Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU vila lagi roboh ke bumi. Hanya satu jam tempo yang dibutuhkan dua buldozer untuk meratakan bangunan seharga Rp 200 juta itu. Vila putih berukuran 15 x 20 meter -- dilengkapi dengan lapangan tenis dan kolam renang -- yang terletak di atas seluas 1,3 hektare di Desa Tugu Utara, Cisarua, Jawa Barat, adalah korban ke-15 serudukan buldozer DPU Kabupaten Bogor. "Mereka tak mau membongkar sendiri, sehingga kami terpaksa turun tangan menertibkannya," ujar Bupati Bogor Edi Yoso Martadipura, seusai pembuldozeran Sabtu pekan lalu. Bupati Edi Yoso memang tak kenal kompromi menertibkan bangunan yang berada di lokasi yang seharusnya untuk perkebunan teh itu. Apalagi sebagian vila di kawasan Desa Tugu Utara itu dibangun tanpa IMB. Ia kini bahkan mengincar 31 vila lain di kawasan itu -- sekalipun memiliki Surat Pemutihan Izin Bangunan (SIPB) yang dikeluarkan awal 1987 -- untuk diratakan dengan tanah. Awal Juli lalu, ia mencabut semua SIPB tersebut. "Penerbitan SIPB itu sebuah kekeliruan," katanya. Dasar yang dipakai Edi Yoso mencabut SIPB 1987 itu adalah klausul yang berbunyi: "Sewaktu-waktu, IMBP dapat dicabut kembali, kalau kemudian hari terdapat kekeliruan." Tindakan penertiban yang dilakukan Edi Yoso itu ternyata tak begitu saja bisa diterima sebagian pemilik vila. Tiga pemilik vila yang tergusur -- Noor H. Tayibnapis, Latif Karta Sasmita, dan Titin Wongsodjojo -- membawa soal penggusuran itu ke Pengadilan Negeri Bogor lewat Pengacara A. Teras Narang. Perkara perdata itu akan disidangkan minggu-minggu ini. Tergugat yang dituntut tiga penggugat dalam perkara ini adalah PT Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP), yang menguasai Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah tersebut, dan kemudian mengecerkannya berupa petak-petak kecil. Lalu Departemen Dalam Negeri, dan bekas Direktris Utama SSBP, Nyonya Yuri Yanti Wijaya. Lewat Pengacara Teras Narang, ketiga pemilik vila menuntut, antara lain, agar Pengadilan Negeri Bogor mengesahkan pemilikan mereka atas tanah dan bangunan yang terletak di tengah perkebunan teh milik SSBP tersebut. Selain itu, mereka juga menuntut ganti rugi (masing-masing Rp 118,5 juta), yang harus dibayar secara tanggung-renteng oleh ketiga tergugat. Nyonya Noor H. Tayibnapis, selaku penggugat pertama, merasa pemilikannya atas tanah seluas 5.000 m2 di perkebunan itu telah mengikuti prosedur yang sah. Tanah itu dibelinya dari H. Anwar M. Nur, Agustus 1984. Sebelum pemilikan tanah itu berpindah tangan ke Nyonya Noor, Anwar, yang membelinya dari SSBP, sempat membangun gudang untuk menyimpan hasil panen di sana dengan izin lurah. Dalam jual-beli dengan Nyonya Noor, fondasi gudang itu ikut ditransaksikan Anwar, dan dilepas dengan harga Rp 2,5 juta. Di atas fondasi itulah Nyonya Noor membangun vila. Akhir 1986, ia mengajukan pemutihan IMB, dan dikabulkan oleh Kantor Pembantu Bupati Wilayah Ciawi. Dua penggugat lainnya, Latif Karta Sasmita dan Titin Wongsodjojo, juga memperoleh tanah mereka lewat cara serupa. Latif membeli kavlingnya, seluas dua hektare, dari "petani penggarap" Susanto, September 1982. Sedangkan Titin mendapatkan tanah miliknya, seluas 5.600 m2 dari "penggarap" Sri Lestari Darma. Menurut Pengacara Teras Narang, pencabutan SIPB itu tidak patut dilakukan Bupati Edi Yoso. "Kalau surat izin begitu mudah dicabut, bagaimana mungkin ada kepastian hukum?" ujarnya. Narang menambahkan, vila milik ketiga kliennya tak bisa dikatakan berdiri di atas kebun teh. "Kebun di situ sudah lama telantar," katanya lagi. Gugatan ketiga pemilik vila ternyata tak membuat Edi Yoso keder. "Saya salut, kalau mereka mau menyelesaikan lewat pengadilan," ujarnya. Tapi Edi Yoso telah mematok tekad, semua vila di situ harus dibongkar. Dasar hukum yang dipakainya untuk penertiban adalah Keppres No. 48/84 tentang penertiban jalur Bogor-Puncak-Cianjur, dan Keppres No. 79/85 tentang Rencana Tata Ruang. Sementara itu, Nyonya Yuri Yanti Wijaya menilai gugatan ketiga pemilik vila itu salah alamat. Alasannya, areal yang kini jadi kawasan pervilaan itu sudah dikuasai penduduk, ketika dia dan mitra Jepangnya, Yamakawa, masuk usaha teh dengan nama Kebun Teh Tjiliwung pada 1968. Tak lama kemudian perkebunan itu dikuasai oleh Sumber Sari Bumi Pakuan (SSBP) dengan Nyonya Yuri dan Soerjo Wirjohadipoetro sebagai pemegang saham utama -- masing-masing 50%. Pada 1984, kabarnya, karena kesulitan dana, keduanya menawarkan 75% saham mreka (seharga US$ 3 juta) kepada PT Puncak Mas, yang juga punya kebun teh. Pembayaran oleh Puncak Mas macet. Pada 1985, keduanya mendekati Edward Soeryadjaya, bos PT Summa Soerya. Transaksi, kabarnya, berlangsung pertengahan 1987. Tapi Yuri masih merasa sebagai pemilik saham terbesar, karena Summa belum membayar harga yang disepakati. Tudingan itu tentu saja ditolak oleh Summa. Maria Christina, juru bicara Summa, bahkan menyebut SSBP sedang dicekik utang. Atas persetujuan Nyonya Yurilah Summa menyuntikkan dana Rp 4 milyar, sehingga struktur pemilikan saham berubah. Summa menguasai 82% saham. Kini Summa, dengan kredit bank Rp 10 milyar, bertekad meremajakan tanaman teh di bekas perkebunan itu, sembari membebaskan tanah yang ditempati vila-vila tersebut ataupun yang digarap penduduk. Targetnya: seluruh tanah perkebunan, seluas 822 hektare, sudah kembali tahun depan. Dengan harga teh yang kini sekitar US$ 1,75 per kilo, dalam perhitungan Summa, tanah perkebunan itu bisa menghasilkan panen senilai Rp 5 milyar sampai Rp 8 milyar per musim. Putut Tri Husodo, Diah Purnomowati, Yudhi Soerjoatmodjo, dan Riza Sofyat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo