Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JARANG terjadi di Indonesia seseorang diadili karena dituduh menyebarluaskan rahasia negara. Tapi Hasan Suraatmadja, bekas Sekretaris Wilayah GPI (Gerakan Pemuda Islam), dan bekas wartawan harian Abadi almarhum, dua kali harus berurusan dengan meja hijau karena kasus serupa: dituduh memiliki dan menyebarkan rahasia negara. Menurut Jaksa Soesilo Oeripto, Hasan telah memperbanyak dan kemudian menyebarkan dua buah buku yang dikualifikasikan rahasia negara cq Departemen Hankam, berjudul JUK OPS PAM Pemilu 1982 dan Pedoman Komunikasi Sosial dengan Umat Islam. Menurut jaksa, itu didapat Hasan dari Gomsoni Yasin, sekitar Juni-Juli 1981. Muncul di persidangan awal pekan ini, berkemeja batik merah, celana abu-abu agak kusam, Hasan tidak membantah tuduhan itu. "Saya hanya keberatan disebut GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Seharusnya GPI," ujarnya mengoreksi tuduhan jaksa. Selain dituduh melanggar UU kearsipan -- memiliki dokumen negara -- Hasan juga dituduh melakukan subversi dengan menyebarkan dokumen itu. Pembela Hasan, Bachrun Martosukarto dalam sidang Senin itu hanya keberatan dengan tuduhan subversi. Seperti juga semua eksepsi pembela-pembela terdahulu -- semuanya ditolak hakim -- Bachrun menganggap tuduhan subversi tidak lagi punya landasan hukum di zaman orde baru ini. Ia menilai kliennya yang berambut pendek itu "seorang yang lugu". Tentang kriteria rahasia negara Bachrun hanya menjawab, "Saya belum membacanya." Sebaliknya pihak kejaksaan yakin dokumen-dokumen itu merupakan "rahasia negara". Sebabnya? "Karena pejabat-pejabat tertentu saja yang boleh memiliki, terdakwa jelas tidak berhak," ujar Pejabat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Suyitno. Barang bukti berupa fotocopy dokumen itu, katanya, dicap rahasia "Kriteria itu sudah cukup bagi kejaksaan untuk membawa tersangka ke pengadilan," ujar Suyitno. Undang-undang kearsipan -- UU No. 7 tahun 1971 -- yang termasuk arsip negara itu memang luas sekali, yaitu semua dokumen yang dibuat dan diterima semua aparat negara dan pemerintah. Bahkan dokumen swasta yang dibiayai pemerintah juga dikategorikan arsip negara yang tidak boleh dimiliki umum dengan ancaman 10 tahun penjara. Pendapat Suyitno tentang rahasia negara dikuatkan oleh Asisten II Bidang Operasi Kejaksanaan Tinggi DKI, A.l. Adnan. Menurut Adnan, berbagai instansi mempunyai kualifikasi sendiri terhadap rahasia negara. Ada yang diberi garis silang merah, dan ada juga yang pakai kode abjad a, b, c dan d. Rahasia yang paling top itu, misalnya, kategori A, berarti hanya diketahui pejabat-pejabat penting saja, dan kualifikasi yang lebih rendah diketahui oleh lebih banyak orang. "Tapi bagi kejaksaan itu tidak penting, semuanya merupakan rahasia negara," ujar Adnan. Gomsoni, pemegang pertama dari kedua buku yang dikategorikan rahasia itu, mengaku mendapat buku itu di percetakan milik Suparman di Jalan Surabaya, Jakarta. Ketika itu Suparman mendapat order dari Hankam untuk menjilid 30 buah buku penting itu. "Saya sama sekali tidak mengira itu rahasia negara. Dan saya heran, kalau rahasia, kok dicetak dipercetakan kecil begitu dan terbuka," tambahnya. Sebab itu Gomsoni yang juga ditahan dalam kasus ini menilai sistem kerahasiaan Hankam itu rapuh, karena buku itu dijilid di percetakan yang hanya berukuran 3 x 3 m. Gomsoni mengatakan, berkenalan pertama kalinya dengan Hasan di penjara Cipinang tahun 1979. Ketika itu Hasan terlibat dalam menyebarkan rahasia Hankam bersama Pemred Abadi, Alm Soemarso Soemarsono dan beberapa oknum ABRI. Untuk itu Hasan tahun 1980 dijatuhi hukuman 2 tahun 4 bulan penjara. Tapi karena ia ditahan sejak tahun 1978, Hasan dibebaskan tahun 1980 itu juga. Setahun kemudian ia ditangkap kembali dan sampai sekarang ditahan di RTM Nirbaya. Nasib yang lain dialami istri Hasan Solehati, yang setiap sidang setia mengantarkan nasi untuk suaminya. "Saya cemas nasib anak-anak saya. Baru saja ayahnya keluar dari hukuman sekarang sudah masuk lagi," kata Solehati, ibu tiga orang anak itu. Hasan yang pernah menjadi pegawai kantor telepon di Madura, kemudian jadi guru di Solo itu, menurut istrinya, terakhir berdagang dan jadi guru di Pesantren Tegalega, Sukabumi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo