Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan difabel mental penghuni panti sosial mengalami kesulitan mengadu saat mengalami kekerasan. Musababnya, petugas membatasi akses mereka terhadap alat komunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti mengatakan peralatan komunikasi di panti sosial sangat terbatas. "Mereka tidak boleh sekadar menelepon saja, aksesnya sulit sekali," kata Yeni Rosa dalam diskusi peluncuran video keadaan penghuni panti sosial 'Perempuan yang Terlupakan' bersama Komisi III DPR, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jumat 11 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Video tersebut berisi gambaran suasana beberapa panti sosial di Jakarta dan Jawa Tengah. Salah satu gambar menunjukkan perempuan dipasung. Padahal pemasungan sudah dilarang karena melanggar Konvensi PBB mengenai Hak Asasi Manusia dan Penyandang Disabilitas.
Dalam video juga terdapat beberapa pernyataan penghuni panti perempuan yang mengaku mengalami kekerasan verbal, fisik, dan seksual. Salah satunya tindakan penggundulan, dimandikan oleh petugas laki-laki, perabaan anggota tubuh tertentu oleh petugas, serta dicampurnya ruang tidur penghuni perempuan dan laki laki.
Asisten Deputi Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Valentina Ginting mengatakan, untuk menekan angka kekerasan yang dialami perempuan, pemerintah menyediakan sistem pengaduan bernama Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak atau SIMFONI.
"Sistem data informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat, satu dari tiga perempuan di Indonesia mengalami kekerasan, termasuk di dalamnya perempuan dengan disabilitas," ujar Valentina. Berdasarkan data SIMFONI hingga 8 Desember 2020, terdapat sekitar 7.000 pengaduan kekerasan yang dialami perempuan difabel maupun laki-laki.
Kendati sistem pengaduan online sudah tersedia, menurut Yeni Risa, perempuan penyandang disabilitas mental penghuni panti tidak dapat mengaksesnya. "Mereka tak punya alat komunikasi. Jangankan mengadu lewat online, telepon saja mereka tidak boleh," kata Yeni Rosa. "Mereka tidak dapat mengadu kepada siapapun."
Data Perhimpunan Jiwa Sehat menunjukkan terdapat lebih dari 12 ribu penyandang disabilitas yang menjadi penghuni tetap panti sosial. Kondisi difabel mental yang menjadi residen tetap panti sosial, menurut Komisi Nasional Perlindungan Perempuan menyalahi konsep rehabilitasi. "Sebab penyandang disabilitas mental tidak berada dalam kondisi seperti itu selamanya. Mereka dapat kembali pada kesadaran penuh setelah masa relapse-nya," kata anggota Komnas Perlindungan Perempuan, Bahrul Fuad.
Menurut Bahrul Fuad, peran panti sosial sebatas mempersiapkan difabel mental untuk kembali ke masyarakat, dengan tata cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. "Seharusnya tidak ada difabel mental yang menjadi penghuni tetap panti, apalagi sampai dipasung," kata Bahrul.