Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lapindo Ngebor Kembali

Lapindo Brantas kembali akan mengeksploitasi sumur gas di Tanggulangin, Sidoarjo. Dikenai dua syarat tambahan untuk antisipasi terjadinya insiden seperti di Porong.

1 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara mendesis lamat-lamat terdengar dari balik instalasi pipa gas baja berbalut warna merah-kuning. Berada di area sumur Tanggulangin-2 (TA-2), Desa Kedung Banteng, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, pipa milik PT Lapindo Brantas Inc itu mengalirkan gas ke terminal penampungan gas di TA-3 di Desa Kalidawir.

Meski masih aktif menyedot gas dari perut bumi, pengamanan infrastruktur vital di TA-2 itu boleh dikata tak ada. Instalasi gas hanya dilindungi anyaman kawat. Pintu pagar pembatas pun terbuka lebar. Tak aneh jika warga sekitar kerap memanfaatkan area ini untuk menjemur kerupuk. Selain TA-2, di kawasan Tanggulangin masih ada empat area sumur gas lain.

Dari keempatnya, menurut pengamatan Tempo, yang benar-benar dijaga layaknya obyek vital hanya sumur TA-3, di Desa Kalidawir, yang sekaligus sebagai terminal gas. Dari sinilah, setelah gas ditampung, Lapindo mendistribusikan kepada pelanggan. Dari kawasan ladang gas Tanggulangin, yang mulai digarap sejak 2001, Lapindo mendulang gas bumi 5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).

Perolehan itu belum cukup, Lapindo berencana mengebor titik-titik lain. Rencana itu dijembreng berbekal hasil studi geologi dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Eksploitasi gas bakal dilakukan di area TA-2 dan TA-1, yang berada di antara Desa Kedung Banteng dan Banjarasri.

"Sementara dua sumur pengembangan itu yang dibor," ujar juru bicara Lapindo, Arief Setrowidodo, di Kantor Cabang Lapindo Brantas Incorporated di Sidoarjo, Selasa pekan lalu. Nilai investasinya sekitar Rp 30 miliar per sumur. Aunul Bari, Vice President Operation Lapindo, menambahkan, saat ini perusahaan sedang mengurus izin pengeboran sumur baru tersebut. "Ada sekitar tujuh sumur baru," katanya di kantornya di Jakarta, dua pekan lalu.

Berdasarkan gambar yang diperlihatkan kepada Tempo, lokasi pengeboran pengembangan tersebut berdekatan dengan sumur-sumur gas yang sudah ada. Sumur baru itu adalah TGA-9 dan TGA-8 dari sumur lama TGA-2. Lalu TGA-6, TGA-1A, dan TGA-11 dari sumur lama TGA-2 serta TGA-10 dan TGA-7 yang terpisah dari sumur lama. Jarak sumur-sumur itu dengan kolam lumpur panas Lapindo di sumur Banjar Panji-1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, yang hingga kini semburannya belum berhenti, sekitar 3 kilometer. Semburan itu sudah terjadi sejak akhir Mei 2006.

Pengeboran pengembangan sumur itu dijadwalkan pada akhir 2013 atau awal 2014. Menurut Aunul, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) masih menganalisis dokumen Lapindo Brantas untuk izin pengeboran pengembangan. Kalau tak ada halangan, cuma butuh waktu sebulan. Jika eksploitasi lancar, sumur-sumur tersebut diprediksi menghasilkan migas dengan perkiraan produksi masing-masing 100 barel per hari dan 2-3 juta standar kaki kubik per hari.

Menurut Agus Kurnia, Kepala SKK Migas Wilayah Jawa, Bali, Madura, dan Nusa Tenggara, rencana Lapindo mengebor tujuh sumur lagi sudah tertuang dalam rencana pengembangan I Lapangan Tanggulangin sejak 2001. Ia memastikan rencana pengembangan sumur yang digagas Lapindo aman secara geologi. Alasannya, empat area sumur di lapangan yang sama berhasil memproduksi migas dan tidak menimbulkan bencana seperti sumur Banjar Panji-1. "Jadi tidak perlu mengubah rencana," kata Agus di kantornya, Selasa pekan lalu.

Rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL) dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Sidoarjo pun, menurut Aunul, sudah di tangan. Lapindo sudah mengecek pula dampak pengebor­an terhadap lingkungan. "Tidak ada masalah," ujarnya.

Saat dimintai konfirmasi, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sidoarjo Erni Setyawati membenarkan kantornya telah memberikan rekomendasi UKL/UPL. Sebab, Lapindo sudah melibatkan lembaga independen dalam penyusunan dokumen. Dalam urusan ini, Lapindo berinisiatif menyusun dokumen UKL/UPL dengan konsultan dari tim Universitas Airlangga. ­"Intinya, Lapindo berkomitmen mengelola lingkungan," kata Erni.

Meski rekomendasi UKL/UPL sudah di tangan, Erni menegaskan, Lapindo belum mengantongi izin lingkungan dari Bupati Sidoarjo. "Bukan berarti Lapindo sudah mendapat izin mengebor," ujarnya. Lapindo wajib memenuhi dua syarat tambahan, yakni memiliki hasil studi geologi dan hasil studi dampak sosial dari lembaga independen atau akademikus.

Dua syarat tambahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Persyaratan itu untuk mengantisipasi terulangnya insiden lumpur pada 29 Mei 2006 di Banjar Panji-1, yang menenggelamkan 12 desa dan menggusur 40 ribu warga. Syarat tambahan itu harus mendapat persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Hingga kini, kata Erni, "Lapindo belum menyerahkannya."

Arief ngotot dan menyebut dua syarat tambahan itu mengada-ada. Sebab, Lapindo sudah mengantongi hasil studi geologi dari BPLS. Hasil studi yang menunjukkan daerah sumur TA-1 dan TA-2 tidak berbahaya untuk dieksploitasi itu sudah dipaparkan Lapindo di Badan Lingkungan Hidup Sidoarjo dan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah. "Bupati sepertinya juga sudah setuju," tutur Arief.

Survei dampak sosial juga sudah tertuang dalam nota kesepahaman yang dibikin pada Maret 2012. Malah, menurut Arief, Badan Lingkungan Hidup Sidoarjo belum meminta survei dampak sosial secara resmi. "Hanya lisan, tidak secara resmi melalui surat."

Dengan syarat tambahan itu, Arief menuding Badan Lingkungan Hidup menghambat kinerja Lapindo. Dengan izin eksploitasi dari Direktur Jenderal Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai pemegang konsesi Blok Brantas, Lapindo seharusnya tidak dipersulit ketika akan mengembangkan area sumurnya yang terbukti sudah berproduksi. "Izin dari Kementerian Energi itu termasuk di Blok Brantas, enggak perlu dua syarat tambahan lagi," kata Arief. Apalagi pengembangan sumur itu masih dalam kawa­san yang sudah dikuasai Lapindo.

Erni tahu keberatan Lapindo. Saat ini Badan Lingkungan Hidup Sidoarjo sedang meminta data dari Badan Geologi Nasional, yang akan dibandingkan dengan hasil studi geologi dari BPLS yang dipegang Lapindo. Bila data Badan Geologi menunjukkan bahwa kondisi geologi di area sumur TA-1 dan TA-2 rawan bencana, Lapindo akan langsung dilarang mengebor.

Adapun soal survei dampak sosial yang sudah tertuang dalam kesepakatan dibantah Erni. Karena itu, Lapindo diwajibkan menyusun survei dampak sosial lagi. "Saya tidak ingin Sidoarjo menanggung bencana lagi," ujarnya, "Bupati menyetujui setelah dua syarat tambahan itu ada."

Ditemui terpisah, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah merasa belum memberikan persetujuan kepada Lapindo. Ia masih menunggu persetujuan penduduk desa di area ring 1 pengeboran. Bila warga menerima, lampu hijau langsung keluar. Saiful mengaku tahu soal izin Kementerian ESDM untuk Lapindo sudah lama dikantongi. Tapi, ia menegaskan, "Bencana luapan lumpur membuat saya berhati-hati terhadap rencana Lapindo."

Kini bola ada pada penduduk di sekitar sumur. Lapindo pun berusaha melobi. Pada 16 Juli lalu, Lapindo mengundang warga berbuka puasa bersama. Ketua RT 2 Desa Kedung Banteng M. Soleh mengatakan Lapindo hanya mengutarakan niat menguruk tanah. "Jika mengebor, tunggu dulu. Kami minta kompensasi uang, tapi Lapindo diam saja."

Arief yakin hanya sebagian kecil warga Kedung Banteng yang menolak. Tapi, ia mengakui, penolakan masif datang dari warga Banjarasri. Kesepakatan dengan warga desa sudah tertuang dalam nota kesepahaman Maret 2012. Isinya, Lapindo siap mengganti aset jika pengeboran pengembangan menjadi petaka. Lapindo menjanjikan asuransi bagi tempat tinggal warga selama pengeboran dan kompensasi sewajarnya. Jika pengeboran beres, dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) akan turun, lapangan pekerjaan serta bantuan pembangunan infrastruktur dan jaringan gas diberikan untuk warga. "Jika gagal, kami ganti rugi sesuai dengan nilai yang diterima korban Lapindo pada 2006," katanya.

Pengamat migas Kurtubi setuju dengan warga. Lapindo seharusnya mengalokasikan duitnya untuk menutup semburan lumpur ketimbang berinvestasi mengembangkan sumur baru. Jika ada rencana pengembangan, berarti Lapindo masih menyimpan duit banyak. "Uang itu lebih baik untuk membayar drilling menutup semburan," ujarnya.

Endri Kurniawati, Ayu Prima Sandi, Diananta P. Sumedi, Ninis Chairunisa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus