Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perbedaan data Sirekap terjadi di salah satu tempat pemungutan suara (TPS) di Kelurahan Rengas, Ciputat Timur.
Penyelenggara membantah tudingan menguntungkan salah satu pasangan calon.
Perlu ada fitur pengenalan data error.
JAKARTA – Maraknya kasus perbedaan data Sirekap Komisi Pemilihan Umum dengan dokumen model C menimbulkan dugaan adanya penggelembungan suara. Diperlukan perbaikan, salah satunya adalah sistem checking entry data dan pengenalan data error dalam sistem Sirekap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan data Sirekap terjadi di salah satu tempat pemungutan suara (TPS) di Kelurahan Rengas, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Di TPS 34 itu, dokumen model C yang tercantum dalam data Sirekap menunjukkan pasangan calon presiden dan wakilnya, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, disebut memperoleh 886 suara. Namun, menurut data di TPS tersebut, pasangan calon nomor urut 2 itu tercantum memperoleh 86 suara.
Sirekap atau Sistem Informasi Rekapitulasi merupakan sistem penghitungan cepat terbaru yang dibuat KPU untuk mempercepat perolehan data. Sirekap menggantikan Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng). Tujuannya untuk mempercepat proses hitung cepat. Adapun dokumen model C adalah formulir berita acara pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas KPPS melengkapi data dari formulir C hasil penghitungan untuk aplikasi Sirekap Pemilu 2024 seusai penghitungan suara pilpres di TPS 03 Braga, Sumurbandung, Bandung, Jawa Barat, 14 Februari 2024. ANTARA/M. Agung Rajasa
Penelusuran data TPS tersebut kemudian dilakukan secara berjenjang. Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Ciputat Timur Fadli menepis ada upaya penggelembungan suara terhadap pasangan Prabowo-Gibran. Menurut dia, kekeliruan itu terjadi karena kesalahan penulisan angka digital yang dilakukan oleh petugas KPPS. “Seharusnya 0 di depan angka 8 itu tergaris tengahnya menjadi seolah-olah angka 8. Data itu sudah diperbaiki,” ujar Fadli. Ia mengklaim kesalahan itu hanyalah human error.
Jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di TPS 34 Rengas adalah 266, dengan pengguna hak pilih sebanyak 225. Pengguna hak pilih dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) berjumlah tujuh dan daftar pemilih khusus (DPK) sebanyak 10 orang. Adapun jumlah surat suara yang diterima TPS tersebut, termasuk surat suara cadangan, adalah 272. Surat suara sah dan tercatat di formulir C hasil penghitungan adalah 241.
Dari foto formulir C hasil penghitungan di TPS 34 yang belum diperbaiki, pasangan Prabowo-Gibran disebut memperoleh 886 suara dengan mengisi kotak penghitungan 18 kotak. Di foto tersebut terlihat angka 086, tapi kemudian yang tercantum di data Sirekap adalah 886. Pasangan calon nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, memperoleh 098 suara dengan mengisi 20 kotak penghitungan. Adapun pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. mengisi 12 kotak penghitungan atau memperoleh 057 suara.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Tangerang Selatan Muhamad Acep mengatakan kejadian itu hanya kekeliruan yang dilakukan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). "Masalah sudah diselesaikan. Itu hanya salah tulis," ujar Acep saat dimintai konfirmasi oleh Tempo pada Kamis, 15 Februari 2024.
Kasus beda data Sirekap dengan formulir C hasil penghitungan juga terjadi di TPS 13 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, Depok, Jawa Barat. Pakar keamanan data siber, Pratama Persadha, menemukan kejanggalan di TPS 13 karena jumlah suara yang dimasukkan ke sistem berbeda dengan lembar C1 atau C hasil penghitungan dengan selisih mencapai 500 suara.
Beberapa data yang tampil dalam situs web KPU juga berbeda dengan form C1, seperti jumlah DPT serta jumlah suara sah. Dalam situs web KPU, di TPS tersebut terdapat 301 pengguna hak pilih. Namun jumlah pemilih dalam DPT yang ada dalam form C1 tertulis sebanyak 236. Jumlah surat suara yang diterima oleh TPS tersebut adalah 241.
“Keanehan lainnya, jumlah suara sah di situs web KPU tertera dua suara, sedangkan di form C1 tercantum sejumlah 202 suara. Padahal pada baris jumlah semua suara sah dan suara tidak sah adalah 204 suara sesuai dengan form C1-nya," ujar Pratama lewat keterangan, kemarin.
Perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran di TPS 13 tersebut, yang tercatat dalam situs web KPU, berjumlah 617 suara. Jumlah ini kelebihan 500 suara dari yang seharusnya 117 suara, seperti yang tertera pada form C hasil penghitungan.
Fitur Error Checking
Pratama Persadha, yang juga Ketua Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), menjelaskan bahwa ketidaksesuaian data tersebut terjadi karena sistem entry data yang digunakan KPU tidak memiliki fitur error checking. Padahal, menurut dia, fitur itu mudah dimasukkan saat pembuatan sistem sehingga kesalahan memasukkan data, baik disengaja maupun tidak, tak akan terjadi.
Error checking bekerja saat terjadinya kesalahan memasukkan data. Sistem akan menolak jika jumlah perolehan suara hasil penghitungan berbeda atau di atas jumlah suara sah. “Sistem juga akan menolak jika jumlah suara sah ditambah surat suara tidak sah tak sama dengan baris jumlah semua suara sah dan suara tidak sah,” ujar Pratama.
Saat dimintai konfirmasi, Ketua KPU Kota Depok Willi Sumarlin mengakui pembacaan pada sistem Sirekap mengalami eror atau kesalahan karena huruf "X" terbaca "5" atau "8". Dia menjelaskan, jika jumlah perolehan suara di salah satu TPS kurang dari 100, kolom di kotak total penghitungan harus diberi tanda “X” di depannya. Namun dalam sistem Sirekap terbaca menjadi angka 5 atau 8.
“Itu sudah kami koreksi,” ujar Willi. Dia mengatakan lembaganya terus berupaya agar proses memasukkan data bisa sesuai antara formulir C hasil penghitungan yang difoto dan yang diunggah dari TPS.
Anggota Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan Cilodong, Mochamad Murdiono, menyebutkan hasil penghitungan yang dilakukan di TPS 13 Kelurahan Kalibaru sudah sesuai dengan C1 plano (C hasil penghitungan). Menurut dia, selisih yang muncul pada hasil Sirekap bukan kesalahan atau human error di kelompok KPPS. “Itu kesalahan membaca data dari sistem Sirekap-nya. Kalau hasil hitungan di lapangan, sih, sesuai dan sudah dibuatkan berita acaranya," ujarnya.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu Kota Depok Sulastio mengatakan sistem Sirekap tidak dipergunakan untuk basis rekap data. Dia mengatakan Bawaslu memiliki aplikasi real count dan C hasil penghitungan yang diperoleh pengawas tempat pemungutan suara. “Nanti kami cek saat sebelum rekap. Sirekap tidak dipergunakan untuk basis rekap. Kami pergunakan data manual," katanya.
Sirekap menggantikan Situng. Dalam Situng, formulir hasil penghitungan dipindai oleh petugas KPU di kabupaten/kota dan dimasukkan ke server KPU. Hal ini berbeda dengan Sirekap, yaitu formulir hasil penghitungan langsung difoto oleh petugas KPPS dan diunggah ke server KPU.
Petugas Komisi Pemilihan Umum saat menerima laporan penghitungan surat suara Pemilu 2024 di KPU, Menteng, Jakarta, 14 Februari 2024. TEMPO/Febri Angga Palguna
Menanggapi maraknya kasus perbedaan data, pakar keamanan siber Alfons Tanujaya heran atas kasus yang terjadi di TPS 13 Depok. Adanya perbedaan data jumlah suara dari 117 yang kemudian berubah menjadi 617 suara sulit dijelaskan. Alfons menduga hal tersebut terjadi karena petugas KPPS salah memasukkan angka sebagai konfirmasi ulang data.
Dia menyebutkan kecil kemungkinan terjadinya rekayasa dalam sistem Sirekap untuk menguntungkan salah satu pasangan calon. Menurut dia, teknologi optical character recognition (OCR) pada Sirekap memiliki sistem pengenalan data error. Kesalahan pembacaan OCR dalam Sirekap juga akan terjadi pada semua pasangan calon jika memang ada data yang eror. “Kemungkinannya adalah human error ketika konfirmasi ulang dilakukan petugas TPS,” ujar Alfons saat dihubungi, kemarin.
Ihwal kasus jumlah data surat suara di TPS 34 Rengas, menurut Alfons, disebabkan oleh kesalahan optik. Menurut dia, angka “086” yang kemudian dibaca sistem Sirekap menjadi "886" bisa dikatakan sebagai hal yang logis. “Bisa jadi karena media foto yang kurang jelas, terlipat, kotor, atau memang penulis data yang mengakibatkan hal ini,” tuturnya.
EKA YUDHA SAPUTRA | MUHAMMAD IQBAL | RICKY JULIANSYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo