Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tantangan menjelang tahun 2000

Jurusan teknik nuklir fak teknik ugm, yogyakarta yang dibuka th 1977, kini ditingkatkan menjadi program s.i mulai tahun kuliah 1981/1982. dijamin lulusannya tak akan menganggur.(pdk)

24 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUDAH punya Batan (Badan Tenaga Atom Nasional), Indonesia berusaha mendidik ahlinya. Antara lain tahun lalu dibuka Jurusan Teknik Nuklir (TN) Fak. Teknik UGM, Yogyakarta. Dan pekan ini, hasil tes Proyek Perintis I mencantumkan sekitar 60 calon mahasiswa diterima di jurusan baru itu, satu-satunya di Indonesia. Adakah kita sedang mempersiapkan pembuatan bom atom? Bukan itu soalnya. Sudah sejak Seminar Energi Nasional 1974, Batan menyadari perlunya tenaga trampil ahli nuklir dari bangsa sendiri. Masalahnya ialah adanya indikasi positif tentang endapan uranium di Indonesia. Sudah terbayang pemanfaatan tenaga atom di Indonesia bukan hal yang mustahil. Sesungguhnya jurusan TN di UGM itu telah dibuka 1977, tiga tahun setelah ada perjanjian kerja sama antara Batan dan universitas terbesar di Indonesia itu. Tapi waktu itu UGM masih hanya menerima mahasiswa tingkat sarjana. Sedang kini UGM punya program S-1 untuk jurusan TN itu. Hal yang sangat mendukung jurusan baru itu ialah satu studi tentang kebutuhan akan listrik menjelang tahun 2000 Studi itu dilakukan oleh Batan Perusahaan Listrik Negara, dan konsultan dari Italia. Menurut kesimpulannya, menjelang tahun 2000 Indonesia membutuhkan tambahan listrik sekitar 6600 MW. Itu tak mungkin dicukupi dengan listrik tenaga uap (minyak), air, ataupun panas bumi. Dengan PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) pun dibutuhkan 9 instalasi dengan kapasitas masing-masing sekitar 750 MW. Maka dengan optimistis jurusan TN Fak Teknik UGM ditingkatkan menjadi program S-1, mulai tahun kuliah 1981/ 1982. Waktu itu diterima 60 calon mahasiswa --tapi hanya 55 yang kembali mendaftar. Tentu saja Batan tidak berlepas tangan. Untuk menunjang pendidikan ini dibutuhkan reaktor atom. Hanya Batan yang diizinkan membikinnya. Maka reaktor atom Batan di Yogya yang berkekuatan 0,1 MW pun menjadi tempat praktek mahsiswa UGM. Batan pun meminjamkan 15 tenaga dosen, dan memberikan bea siswa bagi beberapa mahasiswa. Bahkan sebelum dibuka program S-1 untuk jurusan TN, pihak UGM telah berkampanye ke berbagai SMA di Semarang, Solo, dan Yogya sendiri. Diedarkanlah brosur-brosur tentang perlunya tenaga nuklir buat masa depan Indonesia. Diadakan juga ceramah-ceramah. Hasilnya? Meski daya tampung jurusan ini baru untuk 60 mahasiswa, tahun lalu lebih dari 3 ribu calon menyatakan berminat. "Kurikulum jurusan TN di UGM ini berstandar internasional," kata Drs. Herman Cornelis Yohannes, 42 tahun, ketuanya. Pada semester ke-7 mahasiswa mulai dipilah dalam dua bidang keahlian bidang tenaga reaktor, dan tenaga nuklir. Bidang pertama menjamin lulusannya menguasai asas perancangan, konstruksi operasi, dan perawatan PLTN. Bidang kedua menjamin lulusannya memahami sifat sumber daya nuklir dan dapat merancang pengolahannya. Juga mereka akan mampu menerapkan radiasi nuklir dan isotop radioaktif pada sektor industri, misalnya untuk pengawetan bahan makanan, sterilisasi alat-alat kedokteran. DARI prograln lama telah lulus 26 insinyur nuklir. Sebagian besar ditampung Batan, tiga orang menjadi dosen di UGM, tiga orang bekerja di Pusat Penelitian Teknologi Nuklir, Bandung. Dan seorang diterima di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Pasar Jumat, Jakarta. Juga ada yang ditampung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, lembaga di bawah Menteri Ristek. "Pokoknya, lulusan ini tidak akan menganggur," ujar Yohannes. Waktu program lama, mahasiswanya adalah sarjana muda yang datang dari Teknik Kimia, Teknik Mesin, Teknik Listrik, Fisika, dan Kimia Murni. Adalah mereka yang datang dari jurusan Fisika, kata Yohannes, agak mengalami kesulitan "Misalnya, thermodinamika yang diperoleh di Fisika memang lain dengan yang digunakan di jurusan nuklir ini, yang lebih menekankan pada aplikasi thermodinamika, bukan teori." Selama ini hanya dua yang putus kuliah, tapi bukan karena mereka tak bisa mengikuti perkuliahan. "Dua orang itu mendapat pekerjaan, kalau tak salah," kata Yohannes.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus