Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLANET Emore telah melenceng dari peredarannya. Bumi akan mengalami perubahan iklim dan dalam waktu dua bulan lingkungan bumi akan berubah. Bagaimana pengaruh peristiwa itu terhadap aktlvitas manusia? Anda tak perlu cemas. Berita itu hanya fiktif - termasuk, mungkin, nama planet itu. Tapi pekan lalu, di Pusat Pengembangan Kreativitas Anak, di Taman Mini Indonesia Indah, hal melencengnya Emore dijadikan tema karangan. Sejumlah siswa dari 14 SMP negeri di wilayah Jakarta Timur, yang secara bergilir dari Senin sampai Kamis datang ke Pusat Pengembangan itu, diminta menuliskan cerita singkat tentang bayangan mereka bila benar si planet itu menyimpang dan garis edarnya. Untuk apa? Itulah salah satu kegiatan Pusat Pengembangan Kreativitas yang diresmikan 11 Maret yang lalu. Di sini siswa-siswa SMP itu dilatih dengan kegiatan yang diharapkan memupuk daya kreatif mereka. Empat Jenis kegiatan - kerja elektronik, menciptakan sesuatu dari barang bekas, melukis, dan mengarang yang disebut "olah kata" - diberikan dengan kebebasan penuh. Maksudnya bukan seperti kegiatan di sekolah yang dinilai baik dan buruknya. Kegiatan melukis misalnya, "dititikberatkan pada kebebasan siswa menyatakan diri," kata salah seorang pengasuh dari Jurusan Seni Rupa IKIP lakarta. "Jadi, tak ada gambar yang kami nilai baik, tak ada yang buruk." Timbulnya gagasan ini dimulai ketika para ahli psikologi berdiskusi tentang tes kecerdasan pada 1979 di Jakarta. Waktu itu disepakati, tes kecerdasan hanya menunjukkan satu aspek dalam diri. Yakni, kata Prof. Dr. Utami Munandar, salah seorang pembicara dan salah seorang pencetus Pusat Pengembangan ini, hanya mencerminkan "kemampuan seseorang menjawab atau menyimpulkan secara logis persoalan yang diberikan." Diketahui bahwa ada satu faktor lagi, yang ternyata lebih berperan dalam menunjang sukses tidaknya perjalanan hidup seseorang, yakni kreativitas. Utami Munandar, dosen di Fakultas Psikologi UI, memang tak punya contoh soal dari Indonesia. Tapi di Amerika Serikat katanya, sejumlah anak cerdas yang diikuti jalan hidupnya hampir semuanya tak menghasilkan sesuatu yang berarti. Bahkan, sebagian besar kemudian punya pekerjaan yang tidak membutuhkan kecerdasan yang tinggi. Anak-anak dengan angka tes kreativitas tinggilah yang ternyata lebih bisa menelurkan hal-hal yang bermanfaat, hal yang baru. Atas dasar itulah, ahli psikologi dari UI itu dan beberapa rekannya pada 1980 mendirikan Yayasan Pengembangan Kreativitas. Ambisinya, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan guna memupuk daya kreatif anak Indonesia. Pada 1982, misalnya, yayasan itu mengadakan lomba cipta kreativitas, mengajak anak-anak menciptakan sesuatu yang bermanfaat dari barang buangan. Tapi baru setelah peresmian Pusat Pengembangan di TMII ini, yang juga didukung oleh IKIP Jakarta, Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, dan Fakultas Psikologi UI, ada wadah tetap untuk upaya kreatif ini. DI Pusat Pengembangan, dengan empat kegiatan yang telah disebutkan, dilaksanakan latihan "kmampuan untuk melihat hubungan-hubungan yang baru, kombinasi baru antara unsur, ide, obyek, dan situasi yang pernah atau sedang diamati," tutur Utami Munandar. Meski kegiatan di sini bisa saja kelihatannya sama dengan kegiatan di tempat lain, arahnya berbeda. Dalam mengarang atau "olah kata" itu, misalnya, bukan indahnya atau logisnya karangan yang dicari. Tapi, bagaimana daya imajinasi para siswa SMP itu bekerja. "Olah kata di sini bebas, karena tak akan dinilai," kata seorang siswi SMPN 49, Rabu pekan lalu. Benar. Kebebasan itu memang tercermin dari karangan mereka. Misalnya, tentang planet yang melenceng itu, Dian HS dari SMPN 209 menulis: "Ini kejadian yang sangat penting, anak sekolah pada kelas yang paling tinggi terpaksa EBTA-nya diundurkan guna menunggu perubahan yang mungkin lebih tenang bagi pikiran." Tema "olah kata" tiap pekan berbeda. Pada pekan pertama, ketika Pusat Pengembangan diresmikan, diberikan tema "seandainya saya jadi presiden." Maka, tulis seorang siswa, "Saya tidak akan seperti Reagan atau presiden Soviet. Saya akan memerintahkan semua orang rajin membaca dan mengarang. Ah, tapi kalau semua jadi pengarang jadi tidak enak juga." Dan pekan berikutnya, sebuah foto bergambar dua anak kecil lagi bermain di kolam ditunjukkan kepada para siswa-siswa peserta, untuk dibikinkan cerita. Seorang siswa menulis: "Mungkin ini telaga desa, dikelilingi pohon-pohon rindang, karena ada bayang-bayang pohon pada air di telaga itu." Kegiatan ini sudah terang agak sulit dilihat hasilnya secara nyata. Yang bisa dilihat, para siswa SMP yang datang sekali seminggu ke Pusat Pengembangan itu memang bekerja dengan leluasa. Mereka yang melukis tidak ragu mewarnai gajah dengan merah, meski patung gajah itu putih adanya. Dan anak-anak yang mengarang, dengan lancar, dalam waktu yang disediakan (dua jam, pagi 09.00-11.00, siang 14.00-16.00), menuliskan apa saja yang terpikirkan. Dalam awal kegiatan ini, kepada peserta, yang seluruhnya murid SMP itu, diberikan tes kreativitas. Tiga bulan kemudian, Juni nanti, tes itu akan diulang, dan hasilnya akan diperbandingkan. Adakah latihan ini memang memupuk semangat mencari, membekali siswa-siswa itu dengan kemampuan memecahkan persoalan dengan cara yang jitu, memupuk semangat Edison atau Einstein, memang itu harapannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo