Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Kapan Pernikahan Bisa Dianggap sebagai Perbudakan?

Pernikahan disebut perbudakan jika anak tidak memiliki alasan realistis, dipaksa untuk menikah, atau dieksploitasi.

27 Januari 2022 | 11.09 WIB

Hafsa Ali Osman, seorang gadis Somalia yang berusia 15 tahun, yang dicurigai dipaksa menikah duduk di dalam tempat penampungan sementara di kamp Alafuuto untuk pengungsi internal di distrik Garasbaaley di Mogadishu, Somalia 14 Agustus 2020. Pernikahan muda menjadi sebuah tradisi di Somalia. REUTERS/Feisal Omar
Perbesar
Hafsa Ali Osman, seorang gadis Somalia yang berusia 15 tahun, yang dicurigai dipaksa menikah duduk di dalam tempat penampungan sementara di kamp Alafuuto untuk pengungsi internal di distrik Garasbaaley di Mogadishu, Somalia 14 Agustus 2020. Pernikahan muda menjadi sebuah tradisi di Somalia. REUTERS/Feisal Omar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri. Tujuan mulianya yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Namun, ada orang yang sengaja menunda, membenci, bahkan menolak untuk menikah sebab pernikahan dianggap sebagai praktik perbudakan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Diberitakan Tempo pada 16 Januari 2021, orang yang menganggap pernikahan sebagai perbudakan karena berpikir bahwa pernikahan mengekang kebebasan. Ungkapan seperti "kebebasan saya hilang", "hidup saya hancur", "di penjara seumur hidup", dan sebagainya menjadi lazim terdengar. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, Anti-Slavery International mencatat, pernikahan dapat disebut sebagai perbudakan ketika salah satu pasangan mengalami keterpaksaan pernikahan paksa. Artinya, apabila anak belum benar-benar memberikan persetujuan secara bebas untuk menikah dengan pasangannya. 

Selain itu, jika salah satu pasangan tidak memiliki jalan keluar yang realistis untuk menikah, maka hal itu juga bisa disebut sebagai perbudakan. Misalnya, mereka mungkin belum siap secara finansial atau mungkin takut akan mertua, serta tidak kuat menjalani kehidupan berkeluarga selanjutnya. 

Selanjutnya, keadaan yang mengeksploitasi perempuan setelah menikah juga termasuk dalam perbudakan. Sejarawan Marry V. Thompson mencatat, eksploitasi pernikahan pernah terjadi tahun 1750-1799 di Mount Venon

Saat itu, pernikahan dilakukan dengan dipaksa untuk menghasilkan anak sebanyak mungkin. Tujuannya, agar anak di kemudian hari dapat diperbudak menjadi tenaga kerja perkebunan. Dilansir dari founders.archives.gov, mereka perempuan yang dipaksa menikah, rata-rata berusia di bawah sembilan tahun. 

Meski demikian, perlu ditegaskan bahwa saat ini tidak semua pernikahan selalu menjadi perbudakan. Hanya, dalam laporan yang berjudul “Out of the Shadows” pada 2013 telah menyerukan pernikahan paksa, terutama yang dialami anak sebagai bentuk perbudakan. 

Dikutip dari Anti-Slavery International, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bersama Walk Free Foundation dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperkirakan ada 15,4 juta orang mengalami pernikahan paksa. Lebih dari sepertiganya adalah anak-anak, di antaranya 40 persen berusia di bawah lima belas tahun pada saat pernikahan berlangsung. 

Karena itu, Direktur Anti-Slavery International, Aidan McQuade, menyambut baik apabila pernikahan paksa dikategorikan sebagai perbudakan. "Mengakhiri pernikahan paksa sangat penting untuk memajukan dan mempromosikan hak-hak perempuan dan anak perempuan, dan karenanya dalam mengakhiri perbudakan," kata McQuade.

HARIS SETYAWAN

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus