Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESUDAH punya Batan (Badan Tenaga Atom Nasional), Indonesia
berusaha mendidik ahlinya. Antara lain tahun lalu dibuka Jurusan
Teknik Nuklir (TN) Fak. Teknik UGM, Yogyakarta. Dan pekan ini,
hasil tes Proyek Perintis I mencantumkan sekitar 60 calon
mahasiswa diterima di jurusan baru itu, satu-satunya di
Indonesia.
Adakah kita sedang mempersiapkan pembuatan bom atom? Bukan itu
soalnya. Sudah sejak Seminar Energi Nasional 1974, Batan
menyadari perlunya tenaga trampil ahli nuklir dari bangsa
sendiri. Masalahnya ialah adanya indikasi positif tentang
endapan uranium di Indonesia. Sudah terbayang pemanfaatan tenaga
atom di Indonesia bukan hal yang mustahil.
Sesungguhnya jurusan TN di UGM itu telah dibuka 1977, tiga tahun
setelah ada perjanjian kerja sama antara Batan dan universitas
terbesar di Indonesia itu. Tapi waktu itu UGM masih hanya
menerima mahasiswa tingkat sarjana. Sedang kini UGM punya
program S-1 untuk jurusan TN itu.
Hal yang sangat mendukung jurusan baru itu ialah satu studi
tentang kebutuhan akan listrik menjelang tahun 2000 Studi itu
dilakukan oleh Batan Perusahaan Listrik Negara, dan konsultan
dari Italia. Menurut kesimpulannya, menjelang tahun 2000
Indonesia membutuhkan tambahan listrik sekitar 6600 MW. Itu tak
mungkin dicukupi dengan listrik tenaga uap (minyak), air,
ataupun panas bumi. Dengan PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir)
pun dibutuhkan 9 instalasi dengan kapasitas masing-masing
sekitar 750 MW.
Maka dengan optimistis jurusan TN Fak Teknik UGM ditingkatkan
menjadi program S-1, mulai tahun kuliah 1981/ 1982. Waktu itu
diterima 60 calon mahasiswa --tapi hanya 55 yang kembali
mendaftar.
Tentu saja Batan tidak berlepas tangan. Untuk menunjang
pendidikan ini dibutuhkan reaktor atom. Hanya Batan yang
diizinkan membikinnya. Maka reaktor atom Batan di Yogya yang
berkekuatan 0,1 MW pun menjadi tempat praktek mahsiswa UGM.
Batan pun meminjamkan 15 tenaga dosen, dan memberikan bea siswa
bagi beberapa mahasiswa.
Bahkan sebelum dibuka program S-1 untuk jurusan TN, pihak UGM
telah berkampanye ke berbagai SMA di Semarang, Solo, dan Yogya
sendiri. Diedarkanlah brosur-brosur tentang perlunya tenaga
nuklir buat masa depan Indonesia. Diadakan juga ceramah-ceramah.
Hasilnya? Meski daya tampung jurusan ini baru untuk 60
mahasiswa, tahun lalu lebih dari 3 ribu calon menyatakan
berminat.
"Kurikulum jurusan TN di UGM ini berstandar internasional," kata
Drs. Herman Cornelis Yohannes, 42 tahun, ketuanya. Pada semester
ke-7 mahasiswa mulai dipilah dalam dua bidang keahlian bidang
tenaga reaktor, dan tenaga nuklir.
Bidang pertama menjamin lulusannya menguasai asas perancangan,
konstruksi operasi, dan perawatan PLTN. Bidang kedua menjamin
lulusannya memahami sifat sumber daya nuklir dan dapat merancang
pengolahannya. Juga mereka akan mampu menerapkan radiasi nuklir
dan isotop radioaktif pada sektor industri, misalnya untuk
pengawetan bahan makanan, sterilisasi alat-alat kedokteran.
DARI prograln lama telah lulus 26 insinyur nuklir. Sebagian
besar ditampung Batan, tiga orang menjadi dosen di UGM, tiga
orang bekerja di Pusat Penelitian Teknologi Nuklir, Bandung. Dan
seorang diterima di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, Pasar
Jumat, Jakarta. Juga ada yang ditampung Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi, lembaga di bawah Menteri Ristek. "Pokoknya,
lulusan ini tidak akan menganggur," ujar Yohannes.
Waktu program lama, mahasiswanya adalah sarjana muda yang datang
dari Teknik Kimia, Teknik Mesin, Teknik Listrik, Fisika, dan
Kimia Murni. Adalah mereka yang datang dari jurusan Fisika, kata
Yohannes, agak mengalami kesulitan "Misalnya, thermodinamika
yang diperoleh di Fisika memang lain dengan yang digunakan di
jurusan nuklir ini, yang lebih menekankan pada aplikasi
thermodinamika, bukan teori."
Selama ini hanya dua yang putus kuliah, tapi bukan karena mereka
tak bisa mengikuti perkuliahan. "Dua orang itu mendapat
pekerjaan, kalau tak salah," kata Yohannes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo