Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
YLBHI khawatir akan maraknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Saat ini jumlah kasus pelecehan seksual seakan-akan banyak muncul karena korban mulai berani bicara.
Kalangan kampus didesak menerapkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI khawatir akan maraknya kasus pelecehan seksual di kampus. Mereka mensinyalir—berdasarkan riset lembaga bantuan hak-hak hukum bagi korban dan warga—kejahatan tersebut seakan-akan jamak terjadi dengan korban yang umumnya mahasiswi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua YLBHI, Asfinawati, mengatakan pemerintah semestinya memberlakukan situasi darurat atas maraknya pelecehan dan kekerasan seksual di kampus. "Ini sudah menjadi situasi darurat karena terjadi sudah sejak lama. Kenapa seolah-olah sekarang kasusnya banyak? Karena korban mulai berani bicara dan mendapat pendampingan," ujar Asfinawati kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus mencuat ke publik setelah majalah Tempo menerbitkan laporan ihwal predator seks di sejumlah kampus. Satu di antaranya di Universitas Indonesia yang diduga melibatkan seorang profesor. Kasus ini menjadi puncak gunung es dari banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang tak terbongkar. Temuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan bahwa 77 dosen menyatakan pernah terjadi perundungan seksual di kampus masing-masing.
Aksi diam untuk korban kekerasan seksual di beberapa kampus di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 10 Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Menurut Asfinawati, pangkal persoalan ini terletak pada tidak adanya kesadaran kalangan kampus dalam memahami bahaya kejahatan seksual. Bahkan, ironisnya, pelaku adalah orang-orang berpendidikan. Riset YLBHI menyebutkan 40 persen pelaku pelecehan dan kekerasan seksual di kampus merupakan orang-orang yang lulus strata 2 atau S-2. "Artinya, pendidikan kita gagal, baik di sekolah maupun di rumah," ucap dia.
Dia memaparkan data temuannya dari 17 perwakilan lembaga bantuan hukum bersama YLBHI. Pada tahun lalu, mereka menemukan 145 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia. Jumlah korban mencapai 239 orang. Rentang usia korban 19-29 tahun atau para mahasiswi dan pekerja.
Asfinawati merinci, 64 persen kasus atau sebanyak 152 korban berusia 19-29 tahun. Terbanyak kedua, kelompok usia 3-18 tahun dengan jumlah 61 korban (25 persen). Ketiga, disusul kelompok usia 30-39 tahun dengan jumlah korban 21 orang atau 8,7 persen. "Pada korban dengan usia 19-an tahun itu banyak terjadi kekerasan yang dilakukan oleh pacar, sesama mahasiswa, dosen, atau bahkan keluarga."
Praktik tercela ini masif terjadi di kampus lantaran adanya bahaya relasi kuasa yang jarang disadari. Kasus pelecehan seksual yang dilakukan dosen terhadap mahasiswanya karena memanfaatkan kekuasaannya. Kasus tersebut di antaranya, mengancam mahasiswa tidak lulus di mata kuliah yang diajar dosen, menurunkan nilai kelulusan, dan berbagai modus lainnya. "Hal ini menunjukkan pendidikan di Indonesia sudah bobrok."
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nizam, belum bisa dimintai konfirmasi ihwal temuan YLBHI. Meski begitu, dia sebelumnya pernah membeberkan bahwa 63 persen kasus pelecehan seksual tidak pernah dilaporkan. "Mayoritas korban adalah mahasiswa," ucap Nizam.
Temuan tersebut berdasarkan riset yang dia lakukan dengan melibatkan 79 kampus di seluruh wilayah di Indonesia. Bagi Nizam, kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es yang tampak sedikit, tapi justru banyak jumlahnya karena tak ketahuan. Karena alasan tersebut, Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Nadiem Makarim menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Nizam mendesak seluruh perguruan tinggi segera mengimplementasikan aturan baru tersebut sehingga terbebas dari ancaman kekerasan seksual. Setiap kampus juga dituntut membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual.
Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Jamal Wiwoho, menyebutkan bahwa semua kampus negeri bersedia mengimplementasikan peraturan pemerintah demi perlindungan bagi korban. “Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 hadir sebagai langkah awal merespons keresahan mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan masyarakat terkait dengan meningkatkan kasus kekerasan seksual perguruan tinggi kita,” ujar Jamal.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, juga turut mendukung upaya perlindungan korban dengan mendesak pembentukan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. "Keberadaan RUU tersebut menjadi salah satu terobosan untuk dapat memberikan sanksi bagi kekerasan seksual yang semakin beragam bentuk, masuk ke berbagai ruang kehidupan, dan eskalasinya," ujar Jaleswari.
Jaleswari menyebutkan Presiden Joko Widodo berkomitmen memberikan perlindungan bagi hak-hak perempuan di Indonesia. Pemerintah tidak akan membiarkan praktik diskriminasi dan kekerasan seksual, tak peduli di mana pun itu. Hak-hak perempuan adalah bagian integral dari prinsip hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
AVIT HIDAYAT | FRISKI RIANA | DEWI NURITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo