Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Halimah Ariav Kobo, 49 tahun, sudah 11 hari berdiri di atas reruntuhan bangunan di desa Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Palu, Sulawesi Tengah. Ia menunggu tim evakuasi dapat mengangkat tubuh anaknya yang terjebak di bawah puing-puing bangunan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya yakin anak saya di situ. Ini rumah mertuanya," kata Halimah pada Kamis, 11 Oktober 2018. Tangannya menunjuk bekas bangunan yang telah rata dengan tanah. Di antara tanah itu tampak sebuah cekungan dengan air warna hitam pekat yang menggenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Campuran bau gas dan bau anyir muncul dari genangan itu. Halimah menutupi hidung dan mulutnya dengan masker. Ia menggenggam ponsel. Layar ponsel itu menunjukkan bahwa ia sedang melakukan panggilan video. Orang yang tampak di layar tersebut adalah suaminya, yang turut memantau pencarian anaknya melalui telepon video.
Halimah menyeka dahinya yang berkeringat. "Capek sekali rasanya 11 hari di sini dengan keadaan yang tidak pasti," ujarnya. Ia mengaku hampir putus asa karena anaknya tak kunjung ditemukan. Halimah yakin putri sulungnya yang berusia 25 tahun sudah tewas.
Keyakinannya bertambah dari data korban-korban pengungsi. Tak ada satu pun yang menunjukkan nama putrinya. Meski sudah yakin putrinya menjadi korban yang tertelan puing bangunan, Halimah mengaku ikhlas. "Tidak apa-apa meninggal, tapi saya ingin jasadnya ketemu," katanya.
Nadanya meninggi dan makin bergetar. Ini diungkapkan Halimah menanggapi kabar hari tanggap darurat bencana terakhir yang ditetapkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB mengumumkan hari terakhir pencarian korban jatuh pada 11 Oktober ini. Artinya, esok tak ada lagi pencarian korban.
Halimah ingin pemerintah memperpanjang masa tanggap bencana. Ia berkukuh anaknya harus ketemu, meski tinggal anggota badannya. "Tak apa kalau yang ketemu cuma badannya, tulangnya, bahkan organ dalamnya," ujarnya.
Ia mengenang bahwa putrinya yang menjadi korban ini adalah pengantin baru. Rumah yang runtuh tersebut adalah rumah mertuanya. Saat itu, ia menginap di rumah mertuanya bersama sang suami karena ingin menonton tayangan Ustad Abdul Somad yang mengadakan pengajian di Palu.
Suami korban, Farruzi, 33 tahun, selamat. Dia lolos keluar dari reruntuhan bangunan melalui lorong-lorong. "Saya sempat melihat istri dan ibu saya ada di ruang tamu. Setelah itu entah ke mana," kata dia
Wakil Wali Kota Palu, Hidayat, mengatakan akan mengestafetkan masa tanggap bencana dengan masa transisi. Pada masa transisi, tim gabungan akan berfokus membersihkan puing-puing bangunan di wilayah terdampak. "Untuk Balaroa, Petobo, Sigi, mungkin akan direncanakan jadi taman atau tempat fasilitas umum," katanya kepada Tempo di rumah dinas Wakil Wali Kota pada Rabu, 10 Oktober 2018.