masyarakat, organisasi profesi, mahasiswa, tokoh agama, pers atau media, akademikus, Komnas HAM, serta kementerian/lembaga. "Sosialisasi dimulai 30 Agustus sampai 4 Oktober," ujar Waliyadin kepada Tempo, Senin, 29 Agustus lalu.

Setelah safari dialog tersebut, Waliyadin memperkirakan pembahasan RKUHP di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa dilaksanakan pada Oktober mendatang. Itu pun setelah masukan publik selama sosialisasi rampung. Kemudian pada Desember, ia melanjutkan, Kementerian berharap RKUHP sudah mendapat persetujuan, pengesahan, dan pengundangan.

Waliyadin mengklaim pembahasan materi tetap dilaksanakan dengan mengacu pada masukan dari koalisi masyarakat sipil, Dewan Pers, serta hasil sosialisasi. Karena itu, dia mengatakan masih ada kemungkinan terjadi perubahan draf RKUHP saat ini. "Adanya kemungkinan perubahan tidak hanya pada 14 hal krusial, tapi juga berdasarkan masukan dari kalangan masyarakat yang dianggap sebagai hal mendesak oleh pemerintah dan DPR," ucapnya.

Dalam rapat pada 25 Mei lalu, Komisi III DPR, yang membidangi hukum, mendengarkan keterangan pemerintah perihal adanya 14 isu krusial dalam RKUHP. Isu krusial itu antara lain pidana mati sebagai pidana alternatif dan penghinaan terhadap presiden menjadi delik aduan. Meski begitu, pemerintah belum juga membuka draf akhir RKUHP ke publik, padahal partisipasi diperlukan dalam pembahasannya.

Pemerintah pada 6 Juli 2022 telah menyerahkan draf RKUHP ke DPR untuk dibahas lebih lanjut sebelum disahkan. Dalam draf RKUHP itu setidaknya ada 37 bab dan 632 pasal. Pemerintah mengklaim proses pembahasan RKUHP sudah berjalan cukup panjang, dan panitia kerja RKUHP pemerintah sudah berdiskusi dengan sejumlah pakar hukum pidana serta mencatat berbagai masukan.

Diskusi itu salah satunya dilakukan bersama Dewan Pers sebagai elemen penting yang mewakili masyarakat. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa pasal-pasal dalam RKUHP sama sekali tidak menyinggung soal adanya tindak pidana pers. "Jadi, tidak ada itu," ujar dia, yang sering disapa Eddy Hiariej, di Jakarta, Senin, 29 Agustus 2022.

Ketua Dewan Pers Prof. Azyumardi Azra (tengah) bersama anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli (kiri) dan Ninik Rahayu, menghadiri rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR, di Gedung DPR, Jakarta, 23 Agustus 2022. Dokumentasi Dewan Pers

Menurut Eddy, hal yang sebetulnya dikhawatirkan Dewan Pers adalah soal potensi yang mengarah pada pengekangan kebebasan pers. Dia kembali menggarisbawahi bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam rumusan RUU KUHP hasil revisi sama sekali tidak menyinggung ihwal tindak pidana pers.

Wamenkumham mengatakan, berdasarkan pertemuan sebelumnya dengan Dewan Pers, selain menerima kritik, Dewan memberikan solusi yang dinilai bisa diakomodasi. Eddy menjelaskan, solusi yang diberikan Dewan Pers bisa diterima karena tidak mengubah konstruksi pasal, melainkan hanya menambahkan klausul dalam rumusan pasal, yakni "kecuali untuk kepentingan jurnalistik".

Eddy menyampaikan hal tersebut berdasarkan pandangan pribadi. Alasannya, hingga kini ia belum berbicara secara keseluruhan dengan tim ahli. Dia yakin DPR sepakat dengan usulan Dewan Pers guna mencegah adanya pasal pembungkaman pers.

Frasa "kecuali untuk kepentingan jurnalistik" tersebut tidak hanya dimasukkan ke Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden, tapi juga dalam banyak pasal lain, misalnya pasal tentang kejahatan terhadap ideologi negara Pancasila, termasuk pasal-pasal soal penghinaan terhadap pemerintah, pejabat publik, serta penghinaan yang menyerang harkat dan martabat presiden ataupun wakil presiden.

Pasal 218 ayat 2 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden ataupun wakil presiden memang menjadi salah satu pasal yang dianggap bermasalah. Dalam rancangan versi pemerintah, dalam pasal tersebut tertulis, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Karena pasal tersebut dinilai berpotensi melemahkan kebebasan pers, Dewan Pers lantas mengajukan reformulasi. "Kami sepakat dengan upaya pemerintah mendekolonisasi KUHP. Tapi kami minta perubahan itu tidak mengurangi kebebasan pers yang sudah ada," ujar Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra.

Dalam kesempatan terpisah, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Reformasi RKUHP masih mencoba memberikan catatan dan masukan terhadap RKUHP kepada pemerintah serta fraksi-fraksi di DPR. Aktivis koalisi, Muhammad Isnur, mengatakan Aliansi mendesak DPR membaca kembali pasal-pasal bermasalah dan menerima masukan masyarakat sehingga RKUHP tidak buru-buru disahkan. Aliansi juga mendesak pemerintah dan DPR membuka ruang diskusi dengan prinsip partisipasi bermakna. "Bukan sekadar sosialisasi satu arah," kata Isnur, yang juga Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kemarin. "Pembahasan RKUHP juga semestinya tidak hanya terpaku pada 14 pasal krusial."

Ihwal sosialisasi yang digelar pemerintah, Aliansi menilai kegiatan tersebut bukan sarana untuk membangun diskursus terhadap pasal-pasal bermasalah dalam draf RKUHP. Sosialisasi pemerintah itu, kata Isnur, hanya cara formal lantaran ditujukan untuk edukasi. Kegiatan tersebut, ia melanjutkan, bukan dialog yang dikonstruksikan setara karena semua pembicara yang membahas RKUHP berasal dari pemerintah.

Isnur mengimbuhkan, kehadiran atau ketidakhadiran masyarakat sipil dalam kegiatan itu juga akan diklaim sebagai persetujuan publik. "Pemerintah akan berdalih bahwa ruang partisipasi sudah tersedia sehingga memuluskan jalan untuk pengesahan RKUHP," ujarnya.

RKUHP merupakan carry over (keputusan bawaan) dari DPR periode 2014-2019. Artinya, pembahasan RKUHP tinggal dilanjutkan dalam pembahasan di tingkat II, yakni persetujuan dalam rapat paripurna DPR. Berdasarkan keputusan ini, pemerintah diminta mensosialisasi kembali substansi RKUHP agar masyarakat memahaminya secara utuh.

Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, pernah mengusulkan agar pembahasan RKUHP dijadikan sebagai konsultasi nasional. Pelaksanaannya melalui diskusi di berbagai media, seminar, ataupun diskusi publik. Harapannya agar RKUHP menjadi diskursus yang disambut dan dibicarakan semua orang. Dia juga mengatakan perlunya penggunaan simulasi terhadap pasal-pasal kontroversial.

"Tujuannya untuk mengetahui perbuatan apa saja yang masuk delik pidana ataupun yang tidak," kata Taufik kepada Tempo. "Hasil simulasi itu bisa menjadi dokumen resmi berupa risalah atau memories van toelichting yang tidak terpisahkan dari RKUHP yang akan disahkan."

RIRI RAHAYUNINGSIH | M. ROSSENO AJI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus