Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan bahwa Presiden boleh memihak dan berkampanye dalam kontestasi pemilihan umum atau Pemilu. Menurut dia, hal itu dapat dilakukan dengan catatan tidak menyalahgunakan fasilitas negara saat berkampanye.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Presiden itu boleh kampanye. Boleh memihak. Kita ini kan pejabat publik, sekaligus pejabat politik. Masa ini enggak boleh,” kata Jokowi usai menyerahkan pesawat tempur ke TNI bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada Rabu, 24 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Jokowi memang tidak pernah secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024. Namun, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
Saat ditanya apakah dirinya memihak ke salah satu paslon pada Pilpres 2024, Jokowi balik bertanya kepada awak media. “Saya tanya, saya memihak enggak?” ucap dia.
Berdasarkan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, terdapat aturan pejabat negara yang diperbolehkan melaksanakan kampanye.
- Presiden dan wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye
- Pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai Politik mempunyai hak melaksanakan Kampanye.
- Pejabat negara lainnya yang bukan berstatus sebagai anggota Partai Politik dapat melaksanakan Kampanye, apabila yang bersangkutan sebagai:
a. Calon Presiden atau calon Wakil presiden
b. Anggota tim kampanye yang sudah didaftarkan ke KPU, atau
c. Pelaksana kampanye yang sudatr didaftarkan ke KPU
Walaupun diperbolehkan untuk terlibat dalam pesta demokrasi, UU Pemilu mengatur presiden, wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah yang melaksanakan kampanye agar memperhatikan tugas dan kewajibannya dalam penyelenggaraan negara atau daerah. “Selama melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” bunyi Pasal 300 UU Pemilu.
Beleid itu juga mengatur bahwa dalam melaksanakan kampanye, presiden, wakil presiden, pejabat negara, dan pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara. Fasilitas negara yang dimaksud, antara lain adalah sarana mobilitas seperti alat transportasi dinas, gedung kantor dan milik pemerintah pusat, sarana perkantoran milik pemerintah, dan fasilitas lainnya yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kata Pakar Soal Keberpihakan Presiden
Pernyataan Presiden Jokowi tentang keberpihakan kepala negara dalam Pemilu mendapat sorotan dari sejumlah pakar hukum. Menurut Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, keberpihakan presiden dan menteri justru melanggar hukum dan etik. Menurut dia, anggapan regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak itu salah.
“Mungkin Pak Jokowi mengacu ke Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307,” ujar dia saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.
Dalam Pasal 282 UU Pemilu disebutkan pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye.
Bivitri mengatakan pasal itu membatasi dukungan dari seorang presiden dan pejabat-pejabat negara lainnya untuk mendukung atau membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon. “Jelas pernyataan ini melanggar hukum dan melanggar etik,” ucap dia.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu juga mengatakan dalam konteks jabatan presiden, prinsip dan etika penyelenggara negara harus diperhatikan. Dia menilai, seorang pejabat negara tidak mungkin melepaskan diri dari fasilitas negara yang melekat kepada mereka.
“Mana bisa seorang presiden apalagi seorang menteri dan pejabat negara lainnya memisahkan ketika dia tidak menjabat atau cuti, maka dia tidak pakai fasilitas negara,” tutur dia. Menurut Bivitri, sekretaris, ajudan, sopir, hingga mobil merupakan fasilitas negara yang sulit dilepaskan dari para pejabat negara.
Sementara itu, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menilai bahwa Presiden hanya berbicara formalitas mengenai netralitas dalam Pemilu 2024. "Presiden kerap sampaikan tidak akan cawe-cawe untuk Pemilu 2024. Namun hanya sekadar di mulut tidak dijewantahkan dalam bentuk tindakan," kata Neni dalam keterangannya, Rabu, 24 Januari 2024.
Neni menyatakan dirinya sudah tak bisa menjamin Presiden Jokowi akan netral. Ia mengkhawatirkan segala sumber daya kekuasaan, anggaran dan program saat ini, digunakan memenangkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju sebagai cawapres nomor urut dua.
"Abuse of power in election benar-benar terasa. Apalagi presiden punya kekuatan dan kekuasaan yang demikian besar," kata Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pengurus Pusat Muhammadiyah, itu.
Dalam proses Pemilu 2024, ucapan Presiden Jokowi itu dinilai tidak netral. Hal ini dapat memicu konflik bangsa serta menjadi ancaman serius bagi persatuan Indonesia. “Presiden sudah hilang urat malu dan tidak mengindahkan etika politik,” ucap Neni.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, ikut menanggapi pernyataan Jokowi yang mengatakan presiden dan menteri boleh memihak serta kampanye dalam pemilu. Menurut dia, presiden dan menteri hanya boleh berpihak ketika mengambil cuti untuk kampanye.
Herdiansyah mengatakan, presiden, menteri, dan pejabat lainnya, diperbolehkan menunjukkan preferensi politiknya, tapi hanya pada saat kampanye. “Ini disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 299 UU 7/2017 tentang Pemilu,” ujar dia saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu, 24 Januari 2024.
Tak cukup sampai di situ, dia mengatakan aturan kampanye pun dibatasi, yakni diharuskannya cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara, dan memperhatikan keberlangsungan penyelenggaraan negara dan pemerintah daerah. “Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 281 UU 7/2017 itu,” kata dia.
RADEN PUTRI | TIM TEMPO