TERJEMAH Quran H.B. Jassin sudah selesai dikoreksi para ulama.
Sudah di percetakan. Malah direncanakan sehabis Idulfitri ini
sudah masuk pasar. Penerbitnya berbeda untuk cetakan pertama
dulu, Djambatan. Dan kini Yayasan 23 Januari 1942.
Bukan karena Djambatan mundur akibat reaksi yang keras kepada
karya Jassin itu. Melainkan karena, menurut Jassin, ia ingin
terjemahan itu terbit persis di hari ulang tahunnya yang ke-65,
demikianlah memang, sedang Djambatan tak menyanggupinya.
Sebaliknya Yayasan 1942 didirikan oleh tokoh-tokoh dari
Gorontalo di Jakarta seperti B.J. Habibie, J.A. Katili, Th. M.
Gobel, Ir. Ciputra, Mukhtar Peju dan H.B. Jassin sendiri. "Kami
tertarik pada semangat Jassin dalam menghadapi kritik. Bukan
mundur, malah tambah maju," kata Katilis Panirogo, sekretaris
yayasan.
Kritik memang santer sekali. Tidak begitu lama sesudah cetakan
pertama Al Quranul Karim Bacaan Mulia disebarkan di tahun 1978
(10.000 eks, dan kini masih 1.000), berbagai nama serentak
muncul di berbagai media massa sebagai penyerang, terpenting
misalnya Qasim Mansur. Bermacam surat datang ke Menteri Agama
atau Majelis Ulama Indonesia, minta terjemah tersebut dicabut
dari peredaran. Di Surabaya, secara spontan sebuah 'panitia
peneliti' lahir sendiri -- terdiri dari semcntara ulama Jawa
Timur.
Bahkan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) mengajukan
koreksian. DDII juga mengeluarkan pernyataan bersama dengan
Ikatan Masjid Indonesia Jakarta Raya. Terbit pula tiga buku:
Koreksi Terjemahan Al Quranul Karim Bacaan Mulia H.B. Jassin
oleh Nazwar Syamsu, Padang Panjang, Polemik tentang Al Quranul
Karim Bacaan Mulia oleh H. Oemar Bakry dan Sorotan atas
Terjemahan Quran H.B. Jassin oleh KH Siradjuddin Abbas.
Keberatan terbesar mereka yang menentang: Jassin, doktor Sastra
Indonesia itu, kebetulan bukan ulama. Bahkan disangsikan
kemampuan bahasa Arabnya, meski mungkin sekali punya penguasaan
pasif. Bagaimana pula ia bisa dipercaya dalam berbagai 'ilmu
alat' yang biasa dipakai ulama buat memahami persis kandungan
Quran?
Dari kenyataan itu orang jadi sangat mudah melihat (atau
mencari) kesalahannya. Bahkan perbedaan istilah dan ungkapan
seperti yang juga terdapat di antara berbagai terjemah Quran
sendiri di Indonesia, di sini lantas dipersoalkan. Termasuk
'keberanian' Jassin memakai nama Bacaan Mulia untuk Al Quranul
Karim, yang dianggap "merendahkan". DDII misalnya keberatan pada
nama itu. "Seharusnya 'kan Quran Wahyu Ilahi," kata seorang
tokohnya, seperti dituturkan H. Oemar Bakry dalam bukunya. Arti
Quran memang Bacaan, meskipun istilah aslinya telah membentuk
pengertian tersendiri, itulah soalnya.
Tetapi buku Nazwar Syamsu telah bertindak lebih jauh. Terbitan
Pustaka Saadiah Padang Panjang itu misalnya, menuding bagaimana
Jassin mengganti kata muslim dengan 'orang yang menyerahkan diri
(kepada Tuhan)', dalam satu ayat tentang Ibrahim, sebagai:
"Jassin sengaja tidak menyebutkan Islam sebagai agama Ibrahim .
. . "
Lagi, Nazwar curiga kepada Jassin yang menerjemahkan tafshilal
kitab dengan "menjelaskan Al-Kitab". Menurut dia, seharusnya
'Kitab Penjelasan' -- meskipun yang lebih tepat tentunya
'penjelasan Kitab'. Dengan cara Jassin itu, Quran adalah buku
yang menjelaskan kitab suci Kristen yang kini disebut Alkitab
itu . . menurut Nazwar.
Jassin sendiri, yang ada menanggapi sebagian serangan di surat
kabar, tidak mempedulikan tuduhan jenis terakhir itu -- yang
bisa dipahami hanya sebagai tanda besarnya kecurigaan sebagian
kalangan muslimin, dan mudahnya mereka bangkit untuk "membela
Islam". Katanya hanya, kepada TEMPO, "Terjemahan itu bisa tepat
dan bisa kurang tepat. Bisa juga tepat, tapi karena pertimbangan
penafsirnya berbeda dari pertimbangan penafsir lain, jadi
dianggap tidak tepat."
DAN Jassin mendapat dukungan dari Ustadz Mukhtar Luthfi
al-Anshari, ketua panitia Majelis Ulama DKI yang mengoreksi
terjemahannya. Katanya: "Kebanyakan ulama sebenarnya hanya
berpegang pada sebagian saja dari kitab-kitab tafsir andalan
sebagai perbandingan." Dan di Indonesia, "biasanya yang dipegang
terutama tafsir Ibnu Katsir." Lalu kalau ada terjemah yang tidak
sejalan dengan aliran standar yang telah mereka pilih itu,
mereka terkejut.
Karena itu dalam kerjanya, panitia yang diberi nama Tim
Perbaikan Terjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia itu (judul
pilihan Jassin itu tetap dipakai) menggunakan berbagai kitab
tafsir andalan, di samping kitab-kitab paramasastra Arab, tanpa
memberi keistimewaan kepada sebagiannya. Dalam pengantar untuk
cetakan kedua ini bahkan Mukhtar menunjukkan berbagai
'kesalahan' kitab-kitab tafsir Indonesia -- sambil menyatakan
perlunya ditambahkan satu 'ilmu alat': Qara-inul Mufassirah,
ilmu tentang 'Petunjuk-petunjuk yang Bisa Menafsirkan'.
Khusus tentang terjemah Jassin sendiri, Mukhtar menyebut hanya
ada sekitar 30 'kesalahan khusus', meskipun tidak ada yang
menyangkut ayat atau materi hukum. Lainnya adalah 'kesalahan
umum', yang juga diperbuat tafsir-tafsir lain akibat berat
sebelahnya timbangan kepada referensi tadi. Tetapi terhadap
berbagai kritik yang dilontarkan kepada Jassin, Mukhtar bahkan
membela yang dikritik. Misalnya kritik Oemar Bakry, penulis
agama dan pemilik Penerbit Mutiara itu. Setelah dicocokkan,
ternyata Jassin yang benar, kesimpulan Mukhtar. Tetapi yang
memalukan adalah serangan Nazwar Syamsu. "Jelas sekali
kedangkalan bahasa Arabnya," katanya.
Panitia koreksi itu sendiri memang dibentuk akibat kerasnya
protes. Walaupun Buya Hamka sudah memberi kata pengantar dalam
cetakan pertama tersebut juga Menteri Agama waktu itu -- plus
sambutan simpatik misalnya dari Prof. Aboebakar Atjeh, almarhum,
pengarang buku monumental Sejarah Masjid dan orang tasauf --
Departemen Agama bersama MUI merasa perlu mengambil langkah.
Jassin diundang dalam satu sidang para ulama. Dan di sanalah,
"baru Majelis Ulama melihat keikhlasan H.B. Jassin dan niat
baiknya," tutur Mukhtar. Tapi tentu lebih afdol, kalau kitab itu
diteliti. Dan Jassin setuu, tentu saja.
MUI lantas menyerahkannya kepad MU DKI Jakarta. Panitia
diketuai oleh Mukhtar sendiri, dengan anggota KH Iskandar Idries
dan KH Rahmatullah Shiddiq, ditambah tenaga muda Johan Effendi
dari Departemen Agama, sebagai sekretaris. Kiai Rahmatullah
sndiri hanya sempat beberapa bulan bekerja, kemudian berpulang
ke rahmatullah "Tetapi sudah sempat meletakkan patokan-patokan
perbaikan terjemah, bahkan beberapa juz permulaan sudah beliau
koreksi."
KH Iskandar Idries, dari kalangan Muhammadiyah punya reputasi
dulu sebagai penulis Tafsir Hibana, dan dekat dengan
sumber-sumber modern -- sementara almarhum, dari kalangan
pesantren, sangat menguasai sumber-sumber klasik. Mukhtar
sendiri adalah ulama yang dikenal paling kaya dalam hal bahasa
dan sastra (plus musik) Arab, dan berasal dari lingkungan
Al-Irsyad.
Pekerjaan itu makan waktu tiga tahun. Mula-mula, panitia
bersidang satu tahun penuh selama 1979, dua kali seminggu,
hingga selesai 30 juz. Penelitian diulangi lagi tahun 1980, dua
kali sebulan hingga selesai. "Tapi pada penelitian pertama dan
kedua itu," tutur Mukhtar, "saya sebenarnya tidak begitu aktif.
Karena saya menganggap yang ada hanya kesalahpahaman bahasa."
Maklum Jassin sastrawan, sedang para ulama bukan.
"Tapi setelah saya lihat penelitian yang kedua, maka saya suruh
setop dulu jangan dicetak," Penelitian ketiga lantas
berlangsung. Kali ini dilakukan oleh Mukhtar, H.B. Jassin dan
Johan Effendi -- bertempat di rumah Jassin, tiap bulan sekali
Hingga selesai semua, Maret 1982. Dan kini naskah tersebut, yang
sudah di mesin cetak, siap untuk terbit dengan sambutan Menteri
Agama.
Menurut Mukhtar sendiri, terjemah Jassin sebenarnya lebih baik
dari berbagai terjemah yang sudah ada, termasuk dari Departemen
Agama. KH Syukri Ghozali, Ketua MUI, dalam konsep sambutannya
untuk penerbitan ini juga menyatakan karya tersebut "mudah untuk
dipahami, karena tidak terlalu letterlijk/harfiyyah." Bahwa
Jassin diberkati untuk bisa menyelesaikan terjemah Quran lengkap
yang pertama di Indonesia, dalam wujud puitis, tentu merupakan
prestasi.
Toh Kiai Syukri tetap membuka kesempatan: jika di dalamnya masih
terdapat hal yang meragukan, "agar dicari perimbangannya dengan
beberapa tafsir/terjemah yang lain."
Memang. Anjuran itu lebih afdol lagi bila dipahami sebagai
dikenakan kepada semua terjemah Quran di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini