TEMPO Interaktif, Jakarta - Kementerian Kehutanan meyakinkan bahwa konflik yang terjadi antara masyarakat di Kabupaten Mesuji, Lampung, dan perusahaan PT Silva Inhutani terjadi akibat masyarakat pendatang melakukan perambahan di lahan milik perusahaan.
PT Silva Inhutani sendiri mendapatkan izin konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) sejak 2007 seluas 43.100 hektare. Namun sejak 2001 masyarakat yang kebanyakan pendatang dari daerah lain mulai melakukan perambahan di kawasan milik perusahaan tersebut.
Direktur Penyidikan dan Pengamanan Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Raffles B. Panjaitan mengatakan masyarakat perambah tersebut mulai menanami lahan milik perusahaan dengan tanaman palawija dan kelapa sawit. Perambahan ini membuat perusahaan terpaksa meminta bantuan Kementerian Kehutanan, termasuk pihak kepolisian, untuk menghalau kegiatan perambahan tersebut.
“Konflik terjadi antara perusahaan dan masyarakat di Desa Talang Gunung, Kabupaten Mesuji, Lampung, yang berpenduduk 1.300 jiwa atau setara dengan 400 kepala keluarga. Desa ini berbatasan dengan Ogan Komering Ilir yang hanya dibatasi oleh sungai,” kata Rafflesa, Jumat 16 Desember 2011.
Kegiatan perambahan terjadi hingga bertahun-tahun kemudian, hingga akhirnya pada 2010 masyarakat yang sudah melakukan perambahan meminta Kementerian Kehutanan melepaskan kawasan konsesi perusahaan menjadi milik masyarakat. “Masyarakat minta 2.500 hektare kawasan HTI di Register 45–Sungai Buaya, Lampung dilepaskan untuk masyarakat. Mereka minta lahan itu disertifikasi,” ujarnya. Awalnya, masyarakat meminta pelepasan lahan mencapai 7.000 hektare.
Namun Kementerian Kehutanan berkukuh tidak mau melepaskan kawasan kehutanan tersebut. Sebab pihaknya khawatir dengan pemberian sertifikat lahan di kawasan kehutanan itu, lahan tersebut bisa diperjualbelikan, bahkan kawasan hutan itu bisa dialihfungsikan bahkan habis digunduli.
“Kalau kami lepas juga nantinya bisa jadi preseden buruk bagi pemerintah. Nanti masyarakat di daerah lain minta pelepasan kawasan hutan juga,” ujar dia.
Kementerian, ia melanjutkan, akhirnya menawarkan "enclave" kepada masyarakat tersebut seluas 149,1 hektare yang bisa dipergunakan untuk perumahan, tempat ibadah, ataupun pembangunan infrastruktur. Masyarakat pun menolak karena tetap menginginkan lahan seluas 2.500 hektare diserahkan kepada masyarakat setempat dan disertifikasi.
“Karena di lahan tersebut sudah ada perkebunan sawit yang siap panen. Malah ada 1 orang yang memiliki kebun sawit seluas 400 hektare di lahan milik PT Silva Inhutani,” ujar dia.
PT Silva Inhutani melakukan pembangunan HTI berupa akasia dan karet. Tercatat, selama 6 tahun terakhir sejak 2005-2010 perusahaan sudah merealisasikan pembangunan HTI akasia 19.860,57 hektare dari rencana penanaman 32.130,66 hektare. Sedangkan untuk realisasi HTI karet seluas 11.627,02 hektare dari rencana penanaman 7.375,40 hektare.
“Sisanya, perusahaan kesulitan menanam karena lahannya sudah banyak dirambah. Lahan perusahaan sudah berubah jadi perumahan, banyak bangunan permanen, ada tanaman karet dan sawit juga yang siap panen,” ucapnya.
Kementerian tak hilang akal. Masyarakat kemudian ditawari 2.500 hektare lahan yang diminta menjadi Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang statusnya masih kawasan hutan, sehingga tidak bisa menjadi hak milik. “Tapi lagi-lagi tawaran ini ditolak mereka. Padahal HTR ini program pemerintah dan kalau mereka mau akan dapat dana juga untuk pengelolaannya,” katanya.
Akhirnya perusahaan meminta bantuan kepolisian untuk menjaga lahan dan mengusir perambah. Upaya pengusiran melalui mediasi telah dilakukan sejak 2 tahun lalu tapi berakhir tanpa hasil.
ROSALINA