Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

PMP baru, santai dan ceria

Upacara penggantian buku PMP dari yang lama ke yang baru. buku PMP (lama) direvisi setelah banyak mengundang reaksi. (pdk)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOMBOL ditekan. Gaung sirene terdengar, disusul derum truk yang meluncur ke luar halaman gedung SMPN 216 Jakarta. Maka upacara penggantian buku Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dari yang lama ke yang baru secara simbolis usai sudah. Truk yang menjadi peserta upacara langsung menuju Pabrik Kertas Leces, Jawa Timur. Segerobak buku PMP lama yang dibawa truk itu akan dijadikan bubur kertas di Leces. "Agar tak terjadi kesimpangsiuran, dengan selesainya buku PMP baru, semua edisi lama dimusnahkan," kata Menteri P & K Nugroho Notosusanto pada upacara Jumat pagi pekan lalu itu. Memang, buku PMP terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang lama banyak mengundang reaksi. Belum setahun kedua belas jilid buku itu dipakai di SD hingga SMTA, Juni 1981 Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR protes. Kemudian awal tahun lalu Mohammad Natsir, seorang tokoh Islam, menulis kritik panjang di majalah Panji Masyarakat dan Kiblat tentang buku tersebut. Protes terbuka pun muncul, ketika sebuah delegasi menyampaikan pernyataan kepada DPR dan MPR RI. Isi pernyataan, "perlu diadakan peninjauan secara menyeluruh atas buku PMP." Sekitar 50 tokoh Islam mencantumkan tanda tangannya pada pernyataan yang disampaikan ke DPR September 1982 itu. Tak berbeda dengan protes sebelumnya, delegasi itu pun menilai buku PMP (lama) bisa "menyelewengkan siswa-siswa Islam dari pengertian akidah Islam yang benar. Jadi, apa yang kemudian berubah dari yang lama pada buku PMP baru? Menarik, memang Tak setegang protes-protes yang pernah dilancarkan terhadap buku lama, PMP baru muncul dengan santai dan ceria. Warna sampul yang dulu cokelat atau biru muram, kini kuning cerah. Gambar-gambar ilustrasi di dalam buku pun lebih semarak lebih bercerita. Misalnya, ilustrasi tentang Hari Idul Fitri, bila dulu cuma gambar orang-orang bersalaman, kini ditambah gambar masjid pada latar belakangnya. Gambar-gambar tempat ibadat -- masjid, gereja, bila dulu tak memenuhi ruang yang digambar itu diperbesar. Masih soal gambar, ada kesan buku PMP baru ingin memberikan gambaran kehidupan yang lebih maju. Dalam buku PMP jilid I halaman 9 misalnya, di atas teks "budi pergi ke sekolah," ada gambar seorang anak melambaikan tangan kepada ibu yang berdiri di ambang pintu rumah. Dan rumah itu mengesankan sebuah rumah di desa, di pinggir pasar. Dalam buku baru ilustrasi itu tetap menggambarkan anak yang melambaikan tangan pada ibu. Tapi si ibu kini berdiri di sebuah rumah gedung yang bagus, di sebuah kompleks perumahan kota. Hampir semua ilustrasi yang memberi gambaran suasana desa, dalam buku baru memang diubah bersuasana kota. Jelas sudah, bahwa tim revisi buku PMP yang diketuai Menteri Muda Sekertaris Kabinet Moerdiono tak semata bekerja karena ada protes. Tim ini pun menurut Direktut Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Darji Darmodiharjo, salah seorang anggota tim, juga memperbaiki gambar ilustrasi, salah cetak, dan bentuk kalimat. Tapi memang, hal yang menguraikan agama, yang dulu banyak mengundang protes, banyak diubah. Kata "wajib" dalam Kita wajib memberikan ucapan selamat hari raya kepada para pemeluk agama yang merayakan, diganti "sebaiknya." Lantas kalimat yang menyatakan bahwa semua agama sama karena sama-sama mengajarkan ajaran Tuhan (misalnya dalam PMP untuk kelas V SD halaman 12) dihilangkan. Ini dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Singkat kata, buku PMP baru memang terasa lebih tahu batas. Hal-hal yang menjadi bagian pelajaran agama, misalnya, uraian tentang "inti menghubungkan diri dengan Tuhan" dalam PMP untuk kelas V SD Bab II, dihilangkan. Soal seperti itu memang lebih menjadi urusan guru agama, para kiai, pendeta, dari pada guru PMP. Cuma yang agak aneh, hal maaf-memaafkan di Hari Idul Fitri (PMP untuk kelas I SD) dalam buku baru justru dihilangkan. Benar, dalam agama Islam tak ada hari khusus untuk meminta maaf. Tapi bukankah itu sudah menjadi tradisi kuat di Indonesia? Tak jelas berapa kerugian pemerintah karena harus merevisi dan mencetak kembali PMP -- yang direncanakan akan dicetak 40 juta eksemplar. Tapi memang buku lama, begitu muncul protes, pencetakan selanjutnya sempat ditangguhkan. Waktu itu baru dicetak sekitar 8 juta. "Dengan begitu kerugian bisa ditekan," kata sumber TEMPO di Departemen P & K. Dan perlu diketahui, PMP baru ini masih termasuk hasil kerja Menteri P & K yang lalu, Daoed Joesoef. "Saya hanya meneruskan yang telah dilakukan Menteri lama," kata Nugroho. Toh ia berpesan," jangan sampai ada pihak yang mengada-ada, sebab tak ada gading yang tak retak."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus