Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ketika Prajurit 'Dibina' Cukong

5 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI kisah tak sedap yang masih menggelayut di tengah hari-hari ulang tahun tentara. Empat anggota marinir, Suud Rusli dkk., segera disidang secara militer berkenaan dengan kasus pembunuhan terhadap bos PT Asaba, Boedyharto Angsono, yang bikin geger seantero Republik. Berkas perkara mereka akan dilimpahkan ke oditur militer dalam waktu dekat ini.

Mereka memang tak sendiri. Ada peran tokoh lain di belakang tindakan nekat itu. Dialah Gunawan Santosa, bekas menantu Boedyharto, yang kini tengah meringkuk di sel Polda Metro Jaya. Gunawan diciduk aparat di Jakarta Pusat, 19 September lalu, di tengah pelariannya. Gunawan mengubah ciri wajahnya dengan operasi plastik. Ia pernah diumumkan jadi musuh besar Angkatan Laut, dan kini jadi saksi dalam pemeriksaan Suud Rusli dan kawan-kawan.

Kasus penembakan Boedyharto, 19 Juli lalu, di depan Gedung Olahraga Pluit, Jakarta Utara, itu sempat menggemparkan Jakarta. Selain Boedyharto, ternyata pengawalnya, Sersan Edi Siyep, anggota Detasemen Penanggulangan Teror Kopassus, juga tewas tertembak. Pelakunya para oknum anggota pasukan khusus TNI Angkatan Laut. "Perkembangan mengarah ke sana, setelah selesai cross check dengan Gunawan selesai," kata Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir, Letkol Ketut Suarsa.

Aksi Kopral Dua Suud Rusli dkk. mengeksekusi Boedyarto didalangi oleh Gunawan Santosa. Ini terungkap dari penyelidikan polisi, yang berhasil menangkap Gunawan di rumah kos mewah di Kemayoran, Jakarta Pusat. Kedekatan Gunawan dengan para marinir itu pernah diakui oleh Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama Adiyaman Saputra, sebagai akibat hubungan percentengan atau perbekingan yang lama. "Istilahnya, mereka sudah 'dibina' oleh sang dalang," katanya.

Saat diperiksa Polisi Militer Angkatan Laut, Suud dkk. mengaku hanya dibayar Rp 4 juta untuk membunuh Boedyharto. Namun, keterangan ini meragukan, apalagi yang terlibat tidak hanya prajurit rendahan seperti Kopral Dua Fidel dan Prajurit Satu Santoso Subianto, tapi melibatkan juga seorang perwira pertama, Letnan Dua Sam Ahmad Sanusi. Karena itu, ada yang sangsi jika seorang perwira mempertaruhkan kariernya hanya karena duit Rp 1 juta.

Tergoda duit gede? Sumber TEMPO menyebut, Gunawan Santosa begitu lihai telah memperalat oknum baret ungu dengan menjanjikan iming-iming uang besar. Apalagi aset Gunawan yang kalah dalam perkara perdata dengan bekas mertuanya itu diperkirakan mencapai Rp 125 miliar. Ia punya saham 25 persen di proyek resor di Pelabuhan Ratu senilai Rp 75 miliar, ditambah tanah di Cidahu seluas 25 hektare, dan sebagian real estat Intercon di Kebon Jeruk senilai Rp 50 miliar.

Duit berjibun itu dipakai Gunawan untuk menggoda para prajurit tersebut sampai gelap mata."Padahal harta itu sudah dimenangi Boedyharto dalam perkara perdata sampai di Mahkamah Agung. Mungkin karena mereka tak tahu hukum," ujar sumber tersebut. Hal ini dibenarkan oleh bekas pengacara Boedyharto yang juga pernah dekat dengan Gunawan Santosa, Fauzi Rawi. Kebiasaan Gunawan selalu menghitung-hitung dengan cermat nilai rupiah yang akan dikucurkan. "Soal berapa pun nilainya, mereka tetap bayaran Gunawan," katanya.

Kasus yang "menampar muka" marinir di Jakarta memang bukan sekali ini saja. Sebelumnya, ada pembunuhan Acun yang juga didalangi oleh seorang bos PT Artista, Erwin Mulia. Pelakunya enam orang anggota marinir, Endro Rujito Cs. Mereka membunuh dengan menyiramkan air keras pada Asun dan Meli saat mereka mengendarai mobil mewah BMW di Jalan Danau Sunter, Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka nekat membunuh karena dibayar Erwin Rp 145 juta.

Menurut sumber TEMPO, kasus Suud Rusli dan Endro Rujito tak lepas akibat beban berat yang dihadapi marinir di beberapa medan operasi. Bukan cuma stres, tapi gaji pun tak seberapa. Belum lagi soal keluarga, yang kerap mendesak ditangani. Suud terpaksa berpisah dengan istrinya, yang kini menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri. Ia hidup sendiri di rumah kos petak di Jalan Kebagusan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Apa pun alasannya, tindakan keji ini tak bisa dibenarkan. "Ini perilaku individu, persentasenya kecil dibanding belasan ribu marinir lain yang baik," kata Ketut Suarsa.

Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus