Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sains

Cerita Nicolaas Menang Habibie Prize 2021, dari Pembalap Jadi Pakar Ortopedi

Dalam pengumuman pemenang Habibie Prize 2021 yang digelar secara virtual, Nicolaas menceritakan dua alasan terjun menjadi seorang dokter ortopedi.

17 November 2021 | 14.40 WIB

Salah satu pemenang Habibie Prize 2021, Nicolaas Cyrillus Budhiparama. (Habibie Prize)
Perbesar
Salah satu pemenang Habibie Prize 2021, Nicolaas Cyrillus Budhiparama. (Habibie Prize)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Universitas Airlangga (Unair), Nicolaas Cyrillus Budhiparama, menjadi salah satu dari empat orang yang menerima penghargaan Habibie Prize 2021. Dia hampir tiga dekade mendedikasikan dirinya di bidang ilmu kedokteran, setelah lulus sebagai dokter Umum di Universitas Sumatera Utara, dan menjadi lulusan termuda pada 1993 untuk pendidikan spesialis ortopedi di Leiden University Medical School.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Dalam pengumuman pemenang Habibie Prize 2021 yang digelar secara virtual, Nicolaas menceritakan dua alasan terjun menjadi seorang dokter ortopedi. Pertama adalah kejadian kecelakaan yang menimpanya saat menjadi pembalap Formula 3000 di Eropa, dan sempat dirawat beberapa lama di interzip care unit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya pikir pada saat itu, apakah Saya bisa keluar dari cacat hidup. Akhirnya Saya berjanji kepada ibu Saya, jika Tuhan memberikan kesembuhan, Saya akan berbuat sesuatu yang bisa membantu banyak orang kembali berjalan, ya itu ortopedik,” ujar dia, Rabu, 17 November 2021.

Alasan kedua, peraih gelar PhD dari Leiden University Medical Center, Belanda itu, melanjutkan, adalah pesan dari ayahnya yang berkata, jika ingin mencari pekerjaan di bidang paling mulia, itu adalah bidang kedokteran. “Karena bisa banyak membantu orang yang kesusahan atau sakit,” katanya lagi.

Setelah menempuh pendidikan spesialis ortopedi, Nicolaas mendapatkan berbagai fellowship di pusat pendidikan ortopedi terkemuka di dunia untuk terus mengembangkan kemampuan dan keilmuannya, di antaranya di Amerika Serikat, seperti Lennox Hills Hospital, New York; New England Baptist Hospital, Harvard Medical School, Boston; dan Colorado Joimt Replacemen, Denver.

Kemudian, dia kembali ke Indonesia pada 1994. Setelah menyelesaikan proses penyetaraan di Universitas Indonesia, dia menjalani perannya sebagai dokter bedah tulang di Jakarta.

Pada tahun 2000, Nicolaas dianugerahkan penghargaan sebagai dokter bedah pertama yang menyelesaikan 100 kasus Knee Replacement Surgery oleh Johnson & Johnson Medical Indonesia, yang saat itu merupakan prosedur yang sangat jarang dilakukan. 

“Saya sungguh merasa terharu telah diberi kesempatan untuk menerima Habibie Prize ini. Saya rasa masih lebih banyak orang yang layak dan pantas untuk mendapatkan penghargaan ini,” katanya sambil berharap bahwa dirinya akan tetap bisa memberikan yang terbaik untuk Indonesia.

Nicolaas yang saat ini menjadi mahasiswa S3 di Universitas Gadjah Mada, merupakan dokter bedah di Indonesia yang mengenalkan limb salvage surgery. Itu menjadi sebuah tonggak sejarah penting karena memberikan harapan kualitas hidup yang baik pada pasien dengan tumor tulang. Tidak hanya itu, dia juga mengenalkan teknik operasi lainnya, seperti computer assisted surgery, unicondylar knee arthroplasty, dan hyperflex knee. 

Dia juga mengharumkan nama Indonesia dengan ikut menjadi pembicara dan moderator di berbagai pertemuan ortopedi bergengsi di dunia (sebanyak 297 kali sampai saat ini). Dia juga mendedikasikan dirinya dalam berbagai organisasi dunia, bahkan mendapatkan penghargaan Museum Rekor Dunia Indonesia atau MURI dalam bidang kesehatan dan olah raga atas rekor Insan Indonesia yang Menjabat Presiden di Tiga Organisasi Ortopedi Dunia.

Dia juga mendirikan Nicolaas Institute for Constructive Ortopedic Research and Education Foundation untuk menjadi motivasi dan wadah para dokter Indonesia untuk bisa terhubung ke dunia internasional. Nicolaas berpesan bahwa generasi muda Indonesia harus berani mencoba melakukan terobosan, berkompetisi, dan keluar dari zona nyaman.

Cita-cita itu, dia berujar, harus diwujudkan dengan kerja keras dan menjunjung tinggi etika yang baik. “Dan sebagai guru hendaknya kita berjalan di belakang murid dan mendorong mereka untuk menjadi semakin maju, bahkan lebih maju dan hebat daripada guru pendahulunya,” tutur pria yang mengidolakan sosok Bapak Teknologi, Bacharuddin Jusuf Habibie, yang juga pencetus Habibie Prize.

Baca:
Nyoman Nuarta Diumumkan di Antara Pemenang Habibie Prize 2021 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

M. Khory Alfarizi

M. Khory Alfarizi

Alumnus Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bergabung di Tempo pada 2018 setelah mengikuti Kursus Jurnalis Intensif di Tempo Institute. Meliput berbagai isu, mulai dari teknologi, sains, olahraga, politik hingga ekonomi. Kini fokus pada isu hukum dan kriminalitas.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus