Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soal plagiat lagi

Skipsi basri padulungi, 35, berjudul perahu pinisi sebagai salah satu unsur kebudayaan bugis makassar telah diterbitkan oleh direktorat kebudayaan p & k sul-sel dengan judul jenis-jenis perahu bugis makassar. (pdk)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR bulan puasa lalu, di Kantor Pusat Sejarah dan Kebudayaan, Sulawesi Selatan, drs. Basri Padulungi, 35 tahun, tertarik pada buku jenis-jenis Perahu Bugis Makassar yang sedang dijadikan bahan penyusunan skripsi oleh temannya, Mahrum Badaruddin. Berawal dari situlah kemudian terbongkar: buku tersebut ternyata merupakan plagiat dari skripsi Basri yang ditulis enam tahun lalu, Perahu Pinisi Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan sugis Makassar. "Setiap ada yang berbau perahu, saya memang selalu tertarik," kata Basri kepada TEMPO di Ujungpandang. Inilah, 1968, ketika mengajukan judul skripsi, dosennya banyak yang heran. "Mengapa dia mengambil skripsi tentang perahu, padahal dia jurusan sejarah," kata drs. Rauf Rahim, teman seangkatan Basri di IKIP Ujungpandang menirukan para dosennya waktu itu. Untuk mengetahui seluk-beluk perahu pinisi memang tak mudah. Konon, pembuatan perahu pinisi dengan mantera-mantera yang sampai kini hanya orang tua-tua Ara saja yang tahu. Dan memang dirahasiakan. Kalau Basri berhasil mengorek bagaimana sebetulnya pembuatan perahu pinlsi, itu karena ayahnya bekas Kepala Distrik Ara. "Biar tinggal di Ara dua tahun atau lima tahun sekalipun, tak mungkin diberitahu seluk belum perahu pinisi, kalau bukan orang Ara terpandang," kata Basri. Dia pun terikat janji, ketika para tetua Ara menyetujui Basri menulis tentang pembuatan perahu pinisi, untuk tidak mengutip mantera-manteranya. Mantera-mantera itu agaknya memang untuk menjaga kesejahteraan pembuatan perahu. Ada mantera untuk membuat perahu mogok, tak mau meluncur diair, kalau terjadi cekcok antara pembeli dan pembuat. Juga ada mantera yang bisa menenggelamkan perahu yang tengah berlayar. Buku yang merupakan jiplakan skripsi itu tebal 93 halaman, dan "hampir seluruhnya diambil dari skripsi saya," kata Basri. Dan dengan lancar Basri menunjukkan kepersisan isi maupun redaksional buku itu dengan skripsinya. Ara, Tirto Dan Alimuddin Gambar-gambar perahu dalam buku pun ternyata keliru. "Selintas perahu pinisi memang hampir sama dengan perahu Bugis lainnya. Tapi ada ciri-ciri khas: ada ambing, ada teba, ada patti-patti (geladak buritan semu)." Tapi kekeliruan itu mungkin masih bisa dimaklumi: Yang sulit dimengerti adalah beberapa catatan kaki yang ternyata omong kosong belaka. Menurut catatan kaki buku itu, penulis buku tersebut melakukan beberapa wawancara dengan para ketua Ara, antara lain: Appe (130 tahun), Achmad Tirto (54 tahun) dan Alimuddin (60 tahun). Yang janggal, tanggal wawancara dilakukan adalah tahun 1976. "Padahal mereka sudah meninggal semua. Appe tahun 1969 dan Achmad Tirto pada awal 1975. Tentang nama Alimuddin, skripsi saya memang tak ada. Tapi nama itu biasanya tak ada pada orang Ara seusia 60 tahunan," kata Basri. Buku yang diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Kebudayaan Dep P&K Sul-Sel itu disusun oleh Ridwan Borahima, Muhammad Arfah dan Muhammad Salim. Ridwan, dosen luar bias IKIP Ujungpandang, yang juga pegawai Pusat Sejarah dan Kebudayaan, Sul-Sel, alumni IKIP Malang. Dari IKIP Ujungpandang itulah dia meminjam skripsi Basri. Untuk keperluan apa, menurut Rauf Rahim, waktu itu tak disebutkannya. "Saya memang lupa mencantumkan skripsi itu sebagai sumber kutipan," kata Ridwan. "Setelah diingatkan baru saya tahu. Dan buku itu belum beredar. Baru ada satu untuk dikoreksi." Menurutnya, koreksian termasuk antara lain tanggal-tanggal wawancara. Tapi keburu Basri protes. Jadi dari mana Badaruddin mendapatkan buku itu kalau belum beredar? Tahun terbit buku itu 1977, dan Badaruddin membaca buku itu akhir Juli tahun ini. "Pcrsoalannya kini sudah ditangani Kepala Kanwil P&K Sul-Sel," kata drs Nur Rasuli, Kepala Kantor Pusat Sejarah dan Kebudayaan Sul-Sel. Menurutnya, buku tersebut bersama dua buku yang lain--tentang rumah adat dan pakaian tradisional Sul-Sel --diterbitkan untuk pengunjung Museum Ujungpandang. Dicetaknya pun terbatas: ketiga judul tersebut menurut Rusli hanya makan biaya Rp 1 juta lebih sedikit. Sebelumnya Rasuli telah meminta yang bersangkutan untuk menyelesaikannya secara intern. Tim yang dibentuk untuk meneliti kebenaran tuduhan Basri pun telah selesai bekerja. Tapi kepada TEMPO Basri tetap berkeras. "Bagaimana mau didamaikan kalau itu hak pribadi saya dan sudah ditangan polisi?" kata Basri. Rektor IKIP Ujungpandang, drs Karim tak merasa harus ikut campur. "Mau diselesaikan secara damai atau hukum, terserah yang berhak. Skripsi menjadi hak pribadi, perguruan tingginya tak mencampuri," liatanya. Dan Rasuli pun agaknya telah nundur dari usaha mendamaikan: "Kalau tidak mau, ya terserah." Rasuli sudah mengirim surat kepada Ditjen Kebudayaan Dep. P & K di Jakarta, untuk tidak mengedarkan buku Jenis jenis Perahu Bugis Makassar. Dan Ridwan Borahima telah dimutasikan, kembali hanya mengajar di sebuah SMA. Meski begitu toh Basri masih berang: "Nanti kalau pidananya telah selesai, saa teruskan gugatan perdatanya."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus