Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) sekaligus sahabat Daoed Joesoef, Harry Tjan Silalahi, menguak cerita di balik kebijakan Daoed tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), yang kontroversial pada masa Orde Baru. Kebijakan itu dikeluarkan Daoed ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada era Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Harry menilai orang yang menganggap kebijakan NKK/BKK sebagai kebijakan kontroversial adalah orang yang tidak mengerti. “Kontroversial itu bagi orang yang tidak mengerti karena Daoed itu terlalu cepat pemikirannya, mendahului zamannya,” katanya kepada Tempo di rumah duka, Jalan Bangka VII Dalam Nomor 14, Jakarta Selatan, Rabu, 24 Januari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Setelah tahun berganti, menurut Harry, kebijakan Daoed tersebut mulai bisa diterima sebagai sebuah gagasan pembaruan. Bahkan, kata dia, profesor sekelas Jacob Elfinus Sahetapy pernah menyebut Daoed sebagai dua tokoh besar pendidikan Indonesia bersama Ki Hajar Dewantara.
Kebijakan NKK/BKK berlaku resmi setelah Daoed, Menteri Pendidikan era Soeharto, mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Ini menyebabkan kampus menjadi kawasan steril dari aktivitas politik. Dengan SK itu, mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik.
Kebijakan soal NKK/BKK itu, menurut Harry, telah digagas Daoed jauh sebelum menjadi Menteri Pendidikan. “Sudah menjadi buah pikiran Daoed sejak menjadi mahasiswa,” ujarnya.
Daoed, kata Harry, kerap resah dengan mahasiswa yang selalu dicekoki politik praktis dan kerap berbeda pendapat, tapi terkadang tidak masuk akal. “Jadi Daoed bilang belajar dulu, baru masuk politik praktis. Kalau mau membuat konsep, maka menulislah,” ucapnya.
Harry sependapat dengan Daoed bahwa mahasiswa bukan organisasi masyarakat, di mana pendapat pada akhirnya akan di-vote untuk menghasilkan kesepakatan organisasi. Pemikiran setiap anggota pun harus sejalan dengan pemimpin organisasi.
“Kalau di dunia ilmiah itu berbeda. Pendapat tidak boleh di-vote dan setiap perkataan pimpinan tidak berarti amin,” tutur Harry. “Ibaratnya pimpinan bilang dua kali dua itu lima, maka kita berhak tidak setuju dan mampu membuktikan. Kebijakan itu berawal dari dasar pemikiran sesederhana ini.”
Daoed Joesoef telah meninggal. Dia mengembuskan napas terakhir pada Selasa, 23 Januari 2018, pukul 23.55, di Rumah Sakit Medistra, Jakarta Selatan. Daoed meninggalkan 1 istri, 1 putri, 2 cucu, dan 1 cicit. Sebagai mantan pejabat negara, Daoed dimakamkan secara militer di Taman Pemakaman Umum Giritama pada Rabu, 24 Januari 2018.