Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mendung-mendung menggayuti Mega

Pencalonan Megawati untuk ketua PDI mendampat hambatan? sejumlah cabang mendapat ''pesan khusus''. bagaimana bila ketua terpilih di kongres surabaya tak dikehendaki pemerintah?

27 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADEN Mas Makyo Sumaryo merasa menyesal menjagokan Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum PDI. Ia menyesal pula telah mendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI yang telah tergusur. Untuk membuktikan dirinya telah ''insyaf'', Ketua PDI Cabang Solo ini menulis surat pernyataan yang dikirim ke Panglima Kodam Diponegoro Mayjen Soeyono, dengan tembusan antara lain ke Menteri Dalam Negeri, Panglima ABRI, Gubernur Jawa Tengah, dan Wali Kota Solo. Dalam suratnya, Makyo mengaku bahwa tindakannya mendukung kedua tokoh PDI itu merupakan ''kekhilafan''. Ia mengaku bingung tak tahu harus mendukung pemimpin PDI yang mana. Maka, dalam suratnya, Makyo berjanji akan selalu minta petunjuk dalam menjalankan tugasnya. ''Sekali lagi kami menyatakan khilaf dan salah, mohon maaf,'' ia menutup suratnya. Surat Makyo itu tentu saja mengagetkan. Sebab, ia dikenal sebagai pendukung Mega yang paling alot. Makyo pula yang mula pertama mendorong putri Bung Karno itu terjun ke bursa calon Ketua PDI, yang penentuannya akan terjadi di kongres luar biasa di Surabaya, 16 Desember nanti. Mega sendiri telah siap tempur. Ia telah berkampanye ke pelbagai daerah. Bahkan Mega telah pula mendapat tiket peserta kongres, mewakili Jakarta Selatan. Maka, sikap Makyo itu terasa neka-neka, lucu. Surat Makyo 2 November 1993 itu mengundang kontroversi pula di kalangan pengurus cabang (kabupaten) dan daerah (provinsi) PDI Jawa Tengah. Ada tuduhan bahwa Makyo menyeberang. Tapi seorang kawan dekatnya mengatakan, itu protes gaya wong Solo. Sumber itu menuturkan, Makyo kesal karena upayanya menggulirkan pencalonan Mega diganjal kiri-kanan. Mula-mula Makyo mengaku digiring untuk mendukung calon lain. Ia menolak. Menjelang konferensi cabang, untuk memilih tiga utusan ke kongres, kader-kader PDI Solo yang berhak hadir di konferensi itu diarahkan agar tak mendukung Makyo, dan memilih utusan yang di luar kubu Megawati. Walhasil, sampai pekan lalu PDI Solo belum punya utusan. Konferensi tertunda. Makyo menampik pula menjadi utusan. Cerita miring semacam itu santer di sejumlah tempat. Enam komisaris partai banteng Pematangsiantar, Sumatera Utara, protes karena merasa tak dilibatkan untuk memilih utusan ke kongres. ''Itu tak sesuai dengan aturan main,'' ujar Suwardi, seorang komisaris. Utusan diputuskan oleh pengurus cabang bersama Kepala Sospol setempat. Di Jakarta beberapa kader merasa dijegal menjadi utusan karena dicap pro Megawati. Mereka digayuti mendung. Tapi gosip soal rekayasa dalam penentuan utusan itu dibantah, baik oleh Mabes ABRI maupun Departemen Dalam Negeri. Dirjen Sospol Sutoyo N.K. mengatakan tak pernah menyuruh aparatnya melakukan tekanan atau rekayasa. Mabes ABRI, lewat Kepala Puspen Brigjen Syarwan Hamid, juga menyatakan tak berusaha memotong jalan Mega. ''Terserah kongres. Mau memilih Megawati, ya silakan,'' ujarnya. Namun, suara netral dari Jakarta itu tak juga menghibur Makyo. Ada pula yang bilang, itu taktiknya untuk meredam tekanan atas kubu Megawati yang konon cukup kuat di Jawa Tengah. ''Saya melakukannya untuk PDI. Itu strategi jangka panjang,'' katanya kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Mayjen Soeyono sampai pekan silam mengaku belum menerima surat Makyo. Ia pun tak ambil pusing. ''Itu urusan dia,'' ujar Pangdam Diponegoro ini. Tapi Soeyono menampik isu bahwa aparat ABRI melakukan tekanan politik. Gubernur Jawa Tengah Soewardi juga mengaku belum membaca surat dari Solo itu. Soewardi memang pernah berjumpa Makyo. Ketika bertemu, Soewardi mengaku cuma memberi pandangan secara umum. ''Jangan memilih ketua yang ingin mengubah Pancasila dengan paham lain.'' Lantas, bagaimana Mega di mata Gubernur Suwardi? ''Saya tidak mau bilang Mega bagaimana. Tapi dulu ada istilah Marhaen, komunisme yang hendak diterapkan di Indonesia. Apa kamu suka?'' Suwardi balik bertanya. Sikap Mayjen Soeyono pun segaris. Untuk delegasi PDI Jawa Tengah, ia punya pesan khusus: ''Jangan memilih pimpinan yang hanya mendompleng nama besar orang tuanya.'' Di Jawa Timur nama Mega juga cukup berbunyi. Setidaknya 15 dari 37 cabang PDI mendukungnya. Tapi di sana tak sepi dari ganjalan. Wakil Ketua PDI Jawa Timur Djuwardi Effendi tiba-tiba menyebutkan kriteria baru bagi calon ketua umum 1993-1998, yakni harus orang yang ''berjasa'' menyelamatkan PDI sehabis babak belur di kongres Medan yang gagal itu. Djuwardi hendak menempatkan Mega pada posisi tak memenuhi syarat. Suara Djuwardi ini menarik perhatian, karena diucapkan seusai ia bertemu Kepala Direktorat Sosial Politik Jawa Timur, Suryadi Setiawan. Muncul kesan, suara itu titipan. Tapi Suryadi menampiknya. ''Kami cuma ngomong teknis soal kongres,'' katanya. Basis dukungan Megawati yang lain adalah Bali. ''Kami mencintai Bung Karno dan anak-anaknya,'' ujar I Ketut Pugeh, Wakil Ketua PDI Cabang Denpasar. Ketut tak omong kosong. Enam dari delapan delegasi PDI Bali ada di belakang Mega. ''Kami lega, ia bersedia dicalonkan,'' kata Pugeh, utusan ke kongres. Keadaan serupa tampak pula di Sulawesi Selatan. Sebanyak 17 dari 23 cabang menyatakan akan memilik anak Bung Karno itu. Namun, belakangan lima cabang menarik diri. Lantas, biasalah, bisik-bisik soal tekanan dan rekayasa dari Kantor Sospol di kabupaten-kabupaten. Suara semacam itu sulit dihindari. Sebab, sikap PDI Cabang Sakalar, misalnya, menarik dukungannya untuk Mega setelah diberi pengarahan Direktorat Sospol setempat. ''Tak ada tekanan. Kami cuma tukar informasi,'' kata Djamil, Ketua PDI Sakalar. Dari Timor Timur dukungan untuk Mega ada juga. Frans Simatupang, Wakil Ketua PDI Timor Timur, secara terbuka mencalonkannya ketika anak Bung Karno itu berkunjung ke Dili dua pekan lalu. ''Saya setuju Mbak Mega dicalonkan,'' seru Frans, yang sehari-hari pengecer SDSB itu, disambut tepuk riuh kader-kader PDI yang memadati aula Hotel Resende Dili. Mega tampaknya mengetahui kegamangan yang menerpa pendukungnya. ''Tak ada cekal-mencekal atas diri saya.'' Mega pun mengingatkan dirinya sebagai anak Bung Karno, sang proklamator dan pemersatu bangsa. Dalam kongres luar biasa di Surabaya, Mega menghadapi sejumlah saingan, antara lain Budi Hardjono, anggota Fraksi PDI di DPR yang tergolong vokal dan kritis terhadap Pemerintah. Tapi ia dikenal tokoh yang dekat Pemerintah dan kurang mengakar. Pesaing lainnya adalah Latief Pudjosaksi, Ketua caretaker PDI sekarang. Nama Latief baru disebut setelah ia berhasil mendongkel Soerjadi Agustus lalu. Sebagai politikus, Mega kurang menonjol. Enam tahun menjadi anggota DPR, jangankan terdengar suara kritis darinya. Di Senayan pun jarang bisa dijumpai. Bahkan ia pernah dua bulan tak nongol. Tak mengherankan kalau Mayjen Soeyono punya komentar khusus tentang Mega: ''Ia lebih cocok menjadi ibu rumah tangga saja.'' Putut Trihusodo (Jakarta), Bandelan Amarudin Semarang), dan Kelik M. Nugroho (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus