Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT DC-10 Garuda Indonesia meninggalkan New Delhi, ketika matahari telah condong ke barat, Sabtu pekan lalu. Di udara, dalam perjalanan pulang ke Jakarta, itulah, di dalam pesawat tadi, Presiden Soeharto menegaskan soal swasembada beras. Prestasi yang telah kita capai bukan hanya untuk satu-dua tahun, tapi untuk seterusnya, kata Presiden kepada para wartawan yang menyertainya. Dengan demikian, jelas sudah jawaban bagi mereka yang meragukan kelangsungan sukses panen kita. Hal mencukupi kebutuhan bahan pangan pokok sendiri memang harus diakui sebagai sesuatu yang dasar, apabila suatu bangsa ingin memantapkan kemandiriannya. "Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa masalah pangan yang tidak terselesaikan dapat menjadi awal kesulitan ekonomi lainnya," demikian pidato Presiden Soeharto di sidang peringatan 40 tahun FAO (Food and Agriculture Organization, badan pangan dan pertanian dunia) di Roma, Kamis pekan lalu. Seperti sudah diketahui, Indonesia dinilai sukses dalam swasembada beras, dan karenanya ditunjuk oleh FAO untuk mewakili negara berkembang dalam sidang tersebut. Kritik terhadap sukses beras sifatnya memang lebih mengingatkan daripada mencela. Kelebihan produksi beras itu sendiri begitu meyakinkan. Tahun ini, misalnya, dengan perhitungan tiap kepala membutuhkan 120 kg beras per tahun, maka kita hanya memerlukan 19,8 juta ton buat menghidupi seluruh bangsa. Padahal, produksi beras 1985 diperkirakan mencapai sekitar 26,3 juta ton. Yang dikhawatirkan yakni apabila kelebihan itu tak bisa dipertahankan. Sementara penduduk terus bertambah, luas sawah di Jawa terus susut. Padahal, kata Sajogya, guru besar sosiologi pedesaan di IPB, sekitar 66% produksi beras Indonesia dihasilkan oleh sawah di Jawa. Pembukaan areal baru di luar Jawa, tampaknya, belum mampu mengejar hilangnya sawah - entah dipakai untuk perumahan, pabrik, dan lain sebagainya - diJawa. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan hal itu. Pada 1978 luas tanaman padi mencapai lebih dari 17,8 juta ha. Tapi setahun kemudian luas itu susut, menjadi sedikit di atas 17,6 juta ha. Dua tahun kemudian luas tanaman padi naik, dan pada 1981 tercatat ada lebih dari 18,7 juta ha. Tapi 1982 susut lagi menjadi 17,9 juta ha. Hal itu bukannya tak disadari. Untuk mengimbangi lahan yang menciut, sudah sejak swasembada dicanangkan, 1968, peningkatan produksi beras ditekankan pada upaya intensifikasi. Yakni, menaikkan produktivitas sawah. "Hasil rata-rata seluruh tanaman padi juga naik dari 1,5 ton beras setiap hektar di tahun 1969 menjadi hampir 2,7 ton beras di tahun 1984," inilah contoh intensifikasi yang disinggung Presiden dalam pidatonya di Roma itu. Memang, kini, rata-rata produktivitas sawah kita sekitar 3,3 ton beras per ha. Dan produktivitas ini, menurut beberapa ahli, masih mungkin ditingkatkan. Yaitu bila melihat sawah di Jepang yang mampu menghasilkan 6,5 ton beras per ha. Upaya mempertahankan dan meningkatkan kelebihan produksi, seperti dikatakan Presiden, adalah dengan mengefektifkan pengolahan padi menjadi beras. Usaha yang biasanya disebut kerja pascapanen itu diharapkan mampu mengurangi jumlah yang terbuang. Kini, rata-rata berat padi kering giling bila dijadikan beras akan susut 35%. Dengan efektivitas pengolahan, diharapkan persentase kesusutan hanya 25%. Yang juga harus dipertahankan adalah semangat para petani. Sebab, seperti keadaan kini, meningkatnya produktivitas juga berarti turunnya harga di pasar. Bisa-bisa ini membuat para petani beralih menanam bukan padi. Meski diversifikasi tanaman ini bukan selalu mudah dilakukan - sebagian besar sawah kita, karena sistem irigasinya, memang hanya dipersiapkan untuk ditanami padi. Cuma, bila petani merasa rugi menanam padi, tentu mereka pun akan berusaha dengan segala cara menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan. Di situlah, Bulog diharapkan berperan. "Bulog harus membeli kelebihan produksi. Kita tidak boleh main-main, ini sudah konsekuensi produksi yang melimpah," kata Saleh Afiff, Menpan, yang Oktober lalu menyampaikan gagasan peranan sektor pemasaran dalam pembangunan ekonomi sewaktu dilantik jadi guru besar di Fakultas Ekonomi UI. Sebab, katanya, bila petani mulai kehilangan kepercayaan, "Wah, habis, deh." Di Amerika Serikat dan Jepang sendiri, kelebihan panen jutaan ton pemerintahlah yang membelinya. "Bahkan kini di Amerika dan Jepang petani yang tidak menanam padi dikasih uang," kata Saleh Afiff pula. Ini agar produksi padi bisa dibatasi. Dan hanya dengan subsidi kepada petani seperti itulah, kepercayaan mereka dijaga. Masalahnya kemudian, bila surplus beras ini terus tercapai dari tahun ke tahun, yakni bagaimana kelebihan beras itu harus dimanfaatkan. Indonesia tentu saja tak mungkin, misalnya, membuang stok beras agar stabilitas harga bisa dipertahankan. Presiden Soeharto di awal-awal bagian pidatonya di Roma itu dengan tegas mengkritik kebijaksanaan seperti itu. "... ada negara maju yang justru mengurangi produksi pangan mereka, malah pernah memusnahkannya, demi stabilitas harga sedangkan di pihak lain kita menyaksikan sesama umat manusia di Dunia Ketiga meninggal dunia melalui kesengsaraan dan kenistaan karena kelaparan." Kini, bagi Bulog miasalah itu mungkin belum terasakan benar. Sebab, tahun ini misalnya, Bulog hanya menganggarkan sekitar Rp 1,7 trilyun untuk membeli 3,6 juta ton beras. Meski, dengan demikian, Bulog telah kurang berperan sebagai stabilisator harga. Buktinya, harga beras di pasaran jatuh karenanya. Tapi bila Bulog memang benar-benar menjalankan fungsinya dan kelebihan produksi sekitar 6,5 juta ton masuk gudang Bulog semuanya, bukan mustahil masalah memanfaatkan stok berjuta ton itu akan muncul. Dan satu-satunya jalan yakni mengekspor bahan makanan pokok itu. Ini berarti Bulog harus berani rugi, karena harga beras di pasar internasional memang rendah, Rp 220 per kg Agustus lalu. Sementara dengan harga dasar gabah kering Rp 175, minimal Bulog harus menjual stok beras Rp 270 per kg bila tak mau rugi. Upaya ekspor ini tentu saja tidak mudah. Sekarang saja, baru Filipina yang tercatat mengimpor beras kita sebanyak 100.000 ton - dan baru diambil 40.000 ton. Ada yang berpendapat, seandainya Bulog membeli semua kelebihan produksi, lalu mengekspornya, sebenarnya bermanfaat. "Setidaknya uang Bulog berputar, dan tidak lalu berhenti dalam gudang - sementara uang itu berhenti atau tidak, lembaga yang mengurus logistik ini harus tetap membayar bunga 6% untuk pinjaman dari bank," kata sebuah sumber pertanian. Menurut sumber tersebut, manfaat nyata adalah, petani tertolong karenanya: kelebihan produksi beras mereka dibeli dengan harga "pantas". Masih bisa diperdebatkan, tentu saja, apakah sebagian besar petani kita yang hanya memiliki kurang dari 0,5 hektar sawah mampu menyantuni hidupnya dengan layak. Nasib kaum petani kecil memang merupakan soal tersendiri, tak cuma tergantung Bulog. Soalnya, perlu dicari mekanisme yang memungkinkan untuk memanfaatkan surplus yang cukup besar tadi. Salah satu agaknya berkaitan dengan pertimbangan politis. Di Roma, misalnya, Presiden Soeharto sudah menyatakan bahwa sukses beras kita merupakan sukses terpadu. Artinya, sukses yang didukung "keputusan politik, alokasi anggaran yang konsekuen", di samping sejumlah upaya teknis. Sebagian keputusan itu, nampaknya, berada di pundak Bulog: Seberapa jauh dia berhasil sebagai stabilisator harga? Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo