ALUNAN gending Jawa mengiringi 68 pria dan 17 wanita yang berbaris memasuki pendopo sebuah rumah di kampung Suryodiningratan, Yogyakarta Selatan. Penampilannya seperti pengawal raja dalam film-film legenda Jawa. Yang pria berjalan tegap dengan telanjang dada. Hanya secarik kain batik biru bermotif klasik membungkus perut sampai mata kaki. Rambutnya digelung ke atas seperti prajurit Majapahit versi ketoprak, pangkal dan pergelangan tangannya dililit janur kuning. Yang wanita mengenakan kebaya dan kain batik, rambutnya dibiarkan terurai. Maka memang tergelar suasana Jawa tempo doeloe pada Minggu pagi dua pekan lalu. Kedelapan puluh lima lakilaki dan wanita, yang sebagian sudah berusia lanjut, itu bukan sedang disyuting untuk pembuatan film keraton Yogya atau zaman Majapahit dulu. Mereka adalah wisudawan dan wisudawati dari Padepokan Puser Widya Nusantara Jawa milik seniman tari Prof. Dr. Wisnoe Wardhana. Hari itu mereka berhak menerima pemasangan kalung bersepuh emas sebagai tanda kelulusan telah merampungkan pendidikan satu semester. "Ini adalah jawaban terhadap kegelisahan orang-orang atas memudarnya budaya Jawa," kata Wisnoe, 62 tahun, menjelaskan ihwal berdirinya lembaga pendidikan yang mengajarkan teori dan praktek tradisi asli Jawa. Di padepokan yang berdiri Oktober 1991 itu para siswa diajarkan berbagai tradisi Jawa, seperti membaca dan menulis aksara Jawa, kepribadian Jawa, pedalangan dan pewayangan, membatik, merawat dan membuat pusaka, serta mempelajari adat lama. Pelajaran adat Jawa lama berupa pengetahuan, mulai dari cara berjalan dan duduk hingga bagaimana membuat sesajen dan manteranya. Sedangkan pelajaran kepribadian Jawa, materinya berdasarkan petuah-petuah yang terdapat dalam puisipuisi dan filsafat Jawa lainnya. Para siswa juga dibekali pengetahuan dan teknik pembuatan pusaka seperti keris, termasuk tata cara dan mantera memandikan dan merawatnya. "Dengan cara ini, selain menjaga tradisi Jawa, kami juga memberikan keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh para siswa untuk mencari nafkah," kata Wisnoe, guru besar IKIP Yogyakarta. Kebanyakan siswa kebetulan memang berasal dari desa yang sehari-harinya bertani atau bekerja serabutan. Sebagian besar siswa hanya mengenyam lulus SD, dengan usia antara 14 tahun hingga 60 tahun. Siswa yang datang dari pelosok DIY dan beberapa daerah di Jawa Tengah itu hanya beberapa saja yang sempat lulus SMA. Uang sekolah dikutip dari setiap siswa Rp 5 ribu untuk dua kali pertemuan termasuk untuk makan. Pendidikan diberikan dua kali seminggu selama satu semester. Bahasa pengantar dan buku teks diberikan dalam bahasa Jawa. Untuk membedakan tingkatan, masing-masing punya nama khusus. Semester I disebut Ulunguntung, semester II Indungindung, Putut untuk semester VII, dan semester terakhir (IX) disebut Wasi. Siswa yang telah lulus semua tingkatan yang dirancang sudah bisa menghayati dan merangkum seluruh pelajaran. Mereka juga bisa menjadi guru di sekolah serupa. Namun, tanpa menyelesaikan seluruh program pendidikan pun, seorang bisa mandiri dan bekerja sesuai dengan tingkatan yang ditempuhnya. Sebagai tenaga pengajar, selain Winoe Wardhana sendiri, Ny. Suliantoro Sulaiman (untuk seni merangkai janur) juga ikut bergabung dan Ir. Harjono Arumbinang, M.Sc., bekas Kepala Reaktor Nuklir Batan, Yogya, yang mengajarkan selukbeluk pembuatan dan bahan keris serta cara perawatannya secara ilmiah maupun spiritual. "Ini perlu, karena generasi sekarang buta terhadap budaya leluhurnya," kata Harjono. Rustam F. Mandayun dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini