TEMPO.CO, Jakarta - Bekas Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara Muhammad Said Didu menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi berbohong soal janjinya saat kampanye 2014 lalu. Ia menyoroti janji Jokowi untuk tidak mengambil utang luar negeri dan tidak akan impor bila terpilih menjadi presiden.
Baca: RUPS Luar Biasa PT Bukit Asam Putuskan Copot Said Didu
"Janji yang tidak terealisasi adalah pelaksanaan program yang tidak mencapai target, tetapi janji yang tidak dilaksanakan atau malah melaksanakan yang sebaliknya adalah bohong. Bilang tidak akan impor dan utang, ternyata malah impor dan utang," kata Said Didu di Sekretariat Nasional Prabowo - Sandiaga, Jakarta, Selasa, 22 Januari 2019.
Said Didu mengatakan janji kampanye tidak menjadi kebohongan apabila tetap dilaksanakan. Kalau sama sekali tidak dilaksanakan, kata dia, maka janji itu adalah kebohongan. Untuk itu, ia meminta masyarakat mengecek mana janji kampanye Jokowi yang dilaksanakan dan mana yang tidak dilaksanakan. Serta memeriksa mana janji kampanye yang dilaksanakan tapi berbeda arahnya.
"Yang saya ingat, (Pak Jokowi) menyatakan tidak akan impor, saat itu semua fansnya tepuk tangan, lalu pas menyatakan impor tetap dinyatakan hebat. Saat bilang tidak akan berutang juga semua tepuk tangan, hebat, tapi waktu tambah utang mereka tepuk tangan juga," ujar Said Didu. Ia menyebut sikap tersebut tidak masuk akal karena bertepuk tangan kepada dua langkah yang saling berkebalikan dari janji tersebut.
Persoalan impor pernah diangkat juga oleh Ekonom Faisal Basri beberapa waktu lalu. Ia mengaku kaget dengan data teranyar bahwa Indonesia telah menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia. Pasalnya, selama ini, ia biasa melihat Indonesia bertengger di posisi ke-3 atau ke-4.
Berdasarkan data statistik, Indonesia menjadi juara impor gula pada periode 2017-2018 dengan besar impor 4,45 juta metrik ton. Angka itu diikuti oleh Cina di posisi kedua dengan 4,2 juta metrik ton dan Amerika Serikat dengan 3,11 juta metrik ton.
Faisal lantas mengutip tren lonjakan impor gula melalui data dari Badan Pusat Statistik. Data tersebut menunjukkan bahwa impor gula ke Indonesia mulai melonjak sejak 2009 setelah sebelumnya berhasil merosot. Kala itu, Indonesia mengimpor 1,4 juta ton gula ke dalam negeri.
Angka impor itu naik perlahan sebelum akhirnya meroket pada 2016. Pada periode tersebut Indonesia mengimpor 4,8 juta ton gula atau naik 1,4 juta ton ketimbang tahun sebelumnya.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan impor nonmigas meningkat sepanjang 2018 karena banyaknya masuk barang modal dan bahan baku yang diperlukan untuk pembangunan. "Kalau melihat pertumbuhan impor, tentu meningkatnya impor nonmigas lebih banyak karena barang modal dan bahan baku," kata Mendag di KBRI Washington DC, Amerika Serikat, Selasa waktu setempat atau Rabu pagi WIB, 16 Januari 2019.
Menurut Enggartiasto, dengan banyaknya barang modal dan baku tersebut masuk ke Indonesia juga mengindikasikan bahwa berarti pembangunan dan investasi berjalan. Hal tersebut, lanjutnya, berbeda kondisinya bila misalkan peningkatan impor adalah diakibatkan karena konsumsi yang tinggi.
Untuk jangka menengah, Enggartiasto menginginkan agar Indonesia mendapatkan akses pasar yang besar dan memperluas ke pasar nontradisional sebagai upaya guna meningkatkan ekspor. Ia juga mengingatkan bahwa pertumbuhan perekonomian dunia mengalami perlambatan pada periode 2016-2018, dan sejumlah lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF telah memberikan proyeksi pertumbuhan pada tahun 2019 yang dapat dinilai sebagai proyeksi yang suram.
Baca: Menteri Rini Jelaskan Sebab Said Didu Dicopot dari Komisaris PTBA
Belakangan, isu perekonomian, antara lain soal utang dan impor di masa pemerintahan Jokowi memang kerap menjadi persoalan yang diangkat oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Mereka berjanji mengurangi utang dan impor bila terpilih dalam Pemilihan Presiden 2019. Salah satu program yang mereka janjikan adalah pembangunan infrastruktur tanpa utang.
ANTARA