Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jember, becek dan berdarah modal asing, hanya cari partner...

Latar belakang pengeroyokan dan pembunuhan terhadap bromocorah serta tukang santet di jember. zaki, bromocorah yang tewas misterius. keterangan pemerintah tentang peristiwa jember.(dh)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARDU kecil depan Balai Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Jember (Ja-Tim), malam itu nampak terang-benderang. Empat petugas berbaju sipil dan seorang berseragam polisi sedang ngobrol di dalamnya. Salah seorang dari yang berbaju sipil sesekali mengawasi jalan utama depan balai desa tersebut. Desa ini termasuk satu di antara desa-desa di Jember yang sekarang diawasi sehubungan dengan "Kasus Jember". Di sini ada seorang janda terbunuh karena dituduh sebagai tukang santet atau tenung. "Kalau tidak dijaga mungkin akan jatuh korban-korban lagi," ujar seorang petugas di gardu jaga itu Sabtu malam lalu. Di Kaliwining, sampai akhir pekan lalu memang masih tersebar desas-desus adanya dua orang yang dituduh sebagai tukang santet yang akan dikeroyok dan dibunuh. Sekarang tim gabungan masih berpatroli di beberapa desa. Selebihnya, pemandangan biasa saja, dan kehidupan penduduk berjalan sebagaimana adanya. Bagi masyarakat Jember sendiri, nampaknya pembunuhan beruntun itu dianggap rutin saja. Penduduk Jember yang 1,8 juta, sebagian terbesar berdarah Madura. Dan mereka umumnya taat beragama Islam. Anehnya angka kriminalitas di sana cukup tinggi -- nomor tiga setelah dua kota besar di Ja-Tim, Surabaya dan Malang. Menurut Danres 1033 Jember, Letkol Pol. Drs Soekirno Hs., kejahatan di daerahnya naik dari tahun ke tahun. Dalam tiga triwulan, 1980/81 saja sudah mencapai hampir 4.000 kali, mendekati angka dua tahun lalu. Daerah yang sangat subur ini, pada 1979 menjuarai lomba pengadaan pangan se-Ja-Tim. Tapi mengapa angka kriminalitas begitu tinggi? Melihat perbandingan jumlah penduduk dan luas wilayahnya, kabupaten ini tergolong tidak padat. Menurut sensus terakhir, tiap kilometer persegi hanya dihuni 600 jiwa lebih. Ini berarti lebih jarang dibanding Kabupaten Nganjuk, Jombang atau Mojokerto. Tapi luas wilayah yang di atas 300.000 ha itu ternyata lebih separuhnya merupakan tanah perkebunan serta hutan. "Kalau tanah-tanah itu tidak diperhitungkan, kepadatan bisa 1.300 jiwa tiap kilometer persegi. Jadi yang terpadat di Ja-Tim," ujar seorang staf di kantor bupati. Jember juga dikenal sebagai penghasil komoditi ekspor yang kuat. Dari sanalah misalnya tembakau diekspor ke Bremen. Tapi juga ada kopi, coklat dan karet. Daerah ini merupakan basis bagi PT Perkebunan XXIII (aneka tanaman) dan PT Perkebunan XXVII (tembakau). Perkebunan-perkebunan itu dibuka oleh Belanda pada awal 1800-an. Untuk membabat hutan, didatangkan tenaga kerja secara besar-besaran dari Pulau Madura. Mereka dipekerjakan di perkebunan tembakau di Jenggawah, misalnya. Sebelumnya sudah ada pula migrasi dari Madura, tapi hanya terbatas sampai di pesisir utara. Orang Madura yang menetap dan lahir di Jember sudah bisa disebut sebagai pendalungan, alias Madura keturunan. Tapi mereka masih seperti orang Madura asli. Dan rupanya adat itu cukup kuat. Ada sebagian kecil penduduk Jember yang berasal dari Jawa, tapi kultur mereka sudah berbaur dengan Madura. Di tingkat desa, kerawat (pamong) menempati kedudukan yang menentukan. Sayang, hampir semua kerawat desa di Jember sekarang tidak lagi dipilih oleh rakyat, hingga tidak jarang para pamong sulit mengajak keikutsertaan rakyat. Desa-desa itu nampaknya juga sudah perlu ditata kembali mengingat rata-rata penduduknya yang sudah mencapai 9.000 jiwa tiap desa. padahal desa-desa di Ja-Tim umumnya berpenduduk kurang dari separuh angka tersebut. Jember, yang dalam bahasa Jawa berarti becek, memang merupakan tampang sebuah daerah yang padat dengan perkebunan basah dan subur -- di tengah kembang-kempisnya petani yang rata-rata hanya punya 0,3 ha tanah. Menurut Bupati Soepono, bahkan kebanyakan dari mereka merupakan buruh-tani. Potret Kabupaten Jember seperti itu juga merepotkan pihak kepolisian. Dari jumlah aneka kriminalitas yang sempat dicatat, belum separuhnya mampu ditangani. Dalam hal rentetan pembunuhan terhadap tukang santet dan bromocorah pun, ketika korban sudah mencapai 26 nyawa, pihak kepolisian belum menanganinya secara khusus. "Semula saya kira hanya pembunuhan biasa saja, yang kali ini frekuensinya meningkat. Sebab di daerah ini memang sering terjadi kejahatan pembunuhan," kata Letkol Pol. Drs. Soekirno. Karena itu, pertengahan bulan lalu (empat hari sebelum kasus ini terungkap) buru-buru Soekirno menurunkan surat perintah untuk membentuk satuan-satuan tugas khusus. Tapi terlambat sebab korban sudah terlanjur berjatuhan. Selama tujuh bulan terakhir di tahun lalu setidaknya ada dua orang bromocorah dan enam tukang santet terbunuh. Ini terjadi di desa-desa Sumber, Jambe. Mangli, Tamansari, Pecoro, Kaliwiningdan Petung. Sayang hanya satu kasus yang ditangani dengan tuntas. Yaitu diseretnya tujuh orang ke meja hijau. Mereka dituduh membunuh Sobari dari Desa Pecoro yang dianggap sebagai tukang santet. Hasilnya, mereka dijatuhi hukuman dua dan tiga tahun penjara. Tapi tujuh kasus lainnya "menguap" begitu saja. Dalam laporannya kepada Kapolri, Soekirno mengungkapkan, di wilayahnya hanya ada 387 orang polisi, termasuk dia sendiri. Di antara mereka sebagian terbesar hanya tamtama. Dibanding jumlah penduduk Jember, berarti seorang polisi di sana harus mengurus hampir 5.000 orang. "Dan dibanding wilayahnya, seorang polisi harus mengawasi hampir 1.000 ha areal," kata Soekirno. Kelemahan seperti itu masih dibebani lagi dengan persoalan kuno yang nampaknya masih umum di kalangan warga kepolisian di mana-mana. Yaitu kurangnya "kesejahteraan". Maka tidak aneh bila di balik setiap kejahatan, muncul permainan uang. Kiai Wachid dari Kecamatan Panti yang kecurian sapi misalnya, justru dipungut uang Rp 80.000 untuk bisa mengambil sapinya yang ditemukan. Haji Anam dari Buluhan yang dirampok Rp 2 juta, terpaksa hanya bisa menerima kembali uangnya Rp 1,5 juta. Sisanya, "untuk biaya pengurusan". Dari segi peralatan, keadaan kepolisian Jember juga memprihatinkan. Sebuah Kosek (komando sektor) di sebuah kecamatan di Jember tidak punya kendaraan. "Lantas mau apa? Apa harus patroli jalan kaki mengelilingi puluhan desa? " ujar seorang Komandan Sektor di Jember. Kosek lainnya rupanya juga bernasib sama. Dengan aparat yang miskin seperti itu saja, Lembaga Pemasyarakatan Jember sudah penuh sesak. Penjara yang mestinya hanya boleh menampung 400 lebih narapidana, kini kelebihan seperempatnya. Karena itu sekitar 100 orang tahanan "Kasus Jember" tidak bisa ditempatkan di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus