Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Agar Setrum ke Bali Tetap Greng

Ahli BPPT naik pangkat berkat sistem penstabil aliran listrik dari Jawa ke Bali buatannya. Jauh lebih murah ketimbang peralatan dari Jerman.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ukurannya memang lebih pendek, juga warnanya lebih muda. Tapi kotak instrumen serupa lemari berkas di kantor Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban Jawa-Bali di Jember itu tak berbeda jauh dengan lima kotak lainnya. Kondisinya bersih dan mulus. Yang berbeda benar dibanding yang lainnya adalah kemampuan kerjanya: kotak pendek itu sudah mati.

Kantor milik Perusahaan Listrik Negara itu membiarkan instrumen rongsokan ini tetap tempatnya. ”Biar terawat dan tidak seperti barang rongsokan,” kata Damehno, asisten manajer operasional dan pemeliharaan di sana. ”Ya, jadi seperti kenang-kenanganlah.”

Instrumen itu berfungsi mengendalikan Flexible Alternating Current Transmission System Device (FACTS Device), peranti yang menjaga pengiriman tenaga listrik dari Jawa ke Bali tetap stabil—voltasenya tidak naik-turun sehingga energinya berkurang. Harganya miliaran rupiah. Tapi kini alat itu rusak. Penggantinya adalah alat baru buatan ahli dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ferdi Armansyah, dan rekan-rekannya.

Karena berhasil membuat alat pengganti itu, Ferdi naik pangkat luar biasa dua pekan silam di Jakarta. Pangkat pegawai negerinya sekarang IVb—padahal ia baru dua tahun menyandang IVa. ”Biasanya naik pangkat setiap empat tahun,” kata Ferdi, yang kini menjabat ­Kepala Bidang Kerekayasaan Sistem di Pusat Teknologi Konservasi Energi BPPT.

Menurut Ferdi, tanpa alat itu, dari 200 megawatt listrik yang dikirim dari Jawa lewat kabel bawah laut, ”Paling maksimal hanya 180 megawatt yang sampai.” Kehilangan 20 megawatt bukan masalah sepele. Apalagi total pa­sokan listrik untuk Bali, termasuk yang dikirim via Jember, sebesar 620 megawatt masih kurang hingga 37,5 megawatt pada malam hari.

Di Jepang, menurut Ferdi, peralatan serupa malah dipasang pada tiang-tiang listrik. ”Agar kualitas listriknya bagus,” katanya. Ferdi tahu benar hal ini karena dia menyelesaikan program doktor di Negeri Matahari Terbit.

Di Indonesia, peranti serupa masih jarang dipasang. Untuk jaringan saja, menurut Ferdi, hanya ada di Jember dan gardu listrik pasangannya di Denpasar, Bali. Persoalan di Indonesia sederhana: harga.

Peranti di Jember dipasang sejak pertengahan 1994 dan rusak setelah dipakai 10 tahun. PLN meminta pabrik pembuat di Jerman, Siemens, memeriksanya. ”Tapi, untuk datang (memeriksa dan menganalisis kerusakan) saja, mereka meminta Rp 2 miliar,” kata Ferdi.

Mereka lalu menghubungi BPPT. Ferdi, yang saat mengambil S-3 di Hiroshima University meneliti soal FACTS Device, langsung setuju. Biayanya? Hanya Rp 500 juta.

Peranti itu mereka buat di Jakarta. Setelah siap, baru dipasang di Jember dan Denpasar. Perlu waktu sekitar dua bulan untuk ini. Itu pun karena jaringan listriknya harus tetap menyala. Mereka hanya bisa bekerja empat atau lima jam sehari. Instrumen FACTS terdiri atas bagian luar, yang langsung disambung dengan listrik bertegangan 150 kilovolt, dan pengendali di bagian dalam. Memanfaatkan barang yang tersedia, para ahli BPPT tak membuang sepenuhnya peranti FACTS yang ada di luar, berjarak sekitar 200 meter dari kantor dan diletakkan dalam kotak serupa peti kemas. Merek lamanya bahkan masih tertempel.

Sejumlah peranti—yang semuanya berukuran empat lemari—nyaris dipertahankan seluruhnya. ”Karena masih bisa berfungsi baik dan bisa ’nyambung’ dengan komponen dan sistem kerja alat dari BPPT,” kata Damehno.

Yang berisi peralatan dari BPPT adalah bagian kontrol dan proteksi di dalam ”peti kemas”. Lemari bagian ini masih menggunakan yang lama, tapi jeroannya sudah baru semua.

Selain peranti di luar, BPPT membuat sistem agar Damehno gampang mengaturnya di dalam kantor. Demehno merasakan alat buatan BPPT lebih bersahabat dibanding yang lama. Data yang muncul saat pengoperasian otomatis terekam dan tercatat lengkap dengan sekali klik. ”Dulu tidak bisa seperti ini,” katanya. ”Harus dicatat secara manual.” Salinannya baru dicetak.

Selain itu, karena alat lama buatan luar negeri, purnajualnya harus dari pabriknya. Akibatnya, ketika alat mengalami gangguan, mau tak mau harus menghubungi teknisi pembuatnya. Selain makan waktu, untuk mendatangkan teknisi, perlu biaya tidak sedikit.

Dengan menggunakan peralatan buatan dalam negeri, jika ada masalah, komunikasinya lebih gampang. ”Mereka bisa kirim panduan dengan cepat,” katanya. ”Atau, kalau mentok, kita bisa memanggil teknisi dari BPPT.”

Nur Khoiri, Mahbub Djunaidy (Jember)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus