Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

HKTI, Tanah Dan Tani

Menteri muda transmigrasi Martono, yang juga ketua HKTI menghimbau pemerintah agar UUPA dicairkan kembali. Tanah makin sulit dibagi, sementara banyak tanah garapan yang dimiliki orang kota. (nas)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIMPUNAN Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dua pekan lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Dihadiri Presiden Suharto, Ketua Umum HKTI Martono untuk kesekian kalinya menghimbau pemerintah agar UU Pokok Agraria (UUPA) dicairkan kembali. "Hidup matinya tani tergantung pada tanah," kata sang ketua yang kini Menteri Muda Transmigrasi itu. Walaupun UUPA yang lebih dikenal sebagai UU Landreform itu produk lama, sekarangpun masih sesuai dan harus dilaksanakan," katanya. "Sebenarnya, landreform sih jalan, cuma payah," begitu Wakil Sekjen HKTI, drs A.S. Napitupulu SH mengomentari pernyataan ketuanya. "Kalau mau konsekwen, sekarang sudah tidak ada lagi tanah untuk dibagi." Alasan Napitupulu "90 juta penduduk kita berada di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Jadi kalaupun mau dibagi, fungsi tanah sebagai areal pertanian sudah tak efisien lagi." Dia melihat beberapa kekurangan pada UU No. 5/1960 yang harus dibenahi dulu. Misalnya, "belum adanya UU batas minimal usaha tani, seperti di Eropa dan Jepang." Sementara tanah semakin sulit dibagi, HKTI mensinyalir adanya "orang-orang tertentu yang menjadikan tanah sebagai modal simpanan." Sehingga timbullah penguasaan tanah oleh orang-orang kaya kota, yang jauh melebihi batas 5 Ha yang boleh dimiliki seorang kepala keluarga di Jawa -- menurut ketentuan UUPA No. 5/1960 itu. Repotnya "dalam UUPA itu penggunaan tanah sebagai hak guna usaha seluas 20 Ha, bahkan 100 Ha dapat dibenarkan," demikian HKTI. Menyadari masih banyaknya kepincangan di atas kertas maupun di lapangan, HKTI sendiri awal minggu ini mengundang berbagai kalangan cendekiawan, pejabat, dan pembuat akte tanah agar menyempurnakan lebih dahulu UUPA dan UUPBH yang sudah hampir dua dasawarsa umurnya. Seminar Hukum Tanah HKTI itu, diketuai Napitupulu. Namun timbul pertanyaan sekarang: apakah memang perlu buang uang lagi untuk seminar, kalau soalnya sudah dibahas dalam banyak seminar soal tanah, pertanian, atau lingkungan sebelumnya? Seminar Lingkungan Hidup di Hotel Indonesia Sheraton awal bulan ini, sudah mengemukakan berbagai aspek tanah. Kelompok Desa misalnya, sudah mengemukakan juga adanya "pemilikan tanah dan pengawasannya yang tak merata." Dalam sidang pleno, seorang peserta dari Himpunan Lingkungan ada mengecam "kegemaran beternak bungalow, kebun cengkeh, serta peterna,kan ayam di daerah pegunungan Bogor sampai Megamendung." "Gejala ini," katanya, "kalau tak direm janganjangan bisa semakin merem perembesan air tanah buat penduduk Bogor -- atau Jakarta sekalipun, yang juga tergantung pada suplai air tanah dari Bogor." Mralimo Dr Ida Nyoman Oka dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor, pada kesempatan itu juga mengecam pengambilan tanah pertanian terbaik untuk keperluan pemukiman dan industri. Contoh yang ditampilkannya "perluasan kota Denpasar ke arah timur yang sedang menelan 6000 Ha sawah kelas I." Guna menyelamatkan tanah pertanian yang kian sempit, Dr Oka mengusulkan agar perluasan kota dibangun ke atas (bangunan bertingkat). Atau, "daripada terus membiarkan suatu kota membengkak dengan segala akibatnya, lebih baik desa-desa di sekitarnya dikembangkan agar penduduknya tidak lari memenuhi kota." Pemilikan tanah yang semakin timpang, seringkali dibarengi pula dengan bagi hasil yang kian tak adil pula -- jadi bertentangan dengan anjuran Napitupulu. Ini bukan hanya terjadi di daerah-daerah Jawa Barat di mana munculnya "tuan tanah absen" sudah lama disinyalir oleh para petugas BRI yang kewalahan menagih kredit Bimas. Tapi juga di pedalaman Jawa Tengah, jauh dari pusat peredaran uang. Seperti yang diteliti Lembaga Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) Satya Wacana di daerah Demak misalnya, sistim bagi hasil antara penggarap dan pemilik sudah merosot dari mretelu (1/3) sampai mrapat (1/4), antara 1970-1976. Bahkan ada penggarap yang hanya menerima 1/5 hasil panen saja, atau yang di sana dikenal sebagai mralimo. Bila yang diterima buruh tani itu benar makin sedikit, ada satu soal yang akan dihadapi Menteri Muda/Ketua HKTI Martono: bagaimana mentransmigrasikan lebih banyak orang ke luar Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus