Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDEBATAN terbuka antara dua pejabat tinggi itu mencapai puncaknya, Senin pekan lalu. Di DPR, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal Sutanto secara resmi menolak Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Draf itu selama ini dibela Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono.
Dua petinggi itu berdebat secara terbuka sebulan lebih soal posisi Kepolisian dalam struktur pemerintahan, yang sebenarnya tak tegas tertulis dalam draf. Sutanto menganggap lembaganya kelak akan dikerdilkan, polisi akan ditempatkan di bawah Departemen Dalam Negeri.
Menurut polisi, draf itu berusaha "mengembalikan paradigma lama" dan "me-nyimpang dari arah reformasi". "Kami tak sependapat rancangan itu dibahas," kata Sutanto di depan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengapa reaksi Kapolri begitu keras? Bukan semata-mata soal tempat polisi, Sutanto tampaknya curiga TNI menguatkan posisinya melalui rancangan itu. "Wajar kalau polisi keberatan," kata Andi Widjajanto, ahli politik militer da-ri Universitas Indonesia.
Rancangan itu sendiri disusun oleh tim yang dipimpin Mayor Jenderal Dadi Susanto, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan. Di bawahnya ada Laksamana Pertama Sudjiwo, Direktur Kebijakan Strategi. Anggota tim ini sekitar 20 orang, semua perwira menengah berpangkat kolonel dan letnan kolonel TNI.
Pada 2005, Departemen Pertahanan sebenarnya meminta ProPatria, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang penguatan hak-hak sipil, untuk menyusun draf Rancangan Undang-Undang Pertahanan Keamanan Negara. Draf yang termasuk Program Legislasi Nasional 2004-2009 itu diselesaikan ProPatria Mei 2005.
Belakangan, ternyata Presiden Yudhoyono meminta Undang-Undang Pertahanan Keamanan Negara diubah menjadi Undang-Undang Keamanan Nasional. Berubah total, pembahasan dimulai dari nol lagi. Konsep keamanan nasional itu kemudian dibahas dalam Rapat Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan. Baru setelah itu tim penyusun yang dipimpin Dadi dibentuk. "Draf yang mereka susun jauh berbeda dengan draf kami," kata Andi Widjajanto, yang aktif di ProPatria.
Tim Dadi memakai banyak pasal-pasal dalam Undang-Undang TNI sebagai acuan. Tentu saja, karena sebagian besar dari mereka adalah anggota tim yang pada 2003 diikutsertakan Mayor Jenderal Sudrajat, yang kala itu Direktur Jenderal Strategi Pertahanan, untuk menyusun Rancangan Undang-Undang TNI.
Tim yang sama menghasilkan masalah serupa. Empat tahun lalu, Pasal 19 dalam Rancangan Undang-Undang TNI mengatur kewenangan Panglima TNI mengerahkan pasukan dalam keadaan genting dan memaksa. Pasal yang kemudian digugurkan oleh DPR itu oleh banyak kalangan dijuluki "Pasal Kudeta" karena membuka peluang bagi tentara untuk merebut kekuasaan.
Kini, pasal serupa muncul dalam draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional. Bunyinya, untuk menanggapi ancaman militer dari negara lain, "TNI dapat mengambil langkah-langkah darurat secara terbatas dan terukur." Andi Widjajanto menilai pasal ini rawan penyelewengan. "Ini akan ditafsirkan kembali sebagai pasal kudeta," katanya.
Dadi Susanto menepis kekhawatiran itu. Ia menganggap aturan itu diperlukan untuk menghadapi situasi tertentu. Misalnya, ketika lima pesawat tempur F-18 Hornett milik Amerika Serikat bermanuver di atas wilayah Bawean, Jawa Timur, 4 Juli 2003.
Masuknya pesawat tempur, seperti juga datangnya peluru kendali, terjadi dalam hitungan menit. "Jika harus berkonsultasi dulu dengan presiden dan DPR, TNI tak mungkin bisa menahan serangan dari luar," kata Dadi. Lagi pula, menurut dia, TNI tidak mungkin melakukan kudeta di era demokrasi saat ini.
Andi menyarankan pasal itu diatur lebih terperinci. Di Amerika Serikat, tanpa persetujuan Kongres, Presiden boleh menggerakkan maksimal satu batalion atau sekitar 700 orang tentara. Pembatasan seperti Amerika itu dianggap perlu agar pasal yang mengatur langkah darurat itu tidak menjadi cek kosong bagi Panglima TNI untuk menggerakkan pasukan.
Dadi mengakui bahwa semua anggota timnya tentara, namun ia menyebutkan bahwa tim ini telah mengacu kepada sejumlah undang-undang, termasuk Undang-Undang Kepolisian. "Nanti juga akan ada tim gabungan yang melibatkan unsur-unsur lain," kata mantan atase pertahanan di Singapura itu.
Seperti juga Rancangan Undang-Undang TNI, draf Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional telah memicu perdebatan, termasuk polemik terbuka Sutanto-Juwono. Sam-pai-sampai, Presiden meminta kedua-nya bertemu dan menghentikan perdebatan. "Presiden meminta kami berembuk secara informal," kata Juwono.
Budi Setyarso
Pasal Runyam yang Jadi Omongan
Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional disusun oleh Departemen Pertahanan dan terdiri atas 70 pasal. Polisi menolak sebagian besar isi undang-undang itu karena dinilai bisa mengerdilkan korps baju cokelat. Kalangan sipil curiga beleid itu bisa diselewengkan TNI untuk memperkuat posisinya. Berikut ini beberapa pasal bermasalah itu.
BSA
Pasal 21 (1)Penyelenggaraan fungsi keamanan publik pada keadaan tertib sipil dilaksanakan setiap unsur pemerintahan secara fungsional di bawah tanggung jawab menteri yang membidangi urusan dalam negeri.
Masalah: Polri khawatir pasal ini akan menempatkan mereka di bawah Departemen Dalam Negeri dan polisi di daerah di bawah pemerintah daerah.
Pasal 25 (1)Penyelenggaraan fungsi keamanan negara pada keadaan tertib sipil dilaksanakan setiap unsur pemerintahan secara fungsional di bawah tanggung jawab menteri yang membidangi urusan pertahanan.Masalah: Polisi menganggap pasal ini mengaburkan batasan pertahanan dan keamanan.
Pasal 29 (4)Dalam hal menanggapi ancaman militer dari negara lain dan berdasarkan pertimbangan ruang dan waktu yang memerlukan penanganan segera, maka Tentara Nasional Indonesia dapat mengambil langkah-langkah darurat secara terbatas dan terukur.Penjelasan pasal itu: Yang dimaksud dengan penanganan darurat adalah kewenangan melakukan tindakan militer segera sesuai dengan ketentuan hukum internasional tanpa melalui mekanisme keputusan politik untuk menggunakan kekuatan Tentara Nasional Indonesia dalam mengatasi aksi militer dari negara lain.Masalah: Pasal ini berpotensi diselewengkan TNI.
Pasal 38 (3)Pengangkatan dan pemberhentian Panglima TNI adalah hak prerogatif Presiden.
Pasal 39 (2)Pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara RI adalah hak prerogatif Presiden.Masalah: Pengangkatan dua pejabat itu tak lagi melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 56 (1)Dalam penanganan terorisme, Tentara Nasional Indonesia wajib mengambil langkah-langkah konkret yang ditujukan untuk menjamin keselamatan dan kehormatan bangsa.
Pasal 56 (2)Penanganan terorisme seperti dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dalam tahap pencegahan, penindakan, dan pemulihan.Masalah: Polisi menganggap pasal ini mengaburkan batasan pertahanan dan keamanan.
Sumber: bahan rapat kerja Kepala Polri dengan Komisi Hukum DPR dan wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo