Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Depolitisasi membuat partai-partai Islam kalah. Namun, untung, kini penguasa dan Islam saling membutuhkan. MASALAH politik dan umat Islam di Indonesia, tampaknya, akan selalu menarik diperbincangkan. Pekan lalu, misalnya, sekitar seratus peserta memadati aula kantor PP Muhammadiyah Jakarta. Dengan penuh semangat mereka mengikuti diskusi tentang "Agama dan Politik dalam Islam: Kasus Indonesia Orde Baru". Diskusi yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Studi Kemasyarakatan PP Muhammadiyah itu menampilkan Dr. Din Syamsuddin, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, pembahasnya Hartono Mardjono, bekas salah satu ketua PPP. Din Syamsuddin menyajikan makalah yang dinukilkan dari disertasinya yang berjudul "Religion and Politics in Islam: The Case of Muhammadiyah in Indonesia's New Order". Islam, kata Din, sebagai agama memang dominan di Indonesia. Namun, ia hanya memainkan peran "pinggiran". Hal ini, katanya, disebabkan oleh adanya dikotomi "Islam Politik" dan "Islam Non-Politik". Istilah "Islam Politik" menunjuk pada kelompok yang menghendaki agar Islam dijadikan ideologi dan pada akhirnya bercita-cita mendirikan Negara Islam. Islam Non-Politik adalah orang-orang Islam yang memisahkan agama dan negara. Kedua kelompok itu selalu berhadapan sejak masa prakemerdekaan hingga Orde Baru. Pada masa prakemerdekaan, katanya, konflik masih bersifat interaksi dialogis, yang kemudian menghasilkan sintese nasionalisme. Pada era Soekarno(pascakemerdekaan) terjadi kompetisi ideologis yang mengundang konflik politik yang tajam antara kedua kelompok itu. Zaman Orde Baru, menurut Din, Pemerintah menjalankan depolitisasi masyarakat secara total. Ia menyebut adanya kecenderungan pembentukan organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bersifat monolitik. Misalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Dalam proses kehidupan politik itu, depolitisasi merambah ke partai Islam. Lambang-lambang keislaman secara bertahap dicopot, sampai akhirnya lembaga politik Islam secara formal ditiadakan. Ini terlihat ketika empat partai Islam difusikan ke dalam PPP pada 1973, dan puncaknya tatkala Pancasila resmi dijadikan asas tunggal pada 1985. "Depolitisasi Islam telah mengakibatkan kekalahan politik Islam," kata Din. Namun, kemudian depolitisasi Islam justeru mendatangkan rahmat terselubung. "Sekarang terjadi koopasi, isi-mengisi dan saling membutuhkan, antara Islam dan penguasa. Misalnya, tercermin lewat terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kemudian tercipta pula suasana kondusif untuk melaksanakan politisasi Islam," ujar Din. Meskipun demikian, katanya, hubungan itu bersifat semu dan belum mencapai tingkat sejati. Maksudnya, "Islam masih berfungsi, tepatnya difungsikan, sebagai faktor pendukung untuk melakukan mobilisasi politik, belum menjadi faktor penentu," katanya. "Itu tetap akan berlangsung hingga beberapa tahun mendatang." Untuk bisa menentukan arah pentas politik nasional, Din Syamsuddin maupun Hartono Mardjono menganggap, yang penting adalah mendistribusikan nilai-nilai Islam ke dalam berbagai kegiatan masyarakat. Namun, Arbi Sanit, dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI, mencoba mengembalikan persoalan ke kerangka teoretis mengenai perlu tidaknya partai. "Kalau yang dimaksud ingin menentukan dalam arti politik, misalnya ingin berkuasa, tentunya masih diperlukan, tetapi, kalau untuk menegakkan nilai-nilai Islam, ya tidak perlu," katanya. Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo