TEMPO.CO, Jakarta - Pengusul Rancangan Undang-undang atau RUU Ketahanan Keluarga Ali Taher mengatakan perceraian menjadi alasan RUU ini dibuat. Tingkat perceraian saat ini, kata dia, pada rata-rata kabupaten tidak kurang dari 150-300 per bulan.
Ia menganggap tanggapan pro dan kontra terhadap usulnya adalah hal yang wajar. “Fakta sosial kita menunjukkan betapa rapuhnya kondisi objektif sekarang ini dalam dunia perkawinan," ujar Ali di Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu, 19 Februari 2020.
Ali mengatakan perceraian itu menimbulkan persoalan hak asuh anak, mengancam masa depan anak dan masa depan keluarga. Sehingga, hal ini perlu perhatian dari Pemerintah.
Anggota DPR Fraksi PAN itu menjelaskan, alasan utama seorang pasangan bercerai adalah karena faktor ekonomi. Ali mengatakan kini banyak pengangguran dan PHK yang berakibat secara akumulatif terhadap faktor ekonomi keluarga, sehingga beban hidup menjadi tinggi. "Pilihan lain yaitu memang harus pisah. Kenapa pisah? Karena enggak mampu memenuhi biaya hidup itu. Termasuk juga persoalan perselingkuhan, kawin lagi, itu persoalan kesekian," katanya.
Ali menegaskan, hal-hal tersebut menunjukkan tren rapuhnya keluarga. Banyak pengasuhan dini dan cerai dini itu menunjukkan keluarga yang rapuh. “UU itu menjadi sangat penting bagi kita untuk dilanjutkan agar persoalan ketahanan keluarga bisa menjadi alternatif pemecahan masalah sosial yang dihadapi oleh keluarga."
Selain Ali, pengusul lain RUU Ketahanan Keluarga itu adalah Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera, Sodik Mudjahid dari Gerindra, dan Endang Maria Astuti dari Golkar. RUU ini menuai kontroversi lantaran sejumlah pasalnya dianggap mengatur ranah privat, seperti pidana donor sperma dan ovum, rehabilitasi LGBT dan aturan terhadap perilaku seks menyimpang seperti masokisme.