TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan, Sarifuddin Sudding, mengatakan surat yang diteken Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengenai permintaan penundaan pemeriksaan KPK terhadap Setya Novanto berpotensi sebagai penyalahgunaan wewenang. Sebab, surat tersebut membawa nama kelembagaan, tapi tidak diputuskan lewat lembaga.
"Saya kira, memang ketika yang bersangkutan mengirim surat secara institusi, ya, harus diambil keputusan secara kelembagaan. Apalagi ketika menggunakan atas nama DPR itu diputuskan, apakah itu lewat paripurna atau Bamus (Badan Musyawarah)," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 14 September 2017.
Baca: Gerindra Sebut Surat untuk Setya Novanto Bukan Intervensi Hukum
Sebelumnya, Fadli dilaporkan Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia ke Mahkamah Kehormatan Dewan lantaran suratnya kepada KPK dianggap melanggar etika dan prosedur. Namun Fadli berdalih surat tersebut merupakan penyampaian aspirasi dari Setya selaku masyarakat biasa kepada KPK.
Senada dengan Fadli, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga mengatakan surat tersebut hanya berisi aspirasi. Menurut dia, langkah itu tidak melanggar etik. "Enggak, itu kan cuma meneruskan surat," ujarnya.
Baca: Alasan Fadli Zon Meneken Warkat DPR Soal Setya Novanto ke KPK
Berkaitan dengan hal tersebut, Sarifuddin berpendapat, jika memang surat itu merupakan sebuah aspirasi, seharusnya disampaikan pribadi yang bersangkutan, bukan menggunakan institusi DPR, apalagi ditandatangani pimpinan DPR.
"Kalau misalnya itu ada aspirasi dari anggota Dewan lewat DPR, Dewan paling tidak memberikan pengantar tentang adanya aspirasi anggota terhadap lembaga lain," ucapnya.
Sejauh ini, menurut Sarifuddin, MKD belum akan melakukan pemanggilan terhadap Fadli Zon. Sebab, MKD masih menunggu pelapor melengkapi berkas-berkas pelaporannya.
DIAS PRASONGKO