GARDU kecil depan Balai Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji,
Jember (Ja-Tim), malam itu nampak terang-benderang. Empat
petugas berbaju sipil dan seorang berseragam polisi sedang
ngobrol di dalamnya. Salah seorang dari yang berbaju sipil
sesekali mengawasi jalan utama depan balai desa tersebut.
Desa ini termasuk satu di antara desa-desa di Jember yang
sekarang diawasi sehubungan dengan "Kasus Jember". Di sini ada
seorang janda terbunuh karena dituduh sebagai tukang santet atau
tenung. "Kalau tidak dijaga mungkin akan jatuh korban-korban
lagi," ujar seorang petugas di gardu jaga itu Sabtu malam lalu.
Di Kaliwining, sampai akhir pekan lalu memang masih tersebar
desas-desus adanya dua orang yang dituduh sebagai tukang santet
yang akan dikeroyok dan dibunuh. Sekarang tim gabungan masih
berpatroli di beberapa desa. Selebihnya, pemandangan biasa saja,
dan kehidupan penduduk berjalan sebagaimana adanya. Bagi
masyarakat Jember sendiri, nampaknya pembunuhan beruntun itu
dianggap rutin saja.
Penduduk Jember yang 1,8 juta, sebagian terbesar berdarah
Madura. Dan mereka umumnya taat beragama Islam. Anehnya angka
kriminalitas di sana cukup tinggi -- nomor tiga setelah dua kota
besar di Ja-Tim, Surabaya dan Malang. Menurut Danres 1033
Jember, Letkol Pol. Drs Soekirno Hs., kejahatan di daerahnya
naik dari tahun ke tahun. Dalam tiga triwulan, 1980/81 saja
sudah mencapai hampir 4.000 kali, mendekati angka dua tahun
lalu.
Daerah yang sangat subur ini, pada 1979 menjuarai lomba
pengadaan pangan se-Ja-Tim. Tapi mengapa angka kriminalitas
begitu tinggi? Melihat perbandingan jumlah penduduk dan luas
wilayahnya, kabupaten ini tergolong tidak padat. Menurut sensus
terakhir, tiap kilometer persegi hanya dihuni 600 jiwa lebih.
Ini berarti lebih jarang dibanding Kabupaten Nganjuk, Jombang
atau Mojokerto.
Tapi luas wilayah yang di atas 300.000 ha itu ternyata lebih
separuhnya merupakan tanah perkebunan serta hutan. "Kalau
tanah-tanah itu tidak diperhitungkan, kepadatan bisa 1.300 jiwa
tiap kilometer persegi. Jadi yang terpadat di Ja-Tim," ujar
seorang staf di kantor bupati.
Jember juga dikenal sebagai penghasil komoditi ekspor yang kuat.
Dari sanalah misalnya tembakau diekspor ke Bremen. Tapi juga ada
kopi, coklat dan karet. Daerah ini merupakan basis bagi PT
Perkebunan XXIII (aneka tanaman) dan PT Perkebunan XXVII
(tembakau).
Perkebunan-perkebunan itu dibuka oleh Belanda pada awal 1800-an.
Untuk membabat hutan, didatangkan tenaga kerja secara
besar-besaran dari Pulau Madura. Mereka dipekerjakan di
perkebunan tembakau di Jenggawah, misalnya. Sebelumnya sudah
ada pula migrasi dari Madura, tapi hanya terbatas sampai di
pesisir utara.
Orang Madura yang menetap dan lahir di Jember sudah bisa disebut
sebagai pendalungan, alias Madura keturunan. Tapi mereka masih
seperti orang Madura asli. Dan rupanya adat itu cukup kuat. Ada
sebagian kecil penduduk Jember yang berasal dari Jawa, tapi
kultur mereka sudah berbaur dengan Madura.
Di tingkat desa, kerawat (pamong) menempati kedudukan yang
menentukan. Sayang, hampir semua kerawat desa di Jember sekarang
tidak lagi dipilih oleh rakyat, hingga tidak jarang para pamong
sulit mengajak keikutsertaan rakyat. Desa-desa itu nampaknya
juga sudah perlu ditata kembali mengingat rata-rata penduduknya
yang sudah mencapai 9.000 jiwa tiap desa. padahal desa-desa di
Ja-Tim umumnya berpenduduk kurang dari separuh angka tersebut.
Jember, yang dalam bahasa Jawa berarti becek, memang merupakan
tampang sebuah daerah yang padat dengan perkebunan basah dan
subur -- di tengah kembang-kempisnya petani yang rata-rata
hanya punya 0,3 ha tanah. Menurut Bupati Soepono, bahkan
kebanyakan dari mereka merupakan buruh-tani.
Potret Kabupaten Jember seperti itu juga merepotkan pihak
kepolisian. Dari jumlah aneka kriminalitas yang sempat dicatat,
belum separuhnya mampu ditangani. Dalam hal rentetan pembunuhan
terhadap tukang santet dan bromocorah pun, ketika korban sudah
mencapai 26 nyawa, pihak kepolisian belum menanganinya secara
khusus.
"Semula saya kira hanya pembunuhan biasa saja, yang kali ini
frekuensinya meningkat. Sebab di daerah ini memang sering
terjadi kejahatan pembunuhan," kata Letkol Pol. Drs. Soekirno.
Karena itu, pertengahan bulan lalu (empat hari sebelum kasus ini
terungkap) buru-buru Soekirno menurunkan surat perintah untuk
membentuk satuan-satuan tugas khusus. Tapi terlambat sebab
korban sudah terlanjur berjatuhan.
Selama tujuh bulan terakhir di tahun lalu setidaknya ada dua
orang bromocorah dan enam tukang santet terbunuh. Ini terjadi di
desa-desa Sumber, Jambe. Mangli, Tamansari, Pecoro,
Kaliwiningdan Petung. Sayang hanya satu kasus yang ditangani
dengan tuntas. Yaitu diseretnya tujuh orang ke meja hijau.
Mereka dituduh membunuh Sobari dari Desa Pecoro yang dianggap
sebagai tukang santet. Hasilnya, mereka dijatuhi hukuman dua
dan tiga tahun penjara. Tapi tujuh kasus lainnya "menguap"
begitu saja.
Dalam laporannya kepada Kapolri, Soekirno mengungkapkan, di
wilayahnya hanya ada 387 orang polisi, termasuk dia sendiri. Di
antara mereka sebagian terbesar hanya tamtama. Dibanding jumlah
penduduk Jember, berarti seorang polisi di sana harus mengurus
hampir 5.000 orang. "Dan dibanding wilayahnya, seorang polisi
harus mengawasi hampir 1.000 ha areal," kata Soekirno.
Kelemahan seperti itu masih dibebani lagi dengan persoalan kuno
yang nampaknya masih umum di kalangan warga kepolisian di
mana-mana. Yaitu kurangnya "kesejahteraan". Maka tidak aneh bila
di balik setiap kejahatan, muncul permainan uang.
Kiai Wachid dari Kecamatan Panti yang kecurian sapi misalnya,
justru dipungut uang Rp 80.000 untuk bisa mengambil sapinya yang
ditemukan. Haji Anam dari Buluhan yang dirampok Rp 2 juta,
terpaksa hanya bisa menerima kembali uangnya Rp 1,5 juta.
Sisanya, "untuk biaya pengurusan".
Dari segi peralatan, keadaan kepolisian Jember juga
memprihatinkan. Sebuah Kosek (komando sektor) di sebuah
kecamatan di Jember tidak punya kendaraan. "Lantas mau apa? Apa
harus patroli jalan kaki mengelilingi puluhan desa? " ujar
seorang Komandan Sektor di Jember. Kosek lainnya rupanya juga
bernasib sama.
Dengan aparat yang miskin seperti itu saja, Lembaga
Pemasyarakatan Jember sudah penuh sesak. Penjara yang mestinya
hanya boleh menampung 400 lebih narapidana, kini kelebihan
seperempatnya. Karena itu sekitar 100 orang tahanan "Kasus
Jember" tidak bisa ditempatkan di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini