TEMPO.CO, Yangoon - Kekerasan sektarian yang menimpa warga minoritas Rohingya di Myanmar telah sejak lama dikhawatirkan oleh seorang staf kolonial Inggris.
John Furnivall, pada 1940-an telah meramalkan bahwa konsep kemajemukan yang dibawa oleh bangsa Eropa di Asia akan menjadi malapetaka di kemudian hari.
Kerajaan Inggris dan Belanda yang berkuasa di Asia datang dengan konsep kemajemukan terutama di Myanmar-atau Burma, seperti saat Furnivall tinggal dan bekerja di sana.
Furnivall adalah administrator pada 1902 dan menikahi orang Burma setempat. Meskipun dia meninggalkan koloni tersebut pada 1931, dia kembali pada 1948 untuk memberi saran kepada pemerintah pasca-kemerdekaan pertama.
Baca: Bisnis Migas di Myanmar Jadi Salah Satu Pemicu Konflik Rohingya?
Deskripsi asli Furnivall tentang masyarakat majemuk sangat berbeda dengan cara "pluralisme" telah dipahami di Barat.
Alih-alih merujuk dengan menyetujui perbedaan etnis yang memilih secara bebas untuk hidup bersama, Furnivall menciptakan istilah tersebut untuk mengkritik pengenaan ras imigran pada masyarakat adat atas nama perdagangan bebas.
Hal ini terjadi paling jelas pada abad ke-19 di pelabuhan-pelabuhan kekaisaran Inggris dan Belanda, di kota-kota pesisir seperti Akyab (sekarang Sittwe) dan Rangoon (Yangon) di Burma, di Penang dan Singapura di Straits Settlements, dan di Batavia ( sekarang Jakarta) di pulau jawa, ibu kota Hindia Belanda.
Akhirnya, pemerintahan kolonial yang lebih formal diperluas dengan melakukan penaklukan terhadap orang asli atau warga lokal di tempat-tempat ini.
Sebagian besar, imigran, yang seringkali miskin, yang masuk ke wilayah-wilayah ini oleh bangsa Eropa adalah orang Tionghoa. Tapi terdapat jutaan warga Asia Selatan, kebanyakan dari mereka Muslim, bermigrasi juga, terutama ke Burma, yang kemudian dikelola oleh Inggris.
Para imigran sering dijadikan sebagai tenaga kerja buruh di tambang tembaga dan perkebunan karet. Tapi mereka juga berkontribusi pada semangat kewirausahaan dan hubungan perdagangan yang membantu menciptakan kekayaan dan vitalitas para pengusaha kolonial seperti di Rangoon dan Singapura.
Rangoon adalah kota yang dihuni mayoritas etnis India yang dibawa oleh Inggris pada 1920-an. Penyair Cile, Pablo Neruda, yang berada di konsul Inggris di sana saat itu, menggambarkan Rangoon sebagai "kota darah, mimpi dan emas".
Baca: Rohingya Angkat Senjata, Ribuan Warga Lari dan Dievakuasi
Tapi seperti yang Furnivall lihat, kekayaan itu sebagian besar terjadi dengan mengorbankan orang asli Burma, orang-orang Melayu di Malaysia, orang Jawa di Jawa dan sebagainya. Memang, banyak kelompok seperti itu merasa diliputi oleh orang asing yang berada di bawah perlindungan kolonial.
Menurut Furnivall perlindungan terhadap kaum imigran akan hilang ketika kolonial sudah tidak ada lagi di tempat-tempat tersebut. Sehingga akan memicu peristiwa berdarah di kemudian hari.
"Seluruh masyarakat kambuh menjadi anarki begitu kekuatan kolonial telah berlalu," kata Furnivall pada saat itu, seperti yang dilansir The Economist.
Dan, apa yang diramalkannya tersebut terjadi pada saat ini, terutama di Myanmar, dimana etnis Rohingya yang dibawa oleh Inggris pada sekitar abad ke 18, menjadi sasaran kekerasan oleh militer negara.
Masyarakat pasca-kolonial telah berurusan dengan kekhawatiran ini sejak saat itu. Kerusuhan ras di Malaysia dan Singapura pada 1969 mengadu bangsa Melayu dengan orang Cina. Beruntung hal itu segera diatasi.
Sebaliknya, pemerintah militer pasca-kolonial di Myanmar mencoba strategi yang berbeda. Alih-alih merancang cara untuk mengatasi masyarakat majemuk, mereka mencoba membongkarnya.
Junta yang merebut kekuasaan di Burma pada 1962 mengusir ratusan ribu orang India, Cina dan non-Burma lainnya dalam upaya menghancurkan masyarakat majemuk dan menciptakan Burma yang benar-benar homogen.
Di Myanmar barat, warga Rakhine (Budha) sedang menyelesaikan pembersihan etnis yang dimulai pada 1960. Mereka membersihkan apa yang tersisa dari masyarakat majemuk, terutama dari Muslim Bangladesh atau Rohingya.
Kekerasan itu berlangsung hingga kini, bahkan setelah pemerintahan demokratis di bawah kekuasaan Aung San Suu Kyi. Banyak orang asing mengkritik pemenang hadiah Nobel perdamaian karena tidak membela kaum Rohingya di Rakhine. Dia tahu bahwa jika dia berbicara, dia akan kehilangan banyak simpati di kalangan Burma dan meruntuhkan harapannya untuk tetap berkuasa.
THE ECONOMIST | YON DEMA