Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HIMPUNAN Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dua pekan lalu
merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Dihadiri Presiden Suharto,
Ketua Umum HKTI Martono untuk kesekian kalinya menghimbau
pemerintah agar UU Pokok Agraria (UUPA) dicairkan kembali.
"Hidup matinya tani tergantung pada tanah," kata sang ketua yang
kini Menteri Muda Transmigrasi itu. Walaupun UUPA yang lebih
dikenal sebagai UU Landreform itu produk lama, sekarangpun masih
sesuai dan harus dilaksanakan," katanya.
"Sebenarnya, landreform sih jalan, cuma payah," begitu Wakil
Sekjen HKTI, drs A.S. Napitupulu SH mengomentari pernyataan
ketuanya. "Kalau mau konsekwen, sekarang sudah tidak ada lagi
tanah untuk dibagi." Alasan Napitupulu "90 juta penduduk kita
berada di Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Jadi kalaupun mau
dibagi, fungsi tanah sebagai areal pertanian sudah tak efisien
lagi." Dia melihat beberapa kekurangan pada UU No. 5/1960 yang
harus dibenahi dulu. Misalnya, "belum adanya UU batas minimal
usaha tani, seperti di Eropa dan Jepang."
Sementara tanah semakin sulit dibagi, HKTI mensinyalir adanya
"orang-orang tertentu yang menjadikan tanah sebagai modal
simpanan." Sehingga timbullah penguasaan tanah oleh orang-orang
kaya kota, yang jauh melebihi batas 5 Ha yang boleh dimiliki
seorang kepala keluarga di Jawa -- menurut ketentuan UUPA No.
5/1960 itu. Repotnya "dalam UUPA itu penggunaan tanah sebagai
hak guna usaha seluas 20 Ha, bahkan 100 Ha dapat dibenarkan,"
demikian HKTI.
Menyadari masih banyaknya kepincangan di atas kertas maupun di
lapangan, HKTI sendiri awal minggu ini mengundang berbagai
kalangan cendekiawan, pejabat, dan pembuat akte tanah agar
menyempurnakan lebih dahulu UUPA dan UUPBH yang sudah hampir dua
dasawarsa umurnya. Seminar Hukum Tanah HKTI itu, diketuai
Napitupulu. Namun timbul pertanyaan sekarang: apakah memang
perlu buang uang lagi untuk seminar, kalau soalnya sudah dibahas
dalam banyak seminar soal tanah, pertanian, atau lingkungan
sebelumnya?
Seminar Lingkungan Hidup di Hotel Indonesia Sheraton awal bulan
ini, sudah mengemukakan berbagai aspek tanah. Kelompok Desa
misalnya, sudah mengemukakan juga adanya "pemilikan tanah dan
pengawasannya yang tak merata." Dalam sidang pleno, seorang
peserta dari Himpunan Lingkungan ada mengecam "kegemaran
beternak bungalow, kebun cengkeh, serta peterna,kan ayam di
daerah pegunungan Bogor sampai Megamendung." "Gejala ini,"
katanya, "kalau tak direm janganjangan bisa semakin merem
perembesan air tanah buat penduduk Bogor -- atau Jakarta
sekalipun, yang juga tergantung pada suplai air tanah dari
Bogor."
Mralimo
Dr Ida Nyoman Oka dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3)
Bogor, pada kesempatan itu juga mengecam pengambilan tanah
pertanian terbaik untuk keperluan pemukiman dan industri. Contoh
yang ditampilkannya "perluasan kota Denpasar ke arah timur yang
sedang menelan 6000 Ha sawah kelas I." Guna menyelamatkan tanah
pertanian yang kian sempit, Dr Oka mengusulkan agar perluasan
kota dibangun ke atas (bangunan bertingkat). Atau, "daripada
terus membiarkan suatu kota membengkak dengan segala akibatnya,
lebih baik desa-desa di sekitarnya dikembangkan agar penduduknya
tidak lari memenuhi kota."
Pemilikan tanah yang semakin timpang, seringkali dibarengi pula
dengan bagi hasil yang kian tak adil pula -- jadi bertentangan
dengan anjuran Napitupulu. Ini bukan hanya terjadi di
daerah-daerah Jawa Barat di mana munculnya "tuan tanah absen"
sudah lama disinyalir oleh para petugas BRI yang kewalahan
menagih kredit Bimas. Tapi juga di pedalaman Jawa Tengah, jauh
dari pusat peredaran uang. Seperti yang diteliti Lembaga
Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) Satya Wacana di daerah Demak
misalnya, sistim bagi hasil antara penggarap dan pemilik sudah
merosot dari mretelu (1/3) sampai mrapat (1/4), antara
1970-1976. Bahkan ada penggarap yang hanya menerima 1/5 hasil
panen saja, atau yang di sana dikenal sebagai mralimo.
Bila yang diterima buruh tani itu benar makin sedikit, ada satu
soal yang akan dihadapi Menteri Muda/Ketua HKTI Martono:
bagaimana mentransmigrasikan lebih banyak orang ke luar Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo