Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERPECAHAN di kalangan pengikut Niciren bukan baru sekarang. Bahkan beberapa abad setelah tiadanya sang nabi, Zennicimaro alias Renco (nama lain dari Niciren), ajarannya berkeping ke delapan induk. Setelah berserak di seluruh dunia, lalu pecah lagi jadi 36 sekte. Padahal, Niciren dianggap oleh pengikutnya "meluruskan ajaran Budha yang sudah bengkok". Niciren Syosyu Indonesia (NSI), yang berpengikut sekitar 100 ribu, malah menolak bernaung di bawah Soka Gakkai Internasional -- pusat ajaran Niciren di Jepang. Sedangkan Senin pekan silam, hanya karena ada Tacenokuci, acara memperingati mukjizat dan kebesaran sang nabi justru menambah lebarnya "skisma" di tengah Niciren. Akibatnya, sekitar 400 penganut Niciren memilih mengucilkan diri walau dua bulan silam mereka bersama-sama mengirim doa kepada leluhur via upacara arwah yang disebut ullambana. Sementara itu, acara Tacenokuci itu pertama kali selama satu dasawarsa NSI di Indonesia. Itu dilangsungkan di sebuah vihara kecil di Pluit, Jakarta, bukan di Megamendung, Bogor. Bulan depan ini, peringatan tersebut dilanjutkan dengan sembah syukur pada Sang Triratna, plus acara mengumpul dana untuk mendirikan sekolah. Di kalangan penganut Niciren, peristiwa 12 Oktober nanti sebagai hari terwujudnya Dai-Gohonzon, sembahan umat -- selain bermakna jamak untuk mengingat tujuh abad berdirinya Kuil Pusat Talsekiji di Jepang. Di sana, jutaan umat Niciren memperingati hari mulia itu secara besar-besaran. "Tanggal itu juga dijadikan hari raya agama," kata Jackson Arief. Dia Ketua Umum Yayasan Visiskaritra, penampung para pembangkang tadi. Senosoenoto, Ketua Umum NSI, menyebut mereka yang keluar itu "kelompok sempalan ortodoks" yang orientasi agamanya banyak ke Jepang. Buktinya, mereka melaksanakan upacara Tacenokuci. Syahdan pada 12 Oktober 1279 Niciren membabarkan ajarannya secara terbuka. Ia belajar ajaran Budha pada Biksu Dozenbo di Kuil Seico. Setelah memproklamasikan ajarannya, Bunga Teratai Matahari, dan mengumandangkan Nammyohorengekyo, ia menyebut dirinya "nabi baru zaman ini". Ia menolak Budha Gautama. Di vihara persembahyangan, mantra Nammyohorengekyo alias "fajar masa mutakhir darma" itu ditulis pada kertas putih (disebut Gohonzon) yang kemudian disembah umat, sebagai ganti patung Budha. Tapi kata-kata Niciren sering pula mengandung makna ganda -- hingga timbul ragam tafsir. Dan karena Seno juga menyebut dirinya "pembaru" maka, menurut dia, Budhisme mesti mampu menghadapi modernisasi. Sewaktu memberi bimbingan pada Penataran Umum Gosyo, Agustus lalu, Seno malah tegas menolak praktek klenik dan perdukunan di viharavihara. Itu berkat Saddharma Pundarika Sutra. Doktrin Sutra Teratai Sejati itu, katanya, secara "revolusioner" telah merombak total agama Budha. Budha, disebut Seno, manusia biasa. Sedangkan diyana atau "orang jahat" bisa mencapai kebudhaan. Dan mengenai perayaan Tacenokuci, katanya, hanya wajib untuk para biksu. Karena itu, umat yang dipimpinnya memang belum pernah ramai-ramai merayakan hari 12 Oktober itu. Peringatan malah dialihkan ke tanggal 28 Oktober, sesuai dengan awalnya berdiri NSI, yang bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Pengalihan itu, kata Seno, agar jelas bahwa NSI berideologi Pancasila dan semangatnya adalah nasionalisme Indonesia. Umat lalu dipompanya dengan fanatisme kebangsaan. Bahkan, segala program NSI diprioritaskan pada balas budi, pembauran, dan kerja sama. Misalnya, membersihkan taman makam pahlawan. Sedangkan dana umat yang dihimpunnya dituang untuk membangun Istana Joju Gohonzon yang megah di Jalan Padang, Jakarta. Mei lalu, ketika Waisak, istana itu diresmikan jadi pusat keiatan umat NSI -- selain yang sudah ada di Vihara Agung, Megamendung. Semua itu, ujar Seno, adalah kebudhisatwaan. "Beragama bukan demi keselamatan pribadi. Lewat agama kita juga berbakti pada nusa dan bangsa," tambah penggemar musik klasik dan jazz yang berusia 61 tahun itu. Caranya, antara lain, lewat bakti sosial. Untuk mencapai maksud itu bisa lewat sarana politik. "Agama dan politik tidak mudah dipisahkan," ujar Seno. Karena itu, dia juga mau mengubah wajah Budhisme nan layu tanpa aktivisme. "Seperti tampak pada sosok pendeta atau biksu berjubah kuning jingga dan berkepala gundul," serunya lagi. Namun, "bakti" yang sering itu justru ada yang menilainya hampir mengubur kegiatan keagamaan. Bahkan sebagian menuduh Seno berpolitik dengan berkedok agama. Lalu beberapa anggota (dimotori Sariputra Sumana) melancarkan gugatan mereka terhadap kepemimpinannya. "Saya melihat Ketua Umum hendak memberangus eksistensi dan kesinambungan agama," kata Sumana. Sejumlah kesalahan kemudian ditujukan ke alamat Senosoenoto, antara lain, kesewenang-wenangan dan sinyalemen umat terhadap keuangan organisasi yang dicurangi. Tanah 440 m2 di Pontianak, misalnya, juga diungkit. Umat lalu bertanya, jika uang yang ditarik benar-benar untuk membeli tanah milik Yayasan NSI, mengapa atas nama Senosoenoto? Dan gara-gara ini, Maret lalu, Yodi Suryono mengundurkan diri sebagai wakil pimpinan Majelis NSI. Alasannya, dia tidak mampu lagi menanggung "beban batin" setelah datang pertanyaan dari para umat. Belum selesai soal itu, muncul pula Rudy. Atas nama pemuda NSI Kalimantan Barat, dia juga bertanya, "Kenapa pemilikan Gedung Pusat NSI Kal-Bar harus atas nama Seno?" Tetapi Seno menolak segala tuduhan itu. Akibatnya, sebagian umat yang tak puas terpaksa keluar. Mereka bahkan membikin acara keagamaan terpisah, walau dituduh mengadakan pertemuan gelap. Mereka tak peduli. Malah kelompok ini pada 1987 mendirikan Yayasan Visiskaritra, sembari bersorak riuh karena Perwalian Umat Budha Indonesia atau Walubi menuduh NSI itu "sesat dan merusakkan citra umat Budha" (TEMPO 1 Agustus 1987). Pada Juli tahun silam itu Walubi mengeluarkan 15 fatwa, antara lain menuding NSI "menyembah" tulisan Jepang. Lalu pengucilan juga terjadi. Karena Niciren katanya "menghina" Waisak sebagai "Hari Balas Budi", maka Walubi mengharamkan Niciren turut dalam acara Waisak di Candi Borobudur. Padahal, seperti yang dipercayai penganutnya, Waisak adalah hari kelahiran, pencapaian sempurna, dan meninggalnya Budha. Palu Walubi itu diharap oleh para sempalan itu mempercepat NSI dibubarkan. Kalau NSI padam, maka kegiatan umat bisa beralih ke yayasan yang baru itu. Namun, pada 20 AgustUS 1987 muncul surat Drs. I Gusti Agung Gde Putra, Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Di situ dijelaskan bahwa NSI boleh terus menjalankan ibadat agama dan kegiatan sosialnya. Selain itu, pemerintah tidak mencampuri urusan intern Walubi. "Terutama menyangkut akidah, doktrin, atau kredo masing-masing agama," tulis Dirjen Gde Putra. Walau demikian, NSI kesandung lagi dengan kasus lain. Awalnya dari Jajang Rudijanto Widjaja, Sekjen Generasi Muda Budhis Indonesia (Gemabudhi). Juli barusan, lewat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, diamulai menggugat NSI Rp 1 milyar. Di majalah Prajna Pundarika (April 1988) terbitan NSI, tergugat menyiarkan tulisan yang dituduh menghina umat Budha dan Hindu: bedanya masing-masing umpama (maaf) tahi dan bumbu pecal. Dalam edisi Juli, Pemimpin Redaksi Prajna Pndarika Krisno Abianto Soekarno, menjelaskan, perumpamaan tersebut tak bermaksud buruk hanya untuk membedakan tugas dan fungsi. Gugatan Jajang masih jalan terus meski hakim menyuruh mereka berdamai. Mereka seperti mengulangi sejarah? Bahwa sejak awal ajaran Niciren lahir di Jepang, pertentangan memang sudah lama berlangsung panjang dengan ajaran Budha lain -- yang mengakui Sidharta Gautama tetap sebagai nabi. Ahmadie Thaha dan Zakaria M. Passe
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo