Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemberani di medan perang

Ketika masih prajurit, ia dikenal pemberani dan nekat. setelah menjadi jenderal, ia sering ikut pasukan bertempur. ia merancang dan ikut memimpin serbuan membebaskan pembajakan woyla.

1 Mei 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENNY, menurut Abdurrahman Wahid, adalah seorang militer yang harus tunduk pada Saptamarga, yang mengharuskan ketundukannya pada pimpinan di atasnya. Namun ia juga menyadari bahwa pelanggaran kewenangan dan langkanya pertanggungjawaban pimpinannya pada aturan main yang benar dan rencana yang digariskan memerlukan sikap kritis terhadap pimpinan yang tentunya mendera diri. Kutipan dari kata pengantar Gus Dur ini merupakan gambaran atas diri dan sikap Benny sebagai militer. Ketika ia masih berada di bawah, yang menonjol adalah keberaniannya yang penuh kalkulasi. Keberanian ini pula yang mewarnai perannya tampil di berbagai medan pertempuran. Namun ketika ia jadi pimpinan, ia mencoba selalu berada pada posisi ikut bertanggung jawab. Ia masih terjun ke lapangan. Bukan sekadar memacu semangat anak buahnya, tapi ia mau ikut langsung, dan tak jarang ia membuat putusan besar di lapangan bersama anak buahnya. Sebagai seorang jenderal, ia ikut di tengah-tengah pasukan antiteroris menyerbu pesawat Woyla yang dibajak. Bersama dua perwira tinggi temannya bertugas di berbagai medan pertempuran Soeweno dan Dading Kalbuadi, dan beberapa prajurit. Ia mendarat di Pulau Atauro, 25 kilometer di depan Dili, hanya beberapa hari setelah ibu kota Tim-Tim itu dikuasai 7 Desember 1975. Namun Benny bukan hanya jagoan di medan tempur. Ia juga manajer yang cakap memutuskan. Ia berani menghadapi berbagai kecaman dan kekecewaan para perwira tinggi. Ketika ia menjadi Panglima ABRI, Benny meluncurkan konsep reorganisasi ABRI. Kowilhan dibubarkan, Kodam dilikuidasi, organisasi daerah untuk Angkatan Udara, Laut dan Polri ditata. Bendera yang dikibarkan ketika itu adalah efisiensi dan efektif. Tentu banyak perwira tinggi yang tak naik pangkat, tak mendapatkan posisi. Berbagai langkah berani itulah yang menonjol dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan. Berikut beberapa contoh penampilannya yang tertulis di buku itu: Tanggal 12 Maret 1958, Letnan II Benny mendapat tugas memimpin pasukannya diterjunkan ke Pekanbaru yang dikuasai PRRI. Dalam Operasi Tegas, untuk membebaskan Riau daratan itu, kompi RPKAD pimpinan Benny harus diterjunkan bersama dua kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara. Kebetulan ada dua pilihan dari pasukan RPKAD. Kompi B, pimpinan Letnan Satu Djajadiningrat, belum semua anggotanya mendapat latihan terjun. Sedangkan kompi Benny sudah mendapat wing terjun. Tinggal Benny yang belum sempat latihan karena sakit ketika ada latihan. Maka, sebelum C-47 Dakota membuka pintu, Benny berpesan pada teman di sebelahnya, Soeweno. ''Wen, kalau nanti saya ragu- ragu, dorong saja,'' katanya kepada Soeweno, anak buahnya. Dan begitu mendarat, Benny selamat. Sebelum Benny mengatur penyerbuan, Soeweno menyematkan wing penerjun yang dikantonginya ke dada Benny, di tengah semak-semak di samping landasan Simpangtiga, Pekanbaru. Operasi ''gila-gilaan'' pun dilancarkan Benny menyerbu Pekanbaru. Dengan sebuah jip yang dirampas dari PRRI, ia dan lima temannya, termasuk Soeweno dan Dading, dengan cepat menguasai Pekanbaru. Setelah itu, dengan jip yang sama ia mengejar musuh ke arah Danau Bingkuang, 35 kilometer dari Pekanbaru. ''Kami sama-sama kaget,'' kata Benny melukiskan ketika jip itu tiba-tiba sampai ke hadapan musuh di tepi sungai. Para pemberontak tampaknya tak berniat melawan. Melihat jip pasukan ABRI berjaket loreng dan baret merah datang, mereka segera berhamburan mencari rakit untuk menyeberangi sungai. Tampaknya mereka mengira ada ratusan truk tentara di belakang jip Benny itu. Malam itu juga mereka berlima menunggu di pinggir Sungai Kampar, sampai datang pasukan infanteri esok paginya. Meringkus Marinir Belanda di Irian Pertengahan tahun 1961 Benny telah menyelesaikan pendidikan militter lanjutan di Amerika Serikat. Ia dinilai sebagai salah seorang ahli dalam operasi lintas udara. Sekembali ke RPKAD, Benny ditugasi melakukan infiltrasi ke daratan Irian. Mei 1962 Mayjen Achmad Yani menunjuk Benny menjadi pimpinan operasi lintas udara ke daratan Irian. ''Apa tugasnya, Pak?'' tanya Benny. Yani pun menjelaskan, ''... pokoknya memberikan dukungan pada para diplomat kita dalam perundingan dengan Belanda. Kita harus bisa membuktikan punya wilayah yang kita rebut.'' Maka Benny yang baru berusia 29 tahun itu harus memimpin 200 lebih pasukan untuk Operasi Naga itu. Pasukan infiltrasi itu akhirnya diterjunkan 23 Juni 1962 dini hari. Serbuan ke kubu Belanda pun mulai dirancang setelah pasukan terhimpun. Namun 6 Juli 1962, ketika pasukan Naga beristirahat di pos komando dekat persimpangan Sungai Kumbai, satu peleton marinir Belanda mendadak menyerbunya. Kontak senjata jarak dekat tak terhindari. Ketika diserbu, Benny tak sempat lagi menyambar jaket. Nyawa Benny sempat terancam ketika tembakan marinir Belanda dengan senapan berteropong menyambar topi rimbanya. Dan jaket berisi foto pacarnya, Hartini, yang ketika itu tengah belajar di Hawaii, dikembalikan Belanda setelah gencatan senjata. Jaket itu dijadikan sasaran latihan lempar pisau di markas marinir Belanda, mungkin karena kesal tak bisa menangkap pemiliknya. Dari 1.400 lebih pasukan ABRI yang diterjunkan, 216 gugur atau hilang, 296 orang ditangkap musuh. Namun operasi itu mampu meringkus 1.500 marinir Belanda yang khusus didatangkan dari Biak untuk mempertahankan Merauke. Atas prestasinya itu, dalam sebuah upacara di Istana Negara 19 Februari 1963, Presiden Soekarno menyematkan Bintang Sakti (tanda jasa tertinggi yang bisa diberikan kepada seorang anggota militer) ke dada Mayor Benny, disaksikan oleh Mayjen Soeharto, atasan langsung operasi pembebasan Irian Barat itu. Jenderal Bertempur di Timor Timur Tanggal 20 Oktober 1974 di Dili, Menteri Seberang Lautan Portugal Almeida Santos mengumumkan: ''kemerdekaan Timor Portugal pada waktu sekarang tidak realistis''. Dan pada saat yang hampir bersamaan tengah disiapkan Operasi Komodo, operasi intelijen Indonesia untuk membantu rakyat Timor Portugal. Untuk persiapan itu, Benny minta rekannya Dading Kalbuadi untuk memimpin operasi. Langkah pertama, Dading diperintah Benny, yang ketika itu menjadi Asintel Hankam, untuk membongkar kopor perutusan Portugal dalam perjalanannya ke Dili. Setelah pesawat yang akan terbang ke Dili dari Denpasar direkayasa tak bisa berangkat, Dading dan anak buahnya mulai beroperasi. Seluruh dokumen difoto. Perutusan Portugal Mayor Antonio Soares akhirnya membatalkan terbang ke Dili, dan balik ke Portugal lewat Jakarta. Tanggal 7 Desember 1975 pasukan empat partai bersama sukarelawan Indonesia menyerbu Dili. Operasi Seroja menggantikan Operasi Komodo. Namun operasi gabungan itu tak mulus karena kurang koordinasi. Meminjam istilah Benny, ''Pasukan tidak disiplin, saling menembak. Wah, pokoknya memalukan. Dahsyatnya pertempuran merebut Dili bisa dilihat dari korban yang jatuh. Selama lima tahun Operasi Seroja Desember 1974 sampai November 1979 tercatat 247 anggota pasukan Kostrad gugur. Dari jumlah itu, 35 orang tewas pada serbuan hari pertama, termasuk dua mayor dan dua kapten. Di tengah situasi panas itu Benny dengan pesawat ringan tanggal 8 Desember 1974 mendarat di Dili. Tugasnya adalah membebaskan para pemimpin non-Fretilin dan mengambil sebanyak mungkin dokumen Portugal dan Fretilin. Dari Dili, Brigjen Benny memimpin pasukan baret merah menyerbu Taibesi, tempat pemimpin partai non-Fretilin ditahan. Arnoldo dos Reis Araujo, pimpinan Apodeti yang kemudian menjadi gubernur Timor Timur pertama tersenyum lebar melihat pasukan Benny membebaskannya. Setelah itu pasukan Benny menyerbu Maubisse, markas terpenting Fretilin, dan berhasil mengangkut sejumlah dokumen. Sepuluh hari kemudian para pimpinan partai pro-Indonesia yang dibebaskan mengumumkan pembentukan pemerintah sementara Tim-Tim di bawah pimpinan Araujo (Apodeti) dan Lopez da Cruz (UDT). Berjaket Hitam Menyerbu Woyla Sabtu pagi, 28 Maret 1981, pesawat terbang Garuda Woyla dibajak. Pembajak memaksa pesawat terbang ke Penang, Malaysia. Hari itu para pimpinan ABRI tengah mengadakan rapim di Ambon. Benny, di tengah rapim, mengumumkan pembajakan itu dan Pangab Jenderal M. Yusuf memerintahkan untuk menangani secara militer. Sabtu sore pembajak meminta pesawat diterbangkan ke Bangkok, mendarat di lapangan udara Don Muang. Dan malam itu Kepala Bakin Yoga Soegomo terbang ke Bangkok untuk negosiasi dengan pembajak. Tuntutan mereka adalah pembebasan tahanan yang terlibat peristiwa teror Warman dan kasus Komando Jihad. Benny malam itu mendarat di Jakarta. Setelah menemui Wakil Pangab Laksamana Sudomo, keduanya langsung menghadap Presiden Soeharto untuk melaporkan perlunya tindakan militer. Presiden ketika itu juga menukas, ''Bagaimana hasilnya?'' ''Fifty- fifty,'' jawab Benny. Ia menugasi Letkol Sintong Panjaitan, yang pernah diperintahkan menyiapkan pasukan antiteroris untuk membebaskan sandera. Untuk latihan, mereka mendapat sebuah DC-9, jenis yang sama dengan Woyla. Minggu sore pasukan khusus antiteror, 35 anggota Kopassus, diterbangkan ke Bangkok. Benny memberi briefing langsung. Malam itu juga Benny langsung mengadakan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Thailand Siddi Savitsila di bandara. Namun Menlu Siddi belum memberi persetujuan untuk serbuan militer. Benny akhirnya menemui PM Thailand Prem Tinsulanonda: minta izin melakukan operasi militer. Persetujuan dari kantor perdana menteri datang lewat tengah hari. Penyerbuan dilakukan sekitar pukul 3.00 hari Senin. Semua anggota pasukan memakai baju loreng dan baret merah, bukan pakaian sipil seperti direncanakan. Untuk menjaga kerahasiaan, pasukan berbaring di atas mobil yang mengangkut ke dekat Woyla. ''Saya duduk di atas anak-anak, injek-injekan,'' kata Benny. Dan Sintong sangat terkejut ketika melihat Benny ikut berlari-lari di tengah pasukan menuju pesawat. Ia memakai jaket hitam dan tangan kanannya menggenggam sepucuk pistol metraliur. Sambil berbisik, Sintong memerintah anak buahnya yang berjalan paling dekat. ''So, Roso, keluarkan dia. Jangan biarkan Pak Benny ikut.'' Letnan Suroso menjawab, ''Pak, saya nggak berani.'' Berbeda dengan yang terjadi di benak Benny. ''Tempat terbaik bagi saya harus selalu bersama mereka.'' Tepat pukul 2.45, serbuan dimulai. Semua pintu kabin didobrak dari luar. Serbuan itu berhasil dan lima pembajak tertembak. Pilot Herman Rante ditembak pembajak dan Kopral Kirang kena peluru di perutnya. Selasa pagi, seluruh pasukan kembali ke Jakarta. Benny, dengan safari warna gelap, yang kontras dengan seragam loreng berbaret merah pasukan khusus itu. Ia menyusup di sela-sela mereka dan lolos ke mobilnya, luput dari perhatian masyarakat yang menyambut pasukan khusus yang dua hari kemudian mendapat ''Bintang Sakti'' dari Presiden Soeharto itu. Semua naik pangkat istimewa. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus