Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Film dokumenter berjudul Sejauh Ku Melangkah diputar mengawali seminar bertema Pekan Budaya Difabel Menciptakan Titik Balik Menuju Budaya Inklusi di Gedung Societed area Taman Budaya Yogyakarta, Senin, 18 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Film besutan sutradara Ucu Agustin itu tengah dibuat versi panjangnya dengan judul Menggapai Bintang yang ditargetkan rampung pada Agustus-September 2020. Film yang lolos dalam ajang Good Pitch Indonesia 2019 tersebut bakal diputar pada Hari Penglihatan Sedunia, Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kisahnya tentang persahabatan dua tunanetra, Dea yang tinggal di Virginia dan Salsa yang tinggal di Jakarta. "Difabel di Indonesia lebih struggle," kata Heddy Shri Ahimsa Putra, Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang menjadi salah seorang pembicara dalam ajang Pekan Budaya Difabel 2019.
Digambarkan dalam film itu, Salsa yang memilih hidup di asrama dengan aturan ketat harus bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Dia harus merapikan tempat tidurnya yang bertingkat, mencuci baju dengan mesin cuci, menyeterikanya, membersihkan kamar mandi bergantian, juga makan sendiri.
Para pembicara seminar di Pekan Budaya Difabel (dari kiri) Risnawati, Heddy Ahimsa, Susilo Nugroho (moderator), dan Ucu Agustin di Sociedted, Taman Budaya Yogyakarta, Senin 18 November 2019. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Soal pendidikan, Salsa memilih sekolah inklusi. Dia berteman dengan Fatiyah yang tuli dan tunawicara. Komunikasi mereka terjalin melalui Whatshapp. Sementara di kelas, Salsa yang pandai Matematika harus menghadapi keterbatasan fasilitas sekolahnya yang tak menyediakan buku pelajaran Braille. Untuk masuk kelas pun, Salsa harus bisa naik turun tangga sendirian dan kadang dipandu Fatiyah.
Berbeda dengan Dea yang segala sesuatunya telah disediakan dan aksesibel bagi difabel. Keluarganya memberikan dukungan penuh, begitu pun sekolahnya. Sebagai siswa tunanetra, Dea didampingi tiga orang guru. Dia megikuti program musim panas yang menjadi ajang baginya untuk berlatih menyetir mobil sampai bermain flying fox.
Anggota The United Nations Convention on The Rights of Persons with Disabilities Commite 2019-2022, Risnawati Utami mengatakan kondisi di Indonesia membentuk banyak difabel yang kuat seperti Salsa. Apalagi stigmatisasi difabel sebagai sosok yang lemah, membebani, tidak bisa berbuat apapun masih kuat tertanam dalam pikiran orang Indonesia.
"Kalau di Amerika, mereka akan bertanya apa yang saya butuhkan. Kalau di Indonesia akan memperhatikan saya dari ujung kepala sampai kaki," kata Risnawati yang seorang tunadaksa. Tak hanya soal kemauan dari dalam difabel sendiri, menurut Risna, kemandirian difabel juga karena dukungan keluarganya. "Kalau orang tuanya tidak memberiman izin ke luar rumah, Salsa enggak seperti saat ini."
Dari film besutannya, Ucu Agustin mengatakan kondisi lingkungan mamaksa Salsa belajar segala sesuatu sendiri. "Dan yang perlu digarisbawahi, Salsa tetap punya kemauan untuk belajar di sekolah inklusi," kata Ucu.