TEMPO Interaktif, Jakarta - Pamswakarsa yang terlibat kekerasan di wilayah Mesuji dan Sodong, Sumatera Selatan dan Lampung, dibiayai perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat. “Mereka dilatih oleh aparat keamanan,” kata Abdul Majid, salah seorang warga Mesuji, di kantor Kontras, Jumat, 16 Desember 2011.
Abdul Majid alias Trubus adalah warga Mesuji yang sempat menjadi Pamswakarsa. Dia bahkan sempat berhadap-hadapan dengan warga sebelum akhirnya sadar. Awalnya dia direkrut oleh salah satu penduduk setempat bekerja untuk menjaga lahan perusahaan. “Ada duit, uang rokok, dan diberi makan,” kata Majid. Namun dia tidak bersedia memerinci berapa upah yang diterima saat menjadi Pamswakarsa.
Pamswakarsa ini awalnya ditugasi untuk mengawasi lahan. Menurut Majid, mereka tidak dibekali senjata tajam. Tapi, Majid menyatakan, perusahaan menyarankan mereka membawa senjata. Abdul Majid menuturkan, Pamswakarsa ini dibekingi dan dilatih oleh aparat keamanan dari Brimob. “Kalau tidak dibekingi, mana berani kami yang 200 orang melawan ribuan orang,” kata dia.
Majid membantah jika kekerasan di wilayah Mesuji dikatakan rekayasa. Dia menyatakan adegan dalam rekaman yang beredar di masyarakat merupakan fakta lapangan. “Kalau ada yang bilang itu dibikin-bikin, saya siap tunjukkan lokasinya,” kata Trubus. Dia mengakui, kekerasan di Mesuji tidak hanya terjadi di satu desa, tapi di enam hingga tujuh desa. “Kekerasan ini meningkat sejak 2010.”
Berdasarkan data yang dirilis Kontras, pada bentrokan April 2011, dua warga dan lima 5 pekerja perkebunan atau Pamswakarsa ditemukan tewas. Selain itu ratusan orang mengalami luka-luka dan ribuan warga masih mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Sebelumnya, lima warga Mesuji mengadu ke Komisi Hukum DPR, Rabu lalu. Bob Hasan, pengacara warga, menyatakan sejak 2009 hingga 2011 sudah ada 30 orang korban meninggal dunia dari pihak warga. Mereka juga menyerahkan rekaman video yang berisi adegan kekerasan dan pembunuhan yang diduga dilakukan di Mesuji.
I WAYAN AGUS PURNOMO