Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Permohonan uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan dilatarbelakangi diskriminasi yang selama ini dialami empat penggugat dan keluarga mereka. Mereka, seperti halnya penganut agama lokal lainnya, merasa menjadi korban kebijakan pemerintah yang mengosongkan kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) sejak undang-undang tersebut diterapkan pada 2006.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Anak saya punya prestasi dan nilai bagus, tapi ditolak oleh perusahaan karena kolom agama di KTP-nya hanya berisi tanda strip. Dia dianggap tak punya agama, ateis, atau kafir,” kata Arnol Purba, salah seorang pemohon yang menghayati kepercayaan Ugamo Bangso Batak, seusai persidangan, Selasa, 7 November 2017.
Baca: Setelah Putusan MK, Pemerintah Data Ulang Agama Lokal
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Arnol, stigma negatif dari masyarakat pun kerap mereka alami karena kosongnya kolom agama pada KTP dan KK. Saat ini, kata dia, ada sekitar 40 orang penganut Ugamo yang berdomisili di tiga kecamatan di Kota Medan, yaitu Medan Helvetia, Medan Denai, dan Medan Belawan.
Penghayat kepercayaan Parmalim, Pagar Demanra Sirait, juga punya pengalaman yang sama dengan anak Arnol: kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan, kata dia, kosongnya kolom agama pada identitas kependudukannya berimbas pada sulitnya mengakses hak jaminan sosial.
Menurut dia, keluarganya sempat mengaku beragama Kristen hanya untuk mendapat kemudahan dalam administrasi dan hak kependudukan. “Setelah mengaku sebagai penganut Parmalim, kolom agama di KTP elektronik atau e-KTP dikasih strip. Sejak saat itu, semuanya jadi serba sulit,” ujar Demanra.
Baca: MK Putuskan Aliran Kepercayaan Masuk Kolom Agama KTP
Nggay Mehang Tara, pemohon uji materi dari penghayat kepercayaan Marapu, mengatakan diskriminasi dialami sedikitnya 21 ribu orang penganut agama lokal tersebut di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Begitu pula 40 ribu penganut Marapu di Pulau Sumba.
Menurut Nggay, pemerintah daerah kerap menolak mencatat dan mengakui perkawinan adat yang digelar berdasarkan penghayatan kepercayaan itu. Walhasil, mayoritas penghayat tak bisa memiliki kartu keluarga. “Anak-anak yang dilahirkan juga tak memiliki akta kelahiran,” ujarnya.
Kisah sedih juga dialami para penghayat kepercayaan Sapto Darmo di Kabupaten Brebes, Jawa Timur. Carlim mengatakan keluarganya tak diizinkan memakamkan mendiang paman dan keponakannya di kuburan umum setempat.
Dia menuding pengurus dan pemerintah daerah menolak lantaran kedua kerabatnya itu adalah penganut Sapto Darmo. “Kakak ibu saya akhirnya dimakamkan di belakang rumahnya sendiri, Desa Siandong. Kalau keponakan saya dimakamkan di samping rumah saya. Ini semua terpaksa karena ditolak,” kata Carlim.