Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGURUS ayam yang dicurigai terkena flu burung jelas pekerjaan yang penuh risiko. Virus bisa menyebar dari ayam sakit langsung ke manusia. Dan jika sudah terkena, kemungkinan selamat lebih kecil daripada kehilangan nyawa.
Itu sebabnya Gesit Tjahyowati, yang pekerjaannya setiap hari memeriksa ayam dan unggas lain di Balai Besar Veteriner Wates, dekat Yogyakarta, melakukan penelitian untuk bisa memastikan apakah ayam terkena virus mematikan itu atau tidak dengan cara yang aman. Teknik yang ia kembangkan, menggunakan metode imunohistokimia, membawanya meraih gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada pada akhir pekan lalu.
Cara kerja teknik itu cukup sederhana. Ayam mati yang diawetkan dengan formalin diambil organ tubuhnya. Bagian tubuh ini direaksikan dengan antibodi yang bisa menangkal virus flu burung. Jika kematian unggas itu karena flu burung, antibodi akan bereaksi saat bertemu dengan virus flu burung.
”Metode saya ini lebih aman,” kata Gesit. Tentu saja itu karena virus dalam unggas yang akan diteliti—jika ada—sudah dijinakkan oleh formalin. Ini berbeda dengan teknik-teknik yang sebelumnya dipakai, seperti deteksi antibodi dengan peralatan mahal PCR yang akan membaca kode-kode genetis atau isolasi virus dengan telur. Kedua teknik ini menggunakan jaringan tubuh unggas yang virusnya, jika ada, mungkin masih bisa hidup dan menulari peneliti.
”Teknik ini pada prinsipnya bisa diaplikasikan untuk mendeteksi penyakit apa saja,” kata Gesit tentang metodenya. Persoalan di Indonesia saat ini, untuk menggunakan teknik itu, hanya satu: antibodi untuk virus jenis H5—seperti flu burung—masih harus diimpor dan sangat mahal. ”Saya membeli Rp 30 juta,” katanya.
Vaksin seharga dua sepeda motor itu hanya digunakan untuk memeriksa sekitar 200 ayam. Sebagai orang yang bekerja di lembaga pemerintah, ia juga tidak bisa langsung membelinya begitu saja, mesti lewat rekanan. Mungkin, jika ia langsung membelinya begitu saja, harganya lebih murah. Tapi Gesit yakin, ”Jika dibuat di dalam negeri, harganya bisa lebih murah.”
Teknik lain yang sekarang digunakan juga tidak jauh lebih murah sebenarnya. Untuk deteksi antibodi dengan mesin PCR, misalnya, Balai Besar memasang tarif Rp 250-500 ribu. Harga pemeriksaan molekuler di lembaganya ini relatif murah. ”Di lembaga swasta jauh lebih mahal,” katanya.
Begitu pula dengan teknik isolasi virus. Dengan teknik ini, bagian tubuh ayam yang mati akan disuntikkan ke dalam telur yang sudah dierami dan ada embrionya. Jika benar ada virus, dalam telur itu nantinya akan penuh virus.
Untuk menggunakan teknik ini, dibutuhkan telur yang benar-benar sudah dipastikan. ”Terakhir saya beli telur seperti ini Rp 35 ribu sebutir,” kata Gesit. Padahal dalam satu penelitian dibutuhkan tiga sampai enam buah. Cukup mahal untuk memastikan apakah ayam itu mati karena flu burung atau tidak.
Dalam identifikasi flu burung dengan dua teknik itu, virusnya masih aktif, belum dilumpuhkan seperti teknik yang digunakan Gesit. Itu sebabnya ia, yang pekerjaannya memang mengurusi ayam sakit, lebih senang dengan teknik yang ia gunakan, lebih aman.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo