Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Satu lagi pahlawan perempuan Indonesia yang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lahir di Kota Serang, Banten, Maria Ulfah Soebadio telah aktif di kancah pergerakan nasional sejak 1934. Tak hanya itu, Maria juga menjadi sosok Srikandi Indonesia yang progesif-aktif memperjuangkan hak-hak dan ketidakadilan yang dirasakan perempuan Indonesia saat masa penjajahan kolonial.
Lahir pada 18 Agustus 1811 di Kota Serang, Banten, Maria Ulfah Subadio tumbuh dari keluarga kalangan priayi. Melansir laman eprints.uny.ac.id, ayahnya, Raden Mohammad Achmad, merupakan seorang pamong praja di era kolonial Belanda. Semasa tinggal di Den Haag, Belanda pada 1920, Maria Ulfah Subadio mengenyam pendidikan hukum di Fakultas Hukum, Universitas Leiden.
Selama empat tahun menempuh pendidikan, Maria Ulfah dinobatkan sebagai perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar Meester in de Rechten (MR) atau sarjana hukum pada 1933. Itu membuatnya ia perempuan pertama Indonesia yang berhak menyandang gelar MR atau sarjana hukum di depan namanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Leiden, Maria memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mendedikasikan hidupnya untuk pengabdian masyarakat, khususnya perihal memperjuangkan hak-hak perempuan. Pada 1934, Maria Ulfah menjadi seorang pengajar di sekolah Muhammadiyah dan Perguruan Rakyat. Selain itu, Maria aktif dalam memberikan kursus membaca dab menulis bagi ibu-ibu di Salemba Tengah dan Paseban.
Keseriusan Maria memperjuangkan hak-hak perempuan semakin bulat tatkala dirinya ikut dalam Kongres Perempuan Indonesia di Batavia pada 1935. Sebagaimana mengutip laman p2k.um-surabaya.ac.id, dirinya menjadi ketua di bidang Biro Konsultasi yang bertugas mengadvokasi dan mendampingi perempuan yang mengalami kesulitan dalam perkawinan. Dirinya juga berhasil mendorong Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Perkawinan No. (1) 1974 pada 2 Januari 1974.
Maria sempat bekerja di Departemen Kehakiman (shikooku) di masa penjajahan Jepang. Di masa menjelang proklamasi Indonesia, Maria merupakan sosok di balik terbentuknya Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai kesetaraan warga negara di mata hukum. Hal tersebut dirinya lakukan saat Maria Ulfah duduk menjadi anggota BPUPKI.
Maria juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Sutan Sjahrir. Dilansir dari laman majalah.tempo.co, Maria sempat ditunjuk beberapa kali oleh Sjahrir untuk mengisi jabatan di pemerintahan Indonesia yang baru merdeka. Misalnya, Maria pernah menjadi seorang perantara antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Sekutu, tepatnya di era Perjanjian Linggarjati.
Tak hanya itu, Maria Ulfah juga dipercaya menjadi Menteri Sosial di era Kabinet Sjahrir II dan III ketika Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Salah satu terobosannya di saat menjabat menjadi Menteri sosial yakni pencetusannya mengenai hari buruh sedunia melalui Maklumat Kementerian Sosial.
Setelah pensiun, Maria Ulfah Soebadio dipercaya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1968. Di samping itu, Maria tetap aktif di kegiatan sosial seperti menjadi pengurus Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (1968-1973), Ketua Yayasan Rukun Isteri (1970), dan Ketua III dari Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
NAOMY A. NUGRAHENI
Baca: Maria Ulfah Kekasih Abadi Soebadio
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini